Sabtu, 26 Maret 2011

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS VII SMPN 2 BOJONG KABUPATEN TEGAL MELALUI PENGGUNAAN MODEL JIGSAW

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Kondisi Awal
Pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Bojong Kabupaten Tegal masih kurang memuaskan. Nilai rata-rata pada setiap ulangan akhir semester selalu berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan pada awal semester. Hal ini menuntut guru untuk melakukan remidial. Parahnya lagi, terkadang pelaksanaan remedial bersifat formalitas. Remedial tidak dilakukan dengan sebenarnya. Remedial hanya dilakukan hanya sebagai sebuah proses mengangkat nilai anak dari kondisi di bawah KKM menjadi kondisi sesuai KKM.
Mestinya kondisi seperti ini tidak akan terjadi. Bukankah tes akhir semester dilakukan untuk mengetahui daya serap siswa terhadap materi pelajaran selama satu semester? Lalu mengapa ada siswa yang tidak tuntas pada saat tes akhir semester sementara tes pada setiap akhir komptensi dasar mereka dinyatakan tuntas? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya yang perlu diungkap tabirnya. Dari beberapa renungan dan diskusi bersama beberapa orang guru, terungkaplah beberapa fakta yang menjadikan hal di atas terjadi. Fakta-fakta tersebut adalah
1. Guru cenderung berorientasi menyelesaikan beban KD setiap semester bukan penuntasan KD yang ada.
2. Tidak semua KD dilakukan penilaian.
3. Tidak semua penilaian diikuti dengan kegiatan remedial.
4. Remedial dilakukan hanya untuk menambah nilai siswa dan dilakukan sekali selesai.
Fenomena yang lain yang turut mengambil peranan dalam ketidaktuntasan adalah rendahnya tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
1. Kurangnya perhatian dari guru terhadap kesulitan belajar siswa. Hal ini tampak dari tidak tahunya guru terhadap faktor penyebab ketidaktahuan mereka. Guru cenderung dengan mudah memberikan cap siswanya bodoh.
2. Pembelajaran yang kurang membangkitkan minat siswa. Siswa cenderung dijejali materi dengan mencatat.
3. Kegiatan pembelajaran bersifat konvensional tidak mengalami perubahan yang inovatif.
4. Siswa merasa jenuh terhadap pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang membolos untuk tidak mengikuti pelajaran.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tentunya pembelajaran membaca mengambil peranan penting. Hal ini terjadi karena semua materi pelajaran akan dapat dipahami dengan membaca. Dengan melihat itu, pantaslah guru bahasa Indonesia menekankan pembelajaran membaca sebagai pembelajaran yang penting karena hasil dari kemampuan membaca akan dapat dipergunakan siswa untuk memahami materi pelajaran yang lain. Namun, yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Guru cenderung menyepelekan pembelajaran membaca. Mereka menganggap bahwa anak sudah dapat membaca sehingga pembelajaran membaca cukup dilakukan dengan pemberian tugas membaca di rumah. Tentunya proses seperti itu berdampak sangat buruk terhadap mentalitas siswa. Dampak negatif tersebut adalah
1. Minat baca siswa cenderung statis atau bahkan menurun.
2. Jarangnya siswa membaca, membuat proses pemahaman bacaan mengalami kesulitan.
3. Penyelesaian tugas membaca dilakukan dengan tidak jujur karena harus mencontek atau dikerjakan orang lain

B. Deskripsi Siklus I
Siklus satu dilakukan dengan menggunakan empat tahap penelitian yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Model pembelajaran menggunakan metode jigsaw untuk pembelajaran kompetensi dasar menceritakan kembali cerita anak yang telah dibaca. Berikut ini akan dijelaskan bagian dari tahapan penelitian tersebut
1. Perencanaan
Tahap perencanaan dilakukan setelah peneliti dengan kolaborator berdiskusi menemukan suatu permasalahan pembelajaran di kelas yang perlu dilakukan pemecahan. Untuk membuktikan bahwa permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang cukup serius, kegiatan dilanjutkan dengan melaksanakan observasi di kelas. Di samping itu, untuk memantapkan kembali hasil diskusi dan observasi di kelas dalam rangka memutuskan permasalahan yang perlu diteliti, dilakukan kegiatan pretes.
Setelah permasalahan ditentukan, peneliti dan kolaborator mencari alternatif pemecahan permasalahan. Dari hasil diskusi, ditentukan model Jigsaw untuk mengatasi permasalahan yang ada. Penentuan model tersebut dilandaskan pada beberapa hal yaitu (1) model pembelajaran yang inovatif dengan proses kolaboratif; (2) adanya pembelajaran terintegrasi dari semua keterampilan berbahasa siswa dari membaca, mendengar, berbicara, dan menulis; (3) adanya saling bekerja sama dan kompetesi antarsemua warga kelas, tetapi tidak meninggalkan tanggung jawab individu.
Kegiatan perencanaan selanjutnya adalah penentuan instrumen dan perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pengadaan Instrumen yang dibutuhkan dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dilakukan bersama-sama antara peneliti dan kolaborator.
2. Pelaksanaan
Langkah pelaksanaan tindakan pada hakikatnya merupakan langkah pelaksanaan model pembelajaran Jigsaw.
Langkah-langkah yang dilakukan dengan model jigsaw pada penelitian ini adalah
a) Siswa dikelompokkan menjadi tujuh kelompok dengan jumlah anggota lima orang perkelompok. Setelah pengelompokkan ditentukan, guru melakukan penjelasan tentang aturan main dengan metode jigsaw. Aturan main tersebut meliputi pembagian tugas sebagai tim ahli pada setiap anggota kelompok, penjelasan tugas masing-masing tim ahli, tahapan kegiatan yang akan dilakukan, dan penentuan keberhasilan tim.
b) Siswa membaca cerita yang telah diberikan guru seseuai dengan tugasnya sebagai tim ahli.
c) Diskusi tim ahli untuk mencapai kesepahaman setiap ahli. Untuk mempermudah daya ingat siswa dalam memahami isi cerita, hasil diskusi dari tim ahli dibuat dalam bentuk peta cerita.
d) Pelaksanaan diskusi tim inti. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, setiap ahli berkumpul kembali dengan timnya untuk menceritakan hasil temuannya dalam diskusi tim ahli. Masing-masing ahli berkewajiban membuat anggota timnya memahami cerita yang telah dibaca oleh ahli yang lain. kegiatan menceritakan secara lisan ini dilakukan secara bergantian sampai seluruh ahli melakukan penceritaan kembali. Setelah kegiatan ini selesai, hasil dari masing-masing ahli disatukan untuk dibuat menjadi peta cerita yang utuh.
e) Pelaksanaan kuis. Kuis dilakukan secara individu. Isi kuis adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan pada keseluruhan isi bacaan yang dibaca oleh satu tim. Penjelasan ahli pada diskusi tim sebelumnya merupakan hal yang sangat penting agar semua anggota tim mampu mengerjakan kuis ini.
f) Menceritakan kembali secara keseluruhan isi cerita dalam bentuk tertulis. Aspek yang dinilai pada tahap ini adalah hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan pemahaman terhadap isi bacaan. Aspek tersebut adalah kelengkapan informasi, kesesuaian isi, kelancaran dalam penceritaan, penggunaan gaya dalam bercerita, dan pengembangan cerita.
g) Recognisi tim yaitu pemberian nilai akhir pada setiap tim. Recognisi pada penelitian ini dilakukan dengan melihat peningkatan nilai yang diperoleh masing-masing tim dengan membandingkan antara skor atau nilai awal dengan skor atau nilai setalah dilakukan tindakan. Tim yang dianggap menang adalah tim yang memiliki peningkatan nilai paling tinggi
Pelaksanaan kegiatan pada siklus pertama dilakukan sebanyak tiga pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan dari langkah pertama sampai dengan langkah keempat dari metode Jigsaw. Pertemuan kedua dilakukan dari langkah kelima sampai langkah ketujuah. Pertemuan ketiga siswa melaksanakan refisi dan editing hasil draf reproduksi cerita. Langkah-langkah yang dilakukan secara rinci tampak pada rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dilampirkan pada penelitian ini

3. Pengamatan atau observasi
Pengamatan dilakukan oleh kolaborator dan peneliti. Oleh kolaborator yang berkedudukan sebagai guru dilakukan untuk mengamati aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan. Pengamatan guru ini didasarkan pada tabel pengamatan yang secara langsung berkaitan dengan penilaian proses belajar.
Pengamatan peneliti difokuskan pada guru dan siswa yang melakukan pembelajaran. Apakah pembelajaran sudah sesuai dengan rencana kegiatan yang telah direncanakan. Di samping itu, pengamatan dari peneliti juga difokuskan untuk menangkap gejala-gejala yang muncul pada siswa baik itu gejala positif maupun gejala negatif. Hasil pengamatan tersebut terekan melalui tabel observasi dan juga dokumentasi melalui kamera foto.
4. Refleksi
Refleksi merupakan kegiatan untuk mengulas tindakan yang telah dilakukan. Dalam refleksi dikemukakan hal-hal yang terjadi melalui pengamatan guru sebagai kolaborator dan peneliti. Hasil dari refleksi pada siklus pertama ini dijadikan sebagai landasan berbijak untuk menentukan siklus kedua. Dari pemantauan pada siklus pertama yang diperoleh dari peneliti dan kolaborator serta ditunjang hasil angket yang disebarkan pada siswa dapat diketahui hal-hal sebagai berikut
a) Semua ahli berusaha memahami bacaan dengan benar.
b) Siswa merasa lebih bersemangat membaca karena dia bertanggung jawab terhadap bacaan yang dibacanya.
c) Siswa merasa memiliki peran yang sama dengan siswa lainnya.
d) Kegiatan belajar mengajar lebih hidup dan semangat.

C. Deskripsi siklus II
Siklus kedua dilaksanakan atas dasar temuan yang terjadi pada pelaksanaan siklus pertama. Temuan-temuan tersebut berupa temuan positif yang menunjang pelaksanaan pembelajaran dan temuan negatif yang merupakan gangguan dalam pembelajaran. Temuan positif yang terjadi pada siklus pertama dijadikan modal dalam pembuatan perencanaan siklus kedua. Temuan negatif yang terjadi pada siklus pertama dicarikan penyebab terjadinya hal negatif tersebut dengan melakukan diskusi bersama kolaborator. Diskusi juga membahas tentang bagaimana langkah yang perlu ditempuh agar hal negatif tidak muncul kembali pada siklus kedua.
Langkah-langkah yang dilakukan pada siklus kedua adalah
1. Perencanaan
Hasil temuan yang diperoleh saat melakukan refleksi siklus pertama dijadikan landasan dalam perencanaan siklus kedua. Pada siklus ini instrumen dan langkah pembelajaran yang digunakan masih sama dengan siklus kedua. Hal tersebut dilakukan karena hasil refleksi pada siklus pertama menunjukkan bahwa hal-hal negatif yang terjadi pada siklus pertama muncul karena pengelolaan kelas yang kurang bagus. Kondisi kelas yang menghambat mobilitas saat melakukan diskusi merupakan hal yang terpenting yang harus segera diatasi pada siklus kedua karena ternyata kendala tersebut cukup membutuhkan waktu sehingga perencanaan waktu agak terganggu. Oleh karena itu, dalam siklus kedua, kegiatan pembelajaran menggunakan ruang perpustakaan yang telah diset sebelumnya untuk perpindahan diskusi yang lebih mudah dan cepat. Di samping masalah ruang, yang berubah dalam siklus kedua adalah cerita anak yang dibaca siswa. Pada siklus kedua ini menggunakan cerita anak yang bernuansa nonfiksi tetapi masih dikemas dalam bentuk narasi. Pada siklus kedua cerita anak yang dibaca berjudul Ki Hajar Dwantara.
2. Pelaksanaan tindakan
Pelaksanaan tindakan pada siklus kedua sama dengan pelaksanaan tindakan pada siklus pertama. Tindakan terbagi menjadi tiga pertemuan dengan satu pertemuan berkaitan dengan proses membaca cerita dan diskusi membentuk peta cerita pada tim ahli dan tim inti. Pertemuan kedua siswa mengerjakan kuis dan dilajutkan dengan pemberian tugas membuat draf reproduksi cerita secara tertulis berdasarkan peta cerita yang telah dibuat.Pertemuan ketiga siswa melaksanakan revisi draf dan editing. Pertemuan ketiga ini diakhiri dengan recognisi yang berisi penilaian akhir kelompok yang menjadi pemenang dalam kegiatan ini. Penilaian dilakukan dari beberapa aspek yaitu (1) proses diskusi kelompok, (2)nilai rerata kuis, (3)penilaian teman sejawat pada penceritaan lisan, dan (4)reproduksi cerita secara tertulis.
3. Observasi
Observasi masih dilakukan oleh peneliti dan kolaborator. Hasil observasi ini diperkuat dengan penyebaran angket kembali kepada siswa tentang pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hasil dari observasi siklus kedua ini diperoleh informasi tentang peningkatan minat belajar siswa. Semua siswa sudah secara aktif melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tugas masing-masing. Sifat pembelajaran yang kompetitif ternyata mampu mendongkrak minat belajar siswa. Minat tersebut muncul baik dari dorongan diri siswa sendiri untuk berperan dalam kelompok atau karena pengaruh teman satu kelompoknya.
4. Refleksi
Refleksi yang dilakukan pada siklus kedua dijadikan dasar apakah siklus perlu dilanjutkan kembali atau sudah selesai. Hasil refleksi dari peneliti dan kolaborator serta dengan melihat hasil angket yang diisi oleh siswa, disepakati penelitian dinyatakan selesai pada siklus kedua. Hal-hal yang negatif yang masih terjadi pada siklus kedua ini dijadikan tugas bagi guru untuk membimbing dan mementau di luar pelaksanaan penelitian.

D. Pembahasan Tiap Siklus dan Antarsiklus
Penelitian ini mengunakan model pembelajaran Jigsaw untuk mengatasai permasalahan lemahnya pemahaman siswa terhadap isi bacaan yang dibaca yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai mengerjakan kuis dan menceritakan kembali cerita yang dibaca baik secara lisan maupun secara tertulis. Penelitian dilakukan dalam dua siklus dengan masing-masing siklus dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan.
Siklus pertama dilakuakan pada tanggal 19, 22, dan 26 September 2007. Pada siklus ini bahan bacaan yang diberikan berjudul Hikayat Puti Zaitun. Penilaian yang dilakukan pada siklus pertama terdiri dari penilaian pemahaman dengan mengerjakan kuis secara individual, menceritakan kembali secara lisan bagian cerita yang dibaca, aktivitas proses diskusi, dan menceritakan kembali secara tertulis keseluruhan isi cerita.
Ditinjau dari pemahaman mengerjakan kuis, siklus pertama menunjukkan hal positif. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rerata kelas dari 44,1 menjadi 68,99 atau naik sebesar 57%. Di samping itu, dilihat dari jumlah siswa yang telah tuntas sesuai batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) sekolah sebesar 65 meningkat dari hanya satu anak pada prapenelitian menjadi 32 anak pada siklus pertama. Pada siklus pertama masih terdapat lima siswa yang masih mendapatkan nilai di bawah KKM.
Ditinjau dari proses menceritakan kembali secara lisan dalam tim inti, diperoleh gambaran bahwa pada siklus pertama ini anak masih belum lancar menggunakan bahasa Indonesia secara lisan. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian anak masing memerlukan bantuan bahasa ibu saat harus menceritakan kembali secara lisan kepada temannya. Penilaian penceritaan secara lisan dilakukan dengan menggunakan penilaian teman sejawat (peer evaluasi). Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut
1) Setelah diskusi tim ahli, siswa berkelompok dalam tim inti untuk menceritakan kembali hasil diskusi pada tim ahli secara bergiliran.
2) Setiap siswa diberikan lembar penilaian untuk menilai temannya yang sedang bercerita sambil memahami isi cerita.
3) Penilaian dilakukan dengan mengisi tanda cek pada butir yang sesuai.
Pada penilaian ini, setiap siswa dinilai oleh empat orang dari setiap anggota kelompoknya. Kriteria penilaian yang digunakan dalam tahap ini adalah intonasi suara, penggunaan bahasa Indonesia, dan kelancaran bercerita.
Penilaian yang lainnya adalah penilaian produk berupa menceritakan kembali cerita secara utuh secara tertulis. Pada penilaian ini, siswa disuruh menceritakan kembali cerita secara utuh berdasarkan peta cerita yang dibuatnya bersama teman satu tim. Proses pembuatan reproduksi cerita ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap draft (rancangan kasar) yang dilakukan di rumah sebagai tugas rumah dan tahap revisi. Tahap revisi dilakukan untuk melengkapi bagian cerita yang masih tertinggal dan memperbaiki bahasa dan ejaan setelah dilakukan koreksi oleh guru.
Dari hasil refleksi yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator serta diperkuat dengan angket siswa dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
Hal positif yang terjadi antara lain
1) Siswa lebih aktif dan bersemangat dalam belajar.
2) Semua siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan tim.
3) Kerja sama tampak lebih menyeluruh
Hal negatif yang terjadi antara lain
1) Penggunaan bahasa Indonesia dalam diskusi masih bercampur dengan bahasa daerah setempat.
2) Perpindahan kelompok dan penataan tempat untuk diskusi memerlukan waktu lebih lama dari perkiraan semula.
3) Beberapa siswa (<10 siswa) masih kurang aktif mengikuti diskusi pada diskusi kelompok ahli.
4) Satu orang siswa masih kurang puas dengan kelompoknya.
5) Proses diskusi ramai sehingga agak mengganggu kelas sebelahnya.
6) Masih ada anak yang mencoba mencontek hasil pembuatan peta cerita pada kelompok lainnya.
Siklus kedua dilakukan pada tanggal 13, 17 dan 20 Oktober 2007. Pada siklus ini materi bacaan berupa cerita nonfiksi yang dikemas secara naratif. Cerita tersebut berjudul Ki Hajar Dewantara yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Pelaksanaan siklus sebanyak tiga kali pertemua. Tahapan siklus sama dengan tahapan pelaksanaan siklus pertama.
Dari hasil refleksi yang dilakukan pada siklus pertama, peneliti melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mengeliminir hal-hal negatif yang terjadi pada siklus pertama. Perubahan tersebut adalah
1) Penggunaan ruang perpustakaan sebagai ruang belajar. Perubahan ini diperlukan karena dibutuhkan ruang yang praktis untuk dilakukan perubahan posisi untuk diskusi. Sebelum pelaksanaan tindakan, ruang sudah diset untuk ruang diskusi kelompok. Penggunaan ruang perpustakaan hanya dilakukan pada pertemuan pertama siklus kedua karena pada pertemuan ini dilakukan kegiatan diskusi tim ahli dan diskusi tim inti.
2) Bahan bacaan yang bersifat nonfiksi tetapi tidak meninggalkan gaya penceritaan anak-anak.
3) Pemberian penghargaan bukan hanya bagi kelompok terbaik tetapi juga bagi peserta paling berpotensi.


E. Hasil Penelitian
Penggunaan model pembelajaran Jigsaw dalam pembelajaran membaca terbukti telah membawa efek positif dalam pembelajaran di kelas. Efek positif tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan tingkah laku dan peningkatan nilai. Ditinjau dari perubahan tingkah laku, penggunaan model pembelajaran Jigsaw mempengaruhi siswa ke arah yang positif yang ditunjukkan dengan
1) Lebih semangatnya siswa dalam pembelajaran membaca.
2) Kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa sedangkan guru bertugas sebagai fasilitator, mediator, dan kontrol belajar.
3) Siswa lebih dapat menghargai pembicaraan temannya dan berlatih kerja sama dibandingkan dengan model konvensional.
4) Siswa lebih mudah memahami isi bacaan dengan saling berbagi antarteman.
Ditinjau dari peningkatan nilai, model ini terbukti telah mampu membawa siswa memperoleh nilai lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Hal tersebut dibuktikan dari perubahan nilai yang pada pelaksanaan pengerjaan kuis yang merupakan salah satu indikator bahwa siswa telah memahami isi bacaan. Berikut ini adalah tabel peningkatan nilai dari penilaian kuis.
Tabel 1 : peningkatan nilai kuis
NO TINDAKAN NILAI KETERANGAN
1 Prapenelitian 44,05 Berada di bawah KKM sekolah sebesar 65 dengan jumlah siswa yang tidak tuntas sebanyak 36 orang dari 37 siswa.
2 Siklus pertama 68,99 Mengalami kenaikan sebesar 24,93 atau sebesar 56,6% dari pembelajaran dengan model konvensional. Siswa yang tidak tuntas sebanyak 5 orang dari 37 siswa.
3 Siklus kedua 75,81 Mengalami kenaikan sebesar 31,76 dari prapenelitian atau naik sebesar 72,09% dan naik sebesar 6,82 atau naik sebesar 9,89% dari pelaksanaan siklus pertama. Siswa tidak tuntas 0 siswa.

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa tingkat pemahaman siswa dari mengerjakan kuis lebih tinggi saat pembelajaran menggunakan model Jigsaw bila dibandingkan dengan model konvensional. Hal tersebut juga dapat dilihat dari jumlah siswa yang tuntas. Dari hanya satu orang yang tuntas sebelum tindakan menjadi 32 orang pada siklus pertama dan 37 orang pada siklus kedua.
Di samping nilai kuis, perubahan juga terjadi pada proses menceritakan kembali secara lisan. Berikut ini adalah tabel daftar nilai mencritakan secara lisan
Tabel 2 : nilai menceritakan kembali secara lisan
NO UNSUR YANG DINILAI SIKLUS I SIKLUS II KENAIKAN
1 Penggunaan bahasa Indonesia 77 79 2
2 Kelancaran bercerita 73 83 10
3 Intonasi suara 69 70 1
4 Rata-rata nilai 73 77 3

Dari tabel di atas dapat dilihat adanya kenaikan kemampuan ank untuk menceritakan kembali secara lisan dengan menggunakan peta cerita. Kenaikan terjadi pada semua unsur penilaian. Kenaikan yang tertinggi pada unsur kelancaran bercerita.
Lain halnya dengan penilaian produk berupa menceritakan kembali keseluruhan isi cerita secara tertulis. Pada bentuk tertulis adanya perbedaan dengan bentuk menceritakan secara lisan. Pada penceritaan secara tertulis, penggunaan bahasa Indonesia sudah lebih baik dibandingkan saat penceritaan secara lisan. Namun, masalah penggunaan ejaan masih menjadi permasalahan yang perlu ditangani secara berkesinambungan.
Tabel 3 : nilai menceritakan kembali secara tertulis
NO UNSUR YANG DINILAI SIKLUS I SIKLUS II KENAIKAN
1 Informatif 89 91 2
2 Kelengkapan cerita 90 97 7
3 Penggunaan bahasa Indonesia 67 67 0
4 Gaya bercerita 66 72 6
5 ejaan 52 60 8
Rata-rata nilai 73 77 4

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa permasalahan ejaan masih menjadi permasalahan yang perlu diatangani secara berkesinambungan. Meskipun telah dilakukan editing oleh siswa dan guru pada draf karangan dalam siklus pertama, kesalahan ejaan masih tetap terjadi pada siklus kedua. Tugas guru bahasa Indonesia harus selalu siap melakukan koreksi terhadap tata tulis tulisan siswa dalam situasi apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar