Kamis, 21 Februari 2013

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Oleh : Farichin Makna Desentralisasi Pendidikan A. Konsep Dasar Desentralisasi Gaung desentralisasi kini mulai menyeruak lagi sejak digulirkannya reformasi di Indonesia. desentralisasi yang juga dikenal dengan nama otonomi daerah seolah menjadi satu cara yang akan dapat memecahkan persoalan yang terjadi di Indonesia saat itu. Lalu bagaimana sebenarnya desentralisasi itu? Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh Rakyat Daerah, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), yang mengatakan bahwa “decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private sector” atau dengan terjemahan bebas dikatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Definisi serupa dikemukakan Turner dan Hulme. Turner mengatakan “decentralization is a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served. Dari pendapat Turner dan Hulme diketahui bahwa desentralisasi dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani (. Dengan melihat beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa desentralisasi pada hakikatnya terkait dengan deberikannya kewenangan pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang sesuai dengan sumber daya yang ada semaksimal mungkin. Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Selain tujuan desentralisasi, penentuan desentralisasi harus memperhatikan beberapa elemen. Elemen tersebut adalah: 1. Desentralisasi mengharuskan adanya pembatasan daerah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip nilai administratif dan politik tertentu, dimana guna memenuhi kebutuhan atau kehendak komunitas dan pembatasan daerah harus mencerminkan pola pemukiman dan distribusi spasial. 2. Pengalihan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk kekuatan politik harus dibuat peta politik yang memisahkan suatu komunitas dengan komunitas lain dan dapat dihubungkan dengan banyak faktor lain seperti sejarah, bahasa, kebudayaan dan tradisi. 3. Prinsip efisiensi dapat diberlakukan dalam pembagian daerah kekuasaan, sehingga pembatasan daerah mengandung gagasan tentang ukuran dan bentuk optimal yang ditetapkan secara teknis. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Adrian Leftwich (democratic developmental regime), ialah “A dedicated developmental elite; relative autonomy for the state apparatus; a competent and insulated economic bureaucracy; an empowered civil society; a capacity to manage effectively local and foreign economic interest; and a varying balance of repression, legitimacy and performance” untuk meningkatkan daerah yang lebih demokratis harus memenuhi hal-hal (1) adanya dedikasi para elite dalam pemerintahan; (2)otonomi untuk pemerintahan daerah; (3) birokrasi ekonomi yang kompeten dan terbatas; (4) pendayagunaan masyarakat; (4) kemampuan meng efektivitaskan ekonomi local dan asing yang vital; dan (5)keseimbangan kepentingan antara penguasa dan penyelenggaraan. Dalam konteks pemerintahan Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. peraturan tersebut kemudian direvisi. Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tetapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” [Pasal 18 ayat (1)]. Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (92)]. Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Dalam pelaksanaannya, desentralisasi melibatkan pendelegasian wewenang pemerintah yang terkait dengan politik dan birokrasi. Dalam pendelegasian tersebut terjadi bentuk pendelegasian yang meliputi otoritas politik dan otoritas birokrasi. Pada tataran Otoritas politik didelegasikan bila kekuasaan dialihkan melalui ketentuan Legislatif kepada pemerintah daerah atau dialokasikan antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah melalui konstitusi. Disini keleluasaan pemerintah daerah terbatas karena pengaruh dan kontrol dari pemerintah nasional. Pada tataran otoritas birokrasi berasal dari pendelegasian tanggung jawab dari kantor pusat sebuah organisasi kepada unit lapangan. Keleluasaan unit lapangan bergantung pada keputusan-keputusan yang siap untuk didelegasikan oleh atasannya, yang pelaksanaannya dari otoritasnya tunduk pada kontrol dan pengaruh organisasional. Dalam konteks desentralisasi di Indonesia, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) menemukan bukti bahwa desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi sebagai berikut: 1. meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal. Di wilayah yang di survey, terdapat indikasi kuat menguatnya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. 2. perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Oleh karena fungsi pelayanan berada di tangan pemerintah daerah yang secara spasial lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat, maka adalah hal yang wajar ketika masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan dan tuntutannya terhadap pelayanan publik ini. Di bidang pelayanan ini, ditemukan fakta bahwa kualitas dan kuantitas pelayanan makin meningkat di beberapa daerah, dan ada pula yang menurun di sebagian daerah lainnya. 3. kerjasama regional adalah bahwa antar pemerintah Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Adanya kepentingan bersama untuk meningkatkan pelayanan publik dan pendapatan daerah, serta hasrat untuk menyelesaikan konflik yang muncul dari kebijakan desentralisasi, telah mendorong pemerintah daerah untuk saling membantu. B. Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Desentralisasi pendidikan mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah dalam hal pendidikan antara lain : a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan. b. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi. Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans. Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. 2. Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama. 3. Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja. 4. Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran 5. Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari. 6. Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas. 7. Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan. 8. Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. 9. Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan. Analisis Isu Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi dirancang untuk membawa pengambilan keputusan yang semakin dekat kepada siswa dan belajar lingkungan kelas. Bagaimanapun, desentralisasi membawa serta kemungkinan kemungkinan ekstrim masyarakat lokal, mencakup orang tua dan pendidik, tidak mempunyai pengetahuan dan sumber daya cukup melindungi mutu pendidikan yang disajikan kepada anak-anak mereka. Namun ternyata, tujuan yang bagus dari konsep desentralisasi tersebut memunculkan permasalahan-permasalahan saat diaplikasikan secara nyata. Salah satunya adalah manifestasi dari UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Kondisi yang ada pendidikan tinggi seolah hanya milik orang-orang berduit karena perguruan tinggi negeri bebas mematok biaya pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan beberapa fakultas membuka jalur khusus dengan biaya yang fantastis. Semua ini hanya akan bias menjadi konsumsi kalangan ekonomi menengah ke atas. Oleh karena itu dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, untuk semua warga Indonesia. Bukan sebaliknya yaitu generasi yang menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme yang selama ini dihadapkan pada kehidupannya. Sementara kita tahu peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan yang didapat di bangku sekolah dengan tidak semestinya. Permasalahan lain terkait dengan desentralisasi pendidikan adalah kualitas pendidikan yang terjadi di Indonesia masih belum sesuai harapan. Pendidikan yang terjadi masih sarat dengan muatan politis sehingga pendidikan terkesan bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan moral dan agama yang hanya bersifat dogmatis dan teoritis karena tidak disertai dengan contoh dan aplikasi yang semestinya. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan otoriter” seperti ini banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini “too much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama. Hal ini terbukti dengan karakter pelajar yang mudah terbawa arus pergaulan negative seperti tawuran, narkotika, pergaulan bebas dan lainnya. Bukan mereka tidak mengetahui kebenaran, tetapi mereka merasa tidak menjadi harus menjadi bagian dari kebenaran tersebut. Dari unsur pembiayaan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 22% dari Anggaran Pendapatan dan Biaya Negara tau APBN. Jumlah sebesar itu salah satunya digulirkan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan pada SD dan SMP. Sebagai control penggunaan dana tersebut, pemerintah mengeluarkan petunjuk penggunaan dana BOS dengan aturan-aturan yang singkat dan jelas. Namun, permasalahan lagi-lagi muncul. Alokasi penggunaan dana BOS yang telah ditetapkan pemerintah tersebut masih belum memenuhi kebutuhan sekolah secara nyata. Masih banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan sekolah dalam operasional hariannya. Sementara itu, dinas pendidikan terkait dan juga pemerintah daerah melarang sekolah melakukan pungutan kepada orang tua murid. Kondisi ini tentunya menjadikan situasi dilematis bagi sekolah. Da satu sisi, sekolah harus mengeluarkan dana tersebut sementara dana yang ada pada BOS tidak memperbolehkan pengeluaran untuk sub pengeluaran tersebut. Akibatnya terjadilah manipulasi sebagai win-win solution permasalahan yang dihadapi. Permasalahan dalam dunia pendidikan tidak berhenti sampai pada pengelolaan dan anggaran atau pembiayaan. Dalam standar isi pun terjadi distorsi antara semangat MBS pada penerapan desentralisasi pendidikan. Pada kurikulum tingkat Makro, telah ditentukan bahwa muatan kurikulum untuk SMP maksimal 32 jam dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengolah kearifan lokan sesuai kebutuhan sebanyak 4 jam. Namun kembali lagi semangat MBS dimentahkan lagi dengan rencana pendidikan pada sekala mezzo di tingkat provinsi dan skala mikro di tingkat kabupaten kota. Pada tingkatan mezzo di Jawa Tengah sebagai contoh, kurikulum sekolah dititipi muatan local provinsi berupa pelajaran bahasa Jawa sebanyak 2 jam untuk memanfaatkan kelonggaran waktu tersebut. Sementara kita tahu bahwa bahasa Jawa yang aktif di pakai memiliki beraneka ragam yang satu sama lainnya memiliki perbedaan dalam kosa kata dan norma pemakaiannya. Yang memprihatinkan, sekolah diwajibkan melaksanakan kurikulum bahasa jawa yang berorientasi pada materi bahasa yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi setempat. Kurikulum bahasa Jawa mengacu pada bahasa Jawa versi Solo atau Jogja sementara Jawa bukan hanya Solo dan Jogja tetapi ada Tegal, Brebes, Purwokerto, Cilacap, Pemalang yang semuanya memiliki perberbedaan dari Solo dan Jogja. Dengan demikian praktis tinggal 2 jam pelajaran yang dimiliki sekolah untuk menerapkan kearifan loka. Namun.kembali benturan terjadi. Pada tataran mikro, kembali lagi pemerintah daerah memanfaatkan otonominya dalam mencampuri urusan kurikulum pada tingkat sekolah dengan dititipkannya muatan local Pertiwi (Pertanian, Industri, dan Pariwisata) untuk memanfaatkan dua jam tersisa. Dengan demikian habislah sekolah menyelenggarakan kearifan local dalam pendidikannya yang sesuai dengan daerah setempat. MBS yang seharusnya menjadi sarana sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi yang ada ternya masih harus berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain. Permasalahan lain yang terjadi pada pendidikan di tingkat mikro terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sarana dan prasarana merupakan salah satu elemen yang viatal dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Rasanya hamper mustahil suatu pendidikan akan berjalan dengan bagus dan menghasilkan output yang bagus pula dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang minimalis. Tanggung jawab pengadaan sarana terletak di tangan pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah. Beberapa pendanaan telah digulirkan demi pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan juga APBN-P. Namun ternyata dana yang besar saja tidak cukup tanpa diiringi aparat yang kompeten dan bertanggung jawab. Dana-dana tersebut seringkali salah dalam penyaluran sehingga tujuan pemerintah untuk melengkapi pendidikan dengan sarana dan prasarana yang memadai secara keseluruhan tak kunjung tercapai. Terjadi penumpukan proyek pada satu dua sekolah sementara di sekolah yang lain masih tetap kekurangan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Menjadi suatu yang lumrah manakala menejemen sekolah yang memiliki kedekatan dengan penentu kebijakan di tingkat dinas pendidikan atau pemerintah daerah akan sering kebanjiran proyek. Hal ini tentunya akan menghampat ketercapaian pemerataan ketersediaan sarana dan prasarana demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Analisis Operasional Pendidikan Harapan Pendidikan, dalam era demokrasi ini harus mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif dan juga negative terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatur tentang pendidikan di negara kita. Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Telah dikemukakan di atas bahwa permasalahan yang terkait dengan penerapan MBS pada era otonomi daerah atau desentralisasi meliputi dibukanya peluang perguruan tinggi untuk membuka jalur khusus di samping jalur regular. Jalur khusus ini tentunya hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang memiliki kekhususan terutama dalam pembiayaan. Kondisi ini akan mengakibatkan Gap antara mahasiswa regular dan mahasiswa jalur khusus yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas. Meskipun tidak bias kita pungkiri, ada beberapa jalur khusus yang juga menerima mahasiswa dengan pendanaan yang kurang asalkan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Demi mewujudkan azaz keadilan dan persamaan hak, jalur khusus seperti ini perlu ditinjau ulang. Jangan sampai demi pemenuhan kepentingan lembaga, akibat ke depan terciptakanya insan Indonesia yang “Money Oriented” akan menggerogoti Indonesia semakin dalam. Dalam kaitannya dengan pendanaan BOS, petunjuk memang diperlukan. Akan tetapi petunjuk yang kaku akan menjadikan ketidakakuntabilitasnya keuangan pada suatu lembaga pendidikan. Kondisi seperti ini apabila dibiarkan terus, akan membuka kran korupsi lebih luas. Oleh karena itu, ada dua alternative dalam pengelolaan keuangan suatu lembaga pendidikan. Yang pertama, lembaga pendidikan diserahkan kebijakan pengelolaan keuangan sesuai dengan kebutuhan lembaga tersebut secara penuh. Sebagai bentuk transparansi keuangan, lembaga tersebut diharuskan membuat laporan (SPJ) terkait dengan penggunaan keuangan tersebut. Cara yang kedua adalah sekolah mengikuti petunjuk penggunaan keuangan sesuai dengan aturan yang berlaku seperti yang sekarang ini berlaku. Namun, untuk membuat aturan tersebut, diperlukan pemikiran dan kajian yang mendalam disertai studi lapangan sehingga akan tercipta suatu produk aturan yang terterima oleh semua pihak. Dalam kaitannya dengan kurikulum, berilah sekolah mengembangkan kearifan local yang dinilai perlu dikembangkan. Apabila diperlukan tititpan muatan loka yang sifatnya kedaerahan, hal tersebut hanya bersifat pilihan sehingga sekolah masih memiliki kewenangan apakan titipan muatan local daerah yang ditawarkan sesuai dengan kearifan local setempat. Solusi yang terkait dengan pemerataan sarana dan prasarana sekolah, diperlukan beberapa hal. Hal tersebut adalah: 1. pendataan riil seluruh kebutuhan sekolah terkait dengan sarana melalui studi lapangan bukan sekadar dokumentasi dan laporan profil sekolah. 2. Pembuatan rencana strategis yang valid didasarkan pada kondisi dan kebutuhan nyata bukan pada tataran pemenuhan administrasi semata. 3. Penempatan personil penentu kebijakan yang amanah dan bervisi kemajuan pendidikan secara mikro, mezzo, dan makro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar