Minggu, 13 Maret 2011

Apresiasi Puisi

Judul buku : Cakrawala Menjelang
Pengarang : Akhmad Sekhu
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia
Tahun Terbit : 2000

Sekilas tentang kumpulan Puisi Cakrawala Menjelang
Kumpulan puisi cakrawala menjelang karya Akhmad Sekhu merupakan kumpulan puisi tunggal. Dalam kumpulan puisi ini ditampilkan sejumlah karya-karya puisi hasil karya perenungan dan pengalaman dari penyair terhadap hasrat dan kebiasaan yang terjadi pada diri sendiri sebagai warga masyarakat.
Membaca kumpulan puisi ini, kita seolah disajikan cerita hasil pengalaman penyair sepanjang perjalanan hidupnya yang telah lalu. Cerita itu dikumpulkan sesuai dengan kesamaan ide cerita. Oleh karena itu, buku ini terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang diikat dengan satu benang merah yang tampak nyata. Bagian-bagian itu adalah Yang Sunyi Mengalir; Menanti Kekasih yang Melati; Kasidah Kehampaan; Yang Berdiam Menghanyutkan; Kasidah Kesadaran; Pulang; dan Cakrawala Menjelang.
Ditinjau dari penggunaan bahasa dan penempatan kalimat pada larik-larik puisinya, Akhmad Sekhu lebih sering menggunakan kata-kata yang menimbulkan arti simbolik. Sebuah kata memiliki maksud lain di balik makna aslinya. Sehingga dalam memahami puisi Akhmad Sekhu ini, perlu penghayatan tersendiri tentang maksud di balik sebuah kata.
Dari penempatan kata atau pungtuasinya, puisi-puisi Akhmad Sekhu memiliki ciri khas. Kekhasan larik puisinya adalah penempatan sebuah kalimat yang memungkinkan ditulis dalam larik-larik terpisah. Hal ini digunakan untuk menimbulkan efek ambiguitas dari penafsiran pembaca. Dengan demikian diharapkan puisi ini akan terus hidup seiring dengan denyut nadi kehidupan. Di samping itu, penggunaan huruf kapital hanya digunakan sebagai awal bait, bukan awal kata. Puisi yang dikemas dengan bentuk tipografi yang konvensional dengan pengelompokkan bait secara lurus menunjukkan kelurusan maksud dari perjalanan isi puisi yang terungkap.
Mengintip Isi Cakrawala Menjelang
Untuk mengintip buku kumpulan puisi ini, saya akan menengok dari masing-masing bagian agar tampak benang merah pengikatnya. Harapan yang muncul adalah adanya keruntutan pemahaman saat membaca ulasan yang serba sederhana dari saya.
Yang Sunyi Mengalir
Pada bagian ini terdiri dari sepuluh puisi yang diikat dengan benang merah suasana kereligiusan. Dari puisi yang terkumpul di sini, penyair ingin mengungkapkan betapa inginnya ia selalu dekat dengan sang Khalik. Perjalanan menapaki kesendirian dan kesunyian untuk meraih nur ke-Illahian tampak terasa sekali pada sebagian besar bait-bait puisinya.
Sajak Sepenggal Makna
Siapa yang terus melangkah di tengah malam
tertatih lunglai pada lantai transparan
Siapa yang terus terjaga di tepi malam
terbentur pilu pada dinding keheningan

Ada sepatu tua tak berdaya tergeletak
ada jam dinding mati tak berdaya tergeletak
terpasung pada sepasang waktu
dalam kekinian yang membungkam.

Dalam bagian ini pula, penyair juga ingin terus berpegang teguh pada keyakinan yang hakiki di tengah carut marutnya kehidupan yang kian tak menentu. Semakin banyak orang yang jauh dari Tuhannya. Coba kita rasakan apa yang dirasakan penyair pada puisi berikut
Gelombang Ramadhan
Aku ingin membelah gelisah, bagaikan Musa
membelah lautan yang gelombangnya Ketakmentuan
dunia telah meraja di hati, hingga telah terpelanting
dan Fir’aun pun tenggelam, betapa terlambat
kembali pada kebenaran hakiki, hingga kini
menjadi pelajaran dalam arus zaman ini yang
hempasannya lebih deras melindas kehidupan kita

Terhadap tanda-tanda zaman yang tertangkap
yang belum terlambat, betapa segalanya
mesti disadari lebih dini, untuk mengerti
hingga hanya memperturutkan nafsu diri
menyeret kita dalam arus yang menenggelamkan.

Puisi di atas tampak jelas mengingatkan kita agar jangan terbuai dengan nafsu duniawi yang menyesatkan. Tampak indah sekali penyair memberikan nasihat secara begitu halus dengan mengingatkan kembali pada kita cerita tentang Firaun yang mengisahkan kesadaran yang terlambat. Nasihat penyair itu kemudian dilanjutkan dengan ajakan agar kita selalu mengingat Tuhan dengan menghadirkan masjid di hati nurani. Dalam puisi itu digambarkan betapa damai apabila kita dapat berpasrah pada Illah dengan menghadirkan masjid di hati Nurani.
Ketika masjid di hati nurani
: sebuah mata air akan selalu mengalir
mengairi kali, anak kali hingga
pada muara hidup kita

Menanti Kekasih yang Melati
Pada bagian ini Akhmad Sekhu lebih sering menggunakan kata melati. Kata itu ternyata telah menghipnotis dan mempesonakannya sehingga hampir semua puisi dalam bagian ini mengandung melati. Pada puisi –puisi ini melati dijadikan sebagai pelambang kesucian hati dan diri, kejujuran, keindahan, dan kecantikan dari sesuatu yang dirasakan.
Pengungkapan kata melati dalam larik-larik puisinya ini bisa jadi terinspirasi dari sebuah kebun melati yang terhampar luas di daerah tepi pantai jalan pantura yang menjadi kenangan masa kecil penyair. Di daerah semacam itulah penyair di besarkan, dididik dengan aroma melati yang putih, bersih, dan wangi yang tak pernah pudar.
Kalu kita coba memahami puisi pada bagian ini, akan tampak pencarian si penyair untuk mendapatkan tambatan hati. Tambatan hati untuk mencurahkan kasih sayangnya yang seputih melati dan meneruskan garis keturunan yang diharapkan oleh ibunya. Hal ini tergambar pada bait puisi berikut ini
Memetik Melati
--bagi bakti pada ibunda, Sumarti
Terasa setiap detik aku memetik melati
yang bermekaran sepanjang penghayatan sejati
hingga tetap akan ada kehidupan berkembang
perbaharui wangi yang telah kita seberangi

Dipetiknya satu melati, seperti tanyamu selama ini
tentang pematang kasih sayang, betapa butuh sungguh
bagi bakti anakmu melanjutkan keturunan
maka terimalah seperangkat jawab yang tulus
curahan pengaduan di pangkuanmu, ibu

Pada saatnya akantiba, aku bawakan kekasih
yang melati, hingga sampai dipetiknya nanti
bagai dirimu,ibu, mampu mempertahankan keharuman

pencarian sang penyair terhadap kekasih yang dicarinya ternyata tidak semulus yang diharapkan. Acapkali halangan dan perbedaan pandangan menjadi batu sandungan yang cukup berarti. Pertentangan antara angan dan asa dengan realita yang ada. Banyak tersuguh di mata, pilihan yang begitu mempesona, tapi bagi penyair itu penuh kepalsuan dunia.
Memandang pelangi yang warna-warni
aku kini seperti melati yang paling putih
tak terkecoh permainan dunia fatamorgana
terus mencari matahari dalam diri yang
akan terangiku dari bayang-bayang semu

Tapi sepi menyodorkan kesempitan langit
bagi lelaki lajang penuh impian panjang
terus mengapai-gapai dan berharap sampai

Semoga seusai badai, angin melembut membelai
memberi ksegaran kembang melati bermekaran
di sini kitapun telah memutih tak terbantah
saatnya membagi hakekathidup paling wangi.

Perjalanan panjang sang penyair dalam menemukan orang yang akan dijadikan pelabuhan hatinya akhirnya membawa satu titik terang. Pada perjumpaan pertama, ada hasrat yang suci yang ingin diraih bersama sang kekasih, meski saat itu hanya diam yang berbicara.
Suaramu mendesah, seiring perhatian tertumpah
karena tak mampu lagi aku dapat menampung
segala yang tengah terjadi, bahkan sunyi
yang telah lama kunikmati kini telah berganti
simfoni hati yang bergemuruh fantasi tinggi

Akhiri saja keadaan kita yang tak bergulir
bersama dalam kebekuan suasana semakin tegang
sebab kita telah lelah hingga segera istirahatlah
mari mendekati oase kedamaian hati bersemi ini
betapa sesungguhnya kita telah memberi tanda tanya
atas perasaan yang melintas, terasa selangit mesra

Kasidah Kehampaan
Pada kelompok ini, penyair ingin mengungkapkan kegetiran dan penderitaan jiwa yang ia alami. Kegetiran dari serba tidak menentunya dunia. Latar belakang cerita lebih banyak di Jogjakarta.
Penyair menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang dilihat dan dirasakannya memang sebuah realita yang harus dilakoni. Hal ini tergambar pada bait puisi berikut ini
Cermin diri yang memasuki hati nurani
menjadi transparan buat lembaran pikiran
menyadari kenyataan hidup ini tak bisa dihindari

Pada akhirnya kuberi kesaksian kata-kata
yang harus mengerti sebuah arti
bait-deni bait puisi lantang kuteriakkan
betapa tajam menikam, merobek cakrawala kehidupan
oh, malioboro menjadi kawah candradimuka jiwa
aku tetap tegar menentang sebuah kemapanan

Peradaban kota ternyata berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika penyair tinggal di desa. Pada saat inilah muncul puisi-puisi berlatar sosial. Namun demikian, sudut pandang penafsiran tetap pada seorang Akhmad Sekhu
Matahari menggigil di tepi pagi dalam kengerian
tengah terjadi pembantaian bagi anak istri
dari tubuh lelaki yang kini tak lagi berkeringat
karena pemutusan hubungan kerja yang semena-mena
hingga hanguslah seluruh gairah dan semangat
membentur dinding pada kepiluan hidup pada bayang maut
terus mengikutinya di antara kesibukan kota tergerus.

Dunia yang Terdiam
Pada bagian ini penyair menggambarkan dunia yang menyimpan sejuta kenangan baik dan buruk. Kenangan tentang tingkah polah manusia yang telah lalu. Peristiwa demi peristiwa terpapar baik suka maupun duka telah menjadi memori dunia yang selalu ada. Penyair menyadari akal pikirnya sangat terbatas untukmenmbus batas masa lalu dan rahasia dunia. Oleh karena itu, penyair mengajak dan mensugesti kita agar selalu berpasrah pada kepada Allah Azza wajalla.
Pada bagian ini berisi perenungan-perenungan penyair terhadap fenomena-fenomena yang dialami dan dilihat sepanjang perjalanan hidupnya. Fenomena yang diangkat adalah fenomena tentang televisi yang telah memenjarakan anak-anak kita dengan kegembiraan yang semu; tentang perjalanan hidup seorang anak manusia yang menuai hikmah; dan juga tentang kata-kata yang menjadi sia-sia.
Dunia yang begitu luas dengan rahasia dibidik oleh penyair. Dunia yang penuh dengan misteri yang tak terjamah membuat kita merasa kecil. Apalagi saat kita merenung membayangkan jagat raya dan semesta raya membuat kita merasa sepi dalam keluasaan makna ke-Illahian. Saat itulah kata-kata tak akan cukup untuk mengungkapkan keagungan sang Khalik.
Bentangan Sepi
Kupahami dalam bentangan sepi dalam berdiam, penuh perahu
yang kau layarkan pada laut perenunganmu, betapa
luas terbentang sampai tepian kesenyapan hingga
menunggu untuk dilabuhkan menuju pemahamanku

Aku ingin masuk ke dalam kata yang selalu kusebut
tapi smua telah terlanjur kumuntahkan pemaknaan
menjadi kesiaan dalam keadaan yang semakin gamang
dari bentangan sepi yang basi, tanpa disadari

Betapa telah kumengerti bentangan sepi
berdiam dalam segala kesudahan, ingin kuperbaiki
buat mengentaskan kesiaanterangkat keberkahan
hingga sampai kudapatkan hikmah mencurah

Kasidah Kesadaran
Pada bagian ini penyair ingin mengngkapkan kebangkitan dan semangat untuk melepaskan diri dari kesadaran, penderitaan, dan kenestapaan masa lalu. Kebangkitan ini merupan hasil yang ia peroleh dari perenungan panjang. Semangat yang berkobar tampak pada bait puisi pada Sajak Hujan, Rara Sekuntum Melati Putih, dan Dunia Bermain.
Dari bait puisinya itulah, penyair ingin memebri tahu pada kita betapa kita telah terkungkung dalam penjara keramaian dan hiburan yang telah kita dewa-dewakan. Kesadaran kita yang tidak bisa terlepas dari jerat modernisasi yang kian mengeringkan hati. Coba kita renungi puisi berikut
Air Mata Nuh
Kita tidak sedang berduka, Sobat, tapi menangis
batin ini tak mungkin dipungkiri, tetes-tetes keprihatinan
membanjir, betapa penuh dengan linangan air mata Nuh
hingga semua tampak kembali purba, berhala keramaian
segala dunia yang begitu menggoda,mari kita persiapkan
kapal kepercayaan diri, berlayar pada hening yang
kita yakini sendiri, lalu segera angkutlah kesadaranmu
dengan mengantarkan kita ke gerbang kenyataan

Pada bagian ini , penyair juga menampilkan puisi-puisi persembahan. Diantaranya puisi persembahan untuk Riski Nurwanto, Butet Kertaradjasa, Arwan Tutti Artha, Piek Ardiyanto Supriyadi. Mereka inilah yang menjadi orang-orang yang terdekat dan menjadi pemacu semangat kesadaran dengan kenangan yang manis bersama mereka.

Pulang
Puisi-puisi yang tergabung dalam pulang menisahkan hal-hal yang berhubungan dengan kepulangan atau senja yang menyimbolkan waktu mnejelang kepulangan kita pada sang Khalik. Kepulangan pada puisi-puisi ini berupa bentuk kepulangan secara harfiah yaitu kpulangan pada kampung halaman atau kepulangan secara simbolik yaitu kematian. Hal itu seperti diungkapkan dalam puisi Seorang Pujangga yang merupakan kenangan dalam rangka kematian Linus Suryadi AG, dan puisi Melati yang telah Terpetik yang merupakan memoriam untuk neneknya.
Melati yang Telah Terpetik
-in memoriam nenekanda, Hajjah Khabibah
Pada melati yang telah trpetik, betapa kumengerti
akan arti sebuah negeri abadi peristirahatanmu terakhir
ternyata hidup di dunia fana ini begitu cepat berakhir
secepat sigap waktu terayun tangan-tangan pemetik itu
hingga memisahkan bunga melati gari tangkainya.

Cakrawala Menjelang
Dalam kumpulan ini, disajikan puisi-puisi yang memiliki kesamaan dalam jiwa. Yaitu adanya harapan yang lebih baik, lebih mapan, dan lebih mantap dalam menatap masa depan yang lebih baik. Masih seperti gaya-gaya puisinya yang lain, dalam kumpulan ini penyair masih mengandalkan kekuatan diksi-diksi yang memiliki makna lebih dalam dengan adanya maksud tersembunyi di balik kata-kata. Kumpulan ini terdiri dari delapan puisi yang latar pembuatannya lebih beraneka.
Pada suatu Episode
Bila cakrawala akan segera menjelang, maka kaubuka
pintu- jendela buat kita memandang dunia luar lebih lebar
memperhatikan sendiri matahari memetakan semua keadaan
hingga aku masuk di rumahmu diantara sinar yang memancar
terangi segalarasa yang akan bergolak pada dada kita

Dalam puisi di tas jelas sekali terungkap harapan tuk menerima pencerahan di masa yang akan datang. Pencerahan yang dilambangkan dengan cakrawala dan matahari.
Malioboro
Lampu lampion berjajar sepanjang jalan begitu terang
menambah suasana hingar-bingar seperti resepsi besar
yang menyajikan prasmanan nasi gudeg kekhasan
betapa gelora gairah kita semakin berselera tiada tara
seakan kini dihadapkan hidangan lesehan peradaban
dengan mennu yang lengkap lauk pauk keramahtamahan
begitu dekat dengan periuk hidup keseharian kita

Kurangkai jiwa kedamaian denngan seperanmgkat sajak
kukemaskan rasa ketenangan padsa setiap sudut pemandangan
kurasakan atmosfir kenyamanan yang begitu sejuk mengalir
menelusuri malioboro dengan obsesi pencarian kesejatian
pada perjalanan hidup menjadi orang berhasil
betapa aku tetap bersemangat wujudkan impian dan harapan
dengan siap menghadap apapun yang akan terjadi pada masa depan

Dalam puisi di atas penyair membuat perbandingan antara kegairahan dalam menatap hari depan uyntuk menjadi orang sukses laksana dia dihadapkan pada sejumlah sesajian makanan yang begitu membangkitkan selera.

Menuai Makna dari Sebuah Puisi
Sebuah karya sastra tentunya memiliki unsur-unsur yang mendukung sehingga terciptalah sebuah kelahiran. Demikian pula halnya dengan sebuah puisi. Puisi dibentuk dengan kata-kata yang penuh makna dengan unsur kepuitikan sehingga akan terdengar indah. Puisi yang berjiwa akan terasa dengan bentukan pilihan kata dan rima serta irama yang tepat. Selain itu sebuha karya sastra merupakan cerminan masa lalu kita selaku anak manusia. Dari cerminan itulah kita bisa berkaca untuk menimbulkan kesadaran. Kita bisa belajar dari masa lalu melalui bait-bait puisi.
Bagaiman dengan kumpulan puisi akhmad sekhu? Banyak hikmah yang dapat kita petik saast kita mencoba berkaca pada bait-bait puisinya. Semakin dalam kita berkaca, akan semakin banyak hikmah yang dapat kita peroleh. Berikut ini mungkin secuil hikmah yang mungkin dapat dijadikan bahan pemikiran buat kita semua.
1. dari puisi itu kita diingatkan untuk terus mengingat Allah Azza wa Jalla, karena dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.
2. pasrahkan segala urusan kepada Allah setelahj kita berusaha, karena hanya Allahlah sebaik-baik tempat untuk berpasrah.
3. Segala cobaan yang kita hadapi di dunia ini jangan dijadikan alasan untuk berputus asa. Masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dibandingkan dengan kita.
4. hidup di dunia hanya sebentar, maka persiapkan diri untuk bekal hidup yang lebih abadi.
5. bersemangat dan pantang menyerah untuk mencapai suatu harapan. Dibalik kegagalan ada harapan kecerahan.
Demikian sekelumit hikmah yang mungkin dapat kita teladani. Semoga kita menjadi insan yang selalu memperbaiki diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar