Sabtu, 19 Maret 2011

TOKOH DAN PERWATAKAN PADA PROSA FIKSI

Sebuah cerita tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh yang diceritakan. Seorang tokoh juga tidak terlepas dari perwatakan atau karakter mereka. Karakter tokoh dalam sebuah cerita menjadi salah satu pemicu konflik atau permasalahan. Bukankah cerita tanpa konflik akan terasa hambar? Hal ini menujukkan bahwa untuk menciptakan sebuah cerita yang menarik, penentuan tokoh dan perwatakan merupakan hal yang penting.
Untuk menggambarkan perwatakan atau karakter tokoh dalam sebuah cerita, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan cara pertama adalah cara secara langsung. Cara ini artinya kita sebagai penulis cerita secara langsung memberikan dan menyebutkan karakter tokoh cerita yang kita buat. Cara yang kedua adalah secara tidak langsung. Cara kedua ini pengarang tidak menyebutkan karakter tokohnya. Namundemikian pembaca akan dapat menyimpulkan sendiri karakter tokoh yang ada.
Penentuan karakter secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
Melalui gambaran nama dan fisik tokoh.
Dalam sebuah cerita nama sangat berpengaruh dengan karakter tokoh. Di samping itu, setting atau latar belakang juga dapat mempengaruhi nama tokoh. Cerita dengan setting pedesaan biasanya akan memunculkan tokoh dengan karakter jujur, terbuka terhadap orang lain, suka menolong, gigih bekerja atau pekerja keras. Tokoh dengan karakter seperti itu tentunya akan sangat pantas apabila diberi nama Suryo, Bagaskara, Bambang, Adyaksa. Bandingkan dengan nama Frans, Daniel, farrel. Rasanya tiga nama terakhir kurang pas apabila kita pakai untuk tokoh dengan setting dan karakter di atas.
Gambaran fisik tokoh juga sangat berpengaruh terhadap karakter tokoh. Untuk menggambarkan tokoh dukun, barangkali akan terasa pas apabila kita gambarkan fisik tokoh dengan pakain warna hitam, berikat kepala, dan setting di sebuah ruangan yang penuh pernak-pernik perdukunan. Demikian pula apabila kita akan menggambarkan perempuan genit kita munkin akan lebih pas menggambarkan fisiknya dengan dandanan yang agak mencolok, pakaian sensual, rambut bercat warna-warni.
Melalui dialog-dialog yang diucapkan tokoh.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Artinya bahasa seseorang menunjukkan siapa dan bagaimana orang yang berbicara. Dalam penentuan dialog sebuah cerita, peribahasa tersebut rasanya perlu untuk diperhatikan. Secara logika rasanya janggal kalau kita akan menggambarkan tokoh dengan watak penyabar tetapi dialog-dialognya bernada keras dan ketus. Demikian pula sebaliknya.
Contoh
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua itu menahan geram. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
(Robohnya Surau Kami, A.A. Navis)
Melalui perbuatan atau tindakan tokoh.
Tindakan tokoh dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya juga merupakan penentu perwatakan tokoh cerita. Dalam menghadapi sebuah permasalahan, tokoh-tokoh akan menyikapinya dengan berbeda-beda. Sebagai contoh, seorang tokoh yang dituduh mengambil Hand Phone seseorang akan memunculkan reaksi yang berbeda. Tokoh yang berkarakter emosional tentunya akan digambarkan dengan tindakan emosional tanpa dipikir panjang terlebih dahulu seperti marah-marah atau bahkan memukul orang yang telah menuduhnya. Sementara tokoh yang sabar akan menjelaskan terlebih dahulu keadaan yang sebenarnya. Apabila terpaksa harus marah, kemarahan barangkali tidak akan digambarkan dengan meledak-ledak.
Contoh
Juki bukan tentera. Dia guru. Sebenarnya dia tidak perlu ikut-ikut menyingkir ke pedalaman pada masa perang itu. Ikut tidaknya dia, tidaklah akan menentukan menang-kalah mereka yang berperang. Kalau dia merasa perlu juga ikut, alasannya cuma satu: agar tidak disangka mengkhianati teman-teman yang berjuang menegakkan kebenaran. Juga menurutnya, semua orang harus meninggalkan kota agar musuh tahu bahwa rakyat tidak menyukainya. Kalau itu tidak mungkin, semua orang terpelajar yang harus menyingkir. Aku pikir taktik itu benar juga. Maka istrinya, Rosni, dengan dua anaknya yang masih kecil ditinggalkan pada mertuanya di kota. Karena perempuan tidak perlu ikut perang. Apalagi membawa anak-anak yang masih bayi. Mereka akan jadi beban perang saja, katanya memberi alasan pada istrinya.
(Sang Guru Juki, A.A. Navis)
Melalui percakapan tokoh lainnya.
Melalui jalan pikiran sang tokoh.
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. “ Alhamdulillah” kataku bila aku menerima karunia-Nya. “ Astagfirullah” kataku bila aku terkejut. “Masya Allah” kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar