Senin, 25 Februari 2013

SOSIALISASI

Oleh : FARICHIN setiap orang tidak akan pernah luput dari kegiatan bernama sosialisasi. Sebagaimana fitrahnya manusia sebagai mahluk sosial, kita tidak pernah bisa lepas dari sosialisasi. Sosialisasi ini sebgai salah satu pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Manusia yang lebih beradap dan mertabat salah satunya ditandai dengan sosialisasi. Sejarah menunjukkan bahwa manusia primitif yang sudah dianggap lebih bermartabat dikelompokkan dalam Homososius yaitu manusia yang bersosialisasi. Ini satu tingkat di atas manusia primitif yang tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. dalam pembahasan ini akan dibahas tentang sosialisasi dari beberapa perspektif. semoga pembahasan tentang sosialisasi ini akan bermanfaat untuk para pembaca. Oh, ya jangan lupa kasih komentar. A. Sosialisasi dari sudut pandang agama, sosiologi, dan psikologi Manusia adalah makhluk social yang tidak bisa lepas dari kehidupan sosialnya. Dalam menjalani kehidupan sosialnya, manusia melakukan sosialisasi. Namun, apa sebenarnya sosialisasi itu? Sebelum membahas lebih jauh tentang sosialisasi, berikut ini ada beberapa pendapat tentang hakikat sosialisasi. a. Charlotte Buhler Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya. b. Peter Berger Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya. c. Paul B. Horton Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya. d. Soerjono SoekantoSosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma social yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Dalam kajian Islam sosialisasi salah satunya diungkapkan dalam alquran surat Ar Rum ayat 21 yang artinya kurang lebih 021. (Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri) Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam sedangkan manusia yang lainnya tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan (supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya) supaya kalian merasa betah dengannya (dan dijadikan-Nya di antara kamu sekalian) semuanya (rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu) hal yang telah disebutkan itu (benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir) yakni yang memikirkan tentang ciptaan Allah swt. (Tafsir Jalalain oleh Jalaludin Asy Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad ibn Ahmad Al Mahalliy) Begitu indahnya Islam sehingga etika dalam pergaulan juga diberikan aturannya. Seperti terungkap dalam hadist yang berbunyi Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, sesungguhnya Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhori dan Muslim) Dari hadist ini dapat ditarik beberapa pelajaran yaitu adanya hak manusia atas Alloh dan hak manusia atas manusia yang lainnya. Hak sesama manusia adalah menjaga lisan dan memuliakan orang. Menjaga lisan bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mampu maka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa’: 114, yaitu perintah bershadaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di luar ketiga hal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan. Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat. Memuliakan berarti melakukan tindakan yang terpuji yang bisa mendatangkan kemuliaan bagi pelakunya. Dengan demikian memuliakan orang lain adalah melakukan tindakan yang terpuji terkait dengan tuntutan orang lain. Salah satunya adalah memuliakan tetangga dan tamu. Tetangga menurut syariat adalah sesuai dengan pengertian adat, artinya kapan secara adat dinilai sebagai tetangga maka dinilai sebagai tetangga juga oleh syariat. Kaidah menyatakan semua istilah yang ada dalam syariat dan tidak ada batasannya secara syariat dan bahasa maka pengertiannya dikembalikan kepada adat. Batasan tamu yang wajib diterima dan dilayani adalah jika dia tidak memiliki kemampuan untuk mencari tempat untuk tinggal atau untuk makan. Jika mampu maka hukumnya sunnah. Adapun batasan lamanya adalah 1 hari 1 malam, sempurnanya 3 hari 3 malam. Masih banyak lagi ajaran Islam yang terkait dengan sosialisai manusia dengan manusia yang lainnya. Dari sudut pandang sosiologi, sosialisasi dipandang sebagai sarana manusia untuk mengenal diri dan lingkungannya serta bagaimana dia dapat mengembangkan dirinya secara maksimal. Ada beberapa kegiatan masnusia dalam interaksi social yaitu sosialisasi belajar dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Proses sosialisasi adalah suatu proses belajar, bagaimana seorang individu harus berbuat dan bertingkah laku di tengah masyarakatnya. Dalam sosialisasi juga seorang individu akan belajar tentang kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya agar ia dapat hidup, diterima dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.Segala sesuatu yang dipelajari individu mula-mula dipelajari dari orang lain di sekitarnya terutama dari anggota keluarganya. Individu belajar secara sadar dan tak sadar. Secara sadar individu menerima apa yang diajarkan oleh orang di sekitarnya, misalnya seorang ibu mengajarkan anaknya berbahasa dan bagaimana cara makan yang benar. Sedangkan secara tidak sadar, individu belajar dari mendapatkan informasi dalam berbagai situasi dengan memperhatikan tingkah laku orang lain, menonton televisi, membaca koran, mendengar percakapan orang lain, dan lain sebagainya. Sosialisasi terjadi melalui kondisi lingkungan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan fundamental, seperti berbahasa, cara berjalan, duduk, makan, berekalkuan sopan, dan sebagainya.Menurut Bruce J. Cohen sebagaimana dikutip dalam Elly M. Setiadi, sosialisasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:Memberikan bekal keterampilan yang dibutuhkan bagi individu pada masa kehidupannya kelak. Dalam persepektif Abu Ahmadi, tingkah laku manusia itu dapat diterangkan sebagai reaksi-reaksi terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Di daerah dingin manusia harus berpakaian yang tebal untuk mengatasi tuntutan iklim. Hal ini berarti bahwa tingkah laku manusia merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan fisik, disebut juga sebagai adaptasi. Di samping itu, tingkah laku manusia juga merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan sosial orang lain. Hal ini juga disebut dengan istilah adjusment.Selanjutnya, tuntutan dalam proses sosialisasi tersebut dapat diklasifikasi menjadi tuntutan internal dan eksternal. Tuntutan internal adalah tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang timbul dari dalam, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sebaliknya tuntutan eksternal adalah tuntutan atau dorongan yang timbul dari luar dirinya sebagai seorang individu, misalnya penyesuaian diri akibat tuntutan dari orang tua, istri/suami, guru, anak, masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga tingkah laku yang timbul setelah itu merupakan cerminan dari tuntutan tersebut. Dari belajar dan penyesuaian diri ini acapkali muncul suatu permasalahan psikologi. Permasalahan atau konflik yang muncul tersebut bias berbentuk (1) konflik antara tuntutan internal yang satu dengan tuntutan internal yang lain, misalnya untuk mendapatkan status atau prestige sosial seseorang harus bersaing atau bertentangan dengan teman-teman sendiri. (2), konflik antara tuntutan eksternal yang satu dengan tuntutan eksternal yang lain, mislanya seorang anak laki-laki mendapat tuntutan dari ayahnya agar dia meiliki sifat kelakian dan menjadi olahragawan, sedangkan ibunya menuntut agar dia memiliki sifat-sifat yang halus sebagai seniman. (3) konflik antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal, mislanya konflik antara dorongan seksual di satu pihak dengan tuntutan masyarakat agar dorongan itu disalurkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat (misalnya melalui perkawinan). Dari ketiga macam pola konflik tersebut, pola konflik yang ketiga adalah yang paling sering kita jumpai dan rasakan dalam masyarakat. B. Yang harus dipahami pendidik terkait dengan lingkungan Lingkungan sebagai salah satu komponen pendidikan sangatlah penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Dengan memahami lingkungan secara menyeluruh, pendidik akan dapat memanfaatkan lingkungan tersebut secara maksimal dalam melaksanakan pembelajaran. di samping itu, permasalahan-permasalahan yang terjadi pada peserta didik juga akan dapat dengan mudah diselesaikan tanpa adanya tekanan atau intimidasi. Intimidasi hanya akan menjadikan peserta didik tertekan yang pada akhirnya akan melakukan pemberontakan-pemberontakan. Seluruh komponen lingkungan secara signifikan mendukung pendidikan dapat berjalan dengan baik asalkan pendidik mampu memanfaatkannya dengan tepat. Bahkan di lingkungan social yang oleh sebagian orang dinilai kurang baik dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. keraifan pendidik sangat dituntut dalam hal ini. Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM berlangsung. Semua komponen pembelajaran harus dikelola sedemikian rupa, sehingga belajar anak dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.Mengelola lingkungan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas bukan merupakan tugas yang ringan. Oleh karenanya guru harus banyak belajar. Menurut Suharsini Arikunto (1990: 216), unsur-unsur atau komponen-komponen yang dapat mendukung kualitas pembelajaran, maka perlu diperhatikan unsur-unsur yang secara langsung berkaiatan dengan berlangsungnya proses belajar tersebut terdiri atas 6 komponen, yaitu:guru,siswa, kurikulum, konteks, metode, dan sarana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini:Gambar 4. Unsur-unsur Pembelajaran(Adaptasi dari Suharsini Arikunto, 1990: 216)Dari gambar di atas, nampaknya setiap unsur dapat dikatakan penting dan menentukan.Namun apabila dicermati lebih mendalam satu persatu unsure unsur selain guru, yakni konteks, siswa, kurikulum, metode, dan sarana, tidak dapat menunjukkan peran yang berbeda tanpa mengubah posisinya, namun disisi lain guru yang profesional mampu mengubah,mengupayakan atau memanipulasi ke-5 (lima) variabel tersebut untuk kepentingan pembelajaran yang ia kehendaki. C. Hal-hal yang perlu disosialisasikan kepada peserta didik Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran terkait dengan sosialisasi, maka ada beberapa hal yang perlu disosialisikan kepada siswa. Hal-hal tersebut adalah: 1. Cara memilih tema Teman sejawat sangat berpengaruh terhadap pola pergaulan anak. Pada akhirnya pola pergaulan ini anak mempengaruhi pendidikan yang dilakukan di lingkungan keluarga atau sekolah. Hal tersebut terutama terjadi pada masa-masa pubertas. Saat itu anak cenderung lebih percaya terhadap komunitasnya daripada dengan keluarga atau gurunya. Oleh karena itu, salah memilih teman akan berakibat fatal terhadap pendidikan anak selanjutnya. 2. Etika pergaulan Dalam bersosialisasi seseorang akan berhadapan dengan orang lain dengan berbagai tingkatan strata,gender, dan usia. Oleh karena itu, perlu adanya bimbngan bagaimana seseorang bersikap dan bersosialisasi dengan keanekaan lingkungan pergaulan tersebut. Sosialisasi dengan pejabat tentunya akan berbeda dengan sosialisasi antar teman. Demikian pula bagaimana kita bergaul dengan lawan jenis atau dengan orang yang lebih tua. Etika pergaulan sangat penting untuk menunjukkan karakter bangsa yang luhur. 3. Cara belajar efektif Peserta didik memiliki kewajiban untuk mengembangkan potensi dirinya dengan optimal. Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dan pantauan yang baik agar mereka dapat belajar dengan efektif. Keefektifan belajar tersebut tentunya akan dapat membantu mereka mengasah kemampuan dirinya secara maksimal. 4. Cara memanfaatkan lingkungan untuk mengembangkan potensi dirinya. Lingkungan memberikan fasiltas yang sangat banyak. Beberapa fasilitas lingkungan terkait dengan pendidikan adalah a. Lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mengaplikasikan hasil pengetahuannya di sekolah. Misalnya mempraktikan pembelajaran bahasa, keterampilan dan lainnya. b. Lingkungan dapat digunakan untuk menajamkan pengetahuan yang diterimanya di sekolah dengan melakukan observasi-observasi tertentu. Misalnya pengamatan terhadap hokum pasar, pengamatan terhadap lingkungan biotic dan abiotik dan lainnya. c. Lingkungan juga dapat dipakai untuk menggali pengetahuan. Ingat, di lingkungan kita banyak orang-orang dengan berbagai macam karakteristik yang berbeda-beda. Tentunya pengalaman mereka akan menjadi bahan pengetahuan yang tidak akan pernah kering.
READ MORE - SOSIALISASI

Kamis, 21 Februari 2013

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Oleh : Farichin Makna Desentralisasi Pendidikan A. Konsep Dasar Desentralisasi Gaung desentralisasi kini mulai menyeruak lagi sejak digulirkannya reformasi di Indonesia. desentralisasi yang juga dikenal dengan nama otonomi daerah seolah menjadi satu cara yang akan dapat memecahkan persoalan yang terjadi di Indonesia saat itu. Lalu bagaimana sebenarnya desentralisasi itu? Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh Rakyat Daerah, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), yang mengatakan bahwa “decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private sector” atau dengan terjemahan bebas dikatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Definisi serupa dikemukakan Turner dan Hulme. Turner mengatakan “decentralization is a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served. Dari pendapat Turner dan Hulme diketahui bahwa desentralisasi dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani (. Dengan melihat beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa desentralisasi pada hakikatnya terkait dengan deberikannya kewenangan pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang sesuai dengan sumber daya yang ada semaksimal mungkin. Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Selain tujuan desentralisasi, penentuan desentralisasi harus memperhatikan beberapa elemen. Elemen tersebut adalah: 1. Desentralisasi mengharuskan adanya pembatasan daerah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip nilai administratif dan politik tertentu, dimana guna memenuhi kebutuhan atau kehendak komunitas dan pembatasan daerah harus mencerminkan pola pemukiman dan distribusi spasial. 2. Pengalihan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk kekuatan politik harus dibuat peta politik yang memisahkan suatu komunitas dengan komunitas lain dan dapat dihubungkan dengan banyak faktor lain seperti sejarah, bahasa, kebudayaan dan tradisi. 3. Prinsip efisiensi dapat diberlakukan dalam pembagian daerah kekuasaan, sehingga pembatasan daerah mengandung gagasan tentang ukuran dan bentuk optimal yang ditetapkan secara teknis. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Adrian Leftwich (democratic developmental regime), ialah “A dedicated developmental elite; relative autonomy for the state apparatus; a competent and insulated economic bureaucracy; an empowered civil society; a capacity to manage effectively local and foreign economic interest; and a varying balance of repression, legitimacy and performance” untuk meningkatkan daerah yang lebih demokratis harus memenuhi hal-hal (1) adanya dedikasi para elite dalam pemerintahan; (2)otonomi untuk pemerintahan daerah; (3) birokrasi ekonomi yang kompeten dan terbatas; (4) pendayagunaan masyarakat; (4) kemampuan meng efektivitaskan ekonomi local dan asing yang vital; dan (5)keseimbangan kepentingan antara penguasa dan penyelenggaraan. Dalam konteks pemerintahan Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. peraturan tersebut kemudian direvisi. Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tetapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” [Pasal 18 ayat (1)]. Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (92)]. Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Dalam pelaksanaannya, desentralisasi melibatkan pendelegasian wewenang pemerintah yang terkait dengan politik dan birokrasi. Dalam pendelegasian tersebut terjadi bentuk pendelegasian yang meliputi otoritas politik dan otoritas birokrasi. Pada tataran Otoritas politik didelegasikan bila kekuasaan dialihkan melalui ketentuan Legislatif kepada pemerintah daerah atau dialokasikan antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah melalui konstitusi. Disini keleluasaan pemerintah daerah terbatas karena pengaruh dan kontrol dari pemerintah nasional. Pada tataran otoritas birokrasi berasal dari pendelegasian tanggung jawab dari kantor pusat sebuah organisasi kepada unit lapangan. Keleluasaan unit lapangan bergantung pada keputusan-keputusan yang siap untuk didelegasikan oleh atasannya, yang pelaksanaannya dari otoritasnya tunduk pada kontrol dan pengaruh organisasional. Dalam konteks desentralisasi di Indonesia, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) menemukan bukti bahwa desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi sebagai berikut: 1. meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal. Di wilayah yang di survey, terdapat indikasi kuat menguatnya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. 2. perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Oleh karena fungsi pelayanan berada di tangan pemerintah daerah yang secara spasial lebih dekat dan mudah diakses oleh masyarakat, maka adalah hal yang wajar ketika masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan dan tuntutannya terhadap pelayanan publik ini. Di bidang pelayanan ini, ditemukan fakta bahwa kualitas dan kuantitas pelayanan makin meningkat di beberapa daerah, dan ada pula yang menurun di sebagian daerah lainnya. 3. kerjasama regional adalah bahwa antar pemerintah Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Adanya kepentingan bersama untuk meningkatkan pelayanan publik dan pendapatan daerah, serta hasrat untuk menyelesaikan konflik yang muncul dari kebijakan desentralisasi, telah mendorong pemerintah daerah untuk saling membantu. B. Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Desentralisasi pendidikan mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah dalam hal pendidikan antara lain : a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan. b. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi. Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans. Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. 2. Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama. 3. Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja. 4. Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran 5. Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari. 6. Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas. 7. Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan. 8. Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. 9. Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan. Analisis Isu Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi dirancang untuk membawa pengambilan keputusan yang semakin dekat kepada siswa dan belajar lingkungan kelas. Bagaimanapun, desentralisasi membawa serta kemungkinan kemungkinan ekstrim masyarakat lokal, mencakup orang tua dan pendidik, tidak mempunyai pengetahuan dan sumber daya cukup melindungi mutu pendidikan yang disajikan kepada anak-anak mereka. Namun ternyata, tujuan yang bagus dari konsep desentralisasi tersebut memunculkan permasalahan-permasalahan saat diaplikasikan secara nyata. Salah satunya adalah manifestasi dari UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Kondisi yang ada pendidikan tinggi seolah hanya milik orang-orang berduit karena perguruan tinggi negeri bebas mematok biaya pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan beberapa fakultas membuka jalur khusus dengan biaya yang fantastis. Semua ini hanya akan bias menjadi konsumsi kalangan ekonomi menengah ke atas. Oleh karena itu dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, untuk semua warga Indonesia. Bukan sebaliknya yaitu generasi yang menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme yang selama ini dihadapkan pada kehidupannya. Sementara kita tahu peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan yang didapat di bangku sekolah dengan tidak semestinya. Permasalahan lain terkait dengan desentralisasi pendidikan adalah kualitas pendidikan yang terjadi di Indonesia masih belum sesuai harapan. Pendidikan yang terjadi masih sarat dengan muatan politis sehingga pendidikan terkesan bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa. Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas, sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan moral dan agama yang hanya bersifat dogmatis dan teoritis karena tidak disertai dengan contoh dan aplikasi yang semestinya. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan otoriter” seperti ini banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang, mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini “too much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama. Hal ini terbukti dengan karakter pelajar yang mudah terbawa arus pergaulan negative seperti tawuran, narkotika, pergaulan bebas dan lainnya. Bukan mereka tidak mengetahui kebenaran, tetapi mereka merasa tidak menjadi harus menjadi bagian dari kebenaran tersebut. Dari unsur pembiayaan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 22% dari Anggaran Pendapatan dan Biaya Negara tau APBN. Jumlah sebesar itu salah satunya digulirkan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan pada SD dan SMP. Sebagai control penggunaan dana tersebut, pemerintah mengeluarkan petunjuk penggunaan dana BOS dengan aturan-aturan yang singkat dan jelas. Namun, permasalahan lagi-lagi muncul. Alokasi penggunaan dana BOS yang telah ditetapkan pemerintah tersebut masih belum memenuhi kebutuhan sekolah secara nyata. Masih banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan sekolah dalam operasional hariannya. Sementara itu, dinas pendidikan terkait dan juga pemerintah daerah melarang sekolah melakukan pungutan kepada orang tua murid. Kondisi ini tentunya menjadikan situasi dilematis bagi sekolah. Da satu sisi, sekolah harus mengeluarkan dana tersebut sementara dana yang ada pada BOS tidak memperbolehkan pengeluaran untuk sub pengeluaran tersebut. Akibatnya terjadilah manipulasi sebagai win-win solution permasalahan yang dihadapi. Permasalahan dalam dunia pendidikan tidak berhenti sampai pada pengelolaan dan anggaran atau pembiayaan. Dalam standar isi pun terjadi distorsi antara semangat MBS pada penerapan desentralisasi pendidikan. Pada kurikulum tingkat Makro, telah ditentukan bahwa muatan kurikulum untuk SMP maksimal 32 jam dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengolah kearifan lokan sesuai kebutuhan sebanyak 4 jam. Namun kembali lagi semangat MBS dimentahkan lagi dengan rencana pendidikan pada sekala mezzo di tingkat provinsi dan skala mikro di tingkat kabupaten kota. Pada tingkatan mezzo di Jawa Tengah sebagai contoh, kurikulum sekolah dititipi muatan local provinsi berupa pelajaran bahasa Jawa sebanyak 2 jam untuk memanfaatkan kelonggaran waktu tersebut. Sementara kita tahu bahwa bahasa Jawa yang aktif di pakai memiliki beraneka ragam yang satu sama lainnya memiliki perbedaan dalam kosa kata dan norma pemakaiannya. Yang memprihatinkan, sekolah diwajibkan melaksanakan kurikulum bahasa jawa yang berorientasi pada materi bahasa yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi setempat. Kurikulum bahasa Jawa mengacu pada bahasa Jawa versi Solo atau Jogja sementara Jawa bukan hanya Solo dan Jogja tetapi ada Tegal, Brebes, Purwokerto, Cilacap, Pemalang yang semuanya memiliki perberbedaan dari Solo dan Jogja. Dengan demikian praktis tinggal 2 jam pelajaran yang dimiliki sekolah untuk menerapkan kearifan loka. Namun.kembali benturan terjadi. Pada tataran mikro, kembali lagi pemerintah daerah memanfaatkan otonominya dalam mencampuri urusan kurikulum pada tingkat sekolah dengan dititipkannya muatan local Pertiwi (Pertanian, Industri, dan Pariwisata) untuk memanfaatkan dua jam tersisa. Dengan demikian habislah sekolah menyelenggarakan kearifan local dalam pendidikannya yang sesuai dengan daerah setempat. MBS yang seharusnya menjadi sarana sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi yang ada ternya masih harus berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain. Permasalahan lain yang terjadi pada pendidikan di tingkat mikro terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sarana dan prasarana merupakan salah satu elemen yang viatal dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Rasanya hamper mustahil suatu pendidikan akan berjalan dengan bagus dan menghasilkan output yang bagus pula dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang minimalis. Tanggung jawab pengadaan sarana terletak di tangan pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah. Beberapa pendanaan telah digulirkan demi pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan juga APBN-P. Namun ternyata dana yang besar saja tidak cukup tanpa diiringi aparat yang kompeten dan bertanggung jawab. Dana-dana tersebut seringkali salah dalam penyaluran sehingga tujuan pemerintah untuk melengkapi pendidikan dengan sarana dan prasarana yang memadai secara keseluruhan tak kunjung tercapai. Terjadi penumpukan proyek pada satu dua sekolah sementara di sekolah yang lain masih tetap kekurangan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Menjadi suatu yang lumrah manakala menejemen sekolah yang memiliki kedekatan dengan penentu kebijakan di tingkat dinas pendidikan atau pemerintah daerah akan sering kebanjiran proyek. Hal ini tentunya akan menghampat ketercapaian pemerataan ketersediaan sarana dan prasarana demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Analisis Operasional Pendidikan Harapan Pendidikan, dalam era demokrasi ini harus mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif dan juga negative terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatur tentang pendidikan di negara kita. Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Telah dikemukakan di atas bahwa permasalahan yang terkait dengan penerapan MBS pada era otonomi daerah atau desentralisasi meliputi dibukanya peluang perguruan tinggi untuk membuka jalur khusus di samping jalur regular. Jalur khusus ini tentunya hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang memiliki kekhususan terutama dalam pembiayaan. Kondisi ini akan mengakibatkan Gap antara mahasiswa regular dan mahasiswa jalur khusus yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas. Meskipun tidak bias kita pungkiri, ada beberapa jalur khusus yang juga menerima mahasiswa dengan pendanaan yang kurang asalkan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Demi mewujudkan azaz keadilan dan persamaan hak, jalur khusus seperti ini perlu ditinjau ulang. Jangan sampai demi pemenuhan kepentingan lembaga, akibat ke depan terciptakanya insan Indonesia yang “Money Oriented” akan menggerogoti Indonesia semakin dalam. Dalam kaitannya dengan pendanaan BOS, petunjuk memang diperlukan. Akan tetapi petunjuk yang kaku akan menjadikan ketidakakuntabilitasnya keuangan pada suatu lembaga pendidikan. Kondisi seperti ini apabila dibiarkan terus, akan membuka kran korupsi lebih luas. Oleh karena itu, ada dua alternative dalam pengelolaan keuangan suatu lembaga pendidikan. Yang pertama, lembaga pendidikan diserahkan kebijakan pengelolaan keuangan sesuai dengan kebutuhan lembaga tersebut secara penuh. Sebagai bentuk transparansi keuangan, lembaga tersebut diharuskan membuat laporan (SPJ) terkait dengan penggunaan keuangan tersebut. Cara yang kedua adalah sekolah mengikuti petunjuk penggunaan keuangan sesuai dengan aturan yang berlaku seperti yang sekarang ini berlaku. Namun, untuk membuat aturan tersebut, diperlukan pemikiran dan kajian yang mendalam disertai studi lapangan sehingga akan tercipta suatu produk aturan yang terterima oleh semua pihak. Dalam kaitannya dengan kurikulum, berilah sekolah mengembangkan kearifan local yang dinilai perlu dikembangkan. Apabila diperlukan tititpan muatan loka yang sifatnya kedaerahan, hal tersebut hanya bersifat pilihan sehingga sekolah masih memiliki kewenangan apakan titipan muatan local daerah yang ditawarkan sesuai dengan kearifan local setempat. Solusi yang terkait dengan pemerataan sarana dan prasarana sekolah, diperlukan beberapa hal. Hal tersebut adalah: 1. pendataan riil seluruh kebutuhan sekolah terkait dengan sarana melalui studi lapangan bukan sekadar dokumentasi dan laporan profil sekolah. 2. Pembuatan rencana strategis yang valid didasarkan pada kondisi dan kebutuhan nyata bukan pada tataran pemenuhan administrasi semata. 3. Penempatan personil penentu kebijakan yang amanah dan bervisi kemajuan pendidikan secara mikro, mezzo, dan makro
READ MORE - DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Rabu, 13 Februari 2013

GLOBALISASI PENDIDIKAN

Oleh : Farichin Makna globalisasi Pendidikan Kita sering mendengar istilah globalisasi dunia baik di media elektronik maupun media cetak. Bahkan dalam pembeicaraan umum pun kita sering mendengar istilah globalisasi dunia. Apa sih sebenarnya glabalisasi itu? Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk. Kewarganegaraan.2005) Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Selo Sumarjan yang mendefinisikan globalisasi merupakan terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama. Hal ini menjadikan terjadinya kecenderungan masyarakat untuk menyatu dengan dunia, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan media komunikasi massa. Globalisasi merupakan kecenderungan masyarakat untuk menyatu dengan dunia, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan media komunikasi massa. Selain itu, para cendekiawan Barat mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proses kehidupan yang serba luas, tidak terbatas, dan merangkum segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial, dan ekonomi yang dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia di dunia. Pendapat lain tentang globalisasi oleh beberapa tokoh seperti: a. A. G. McGrew Globalisasi mengacu pada keserbaragaman hubungan dan saling keterkaitan antar masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. b. Malcom Waters Globalisasi adalah sebuah proses sosial di mana halangan-halangan bersifat geografis pada tatanan sosial dan budaya semakin menyusut dan setiap orang kian sadar bahwa mereka semakin dekat satu sama lain. c. Emmanuel Richter Jaringan kerja globalisasi yang secara bersamaan manyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi dalam planet ini ke dalam ketergantungan dan persatuan dunia. d. Thomas L. Friedman Globlisasi memiliki dimensi ideology dan teknlogi. Dimensi teknologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia. e. Princenton N. Lyman Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan. f. Leonor Briones Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita g. Bank Dunia Globalisasi berarti kebebasan dan kemampuan individu dan perusahaan untuk memprakarsai transaksi ekonomi dengan orang-orang dari negara lain. (http://mustofasmp2.wordpress.com/2011/01/03/pengertian-globalisasi/) Dengan melihat definisi-definis tentang globalisasi , dapat dikatakan bahwa globalisasi pendidikan merupakan suatu keadaan diaman suatu pendidikan diharapkan dapat mengurang batas wilayah dan kenegaraan sehingga komponen pendidikan yang terkait secara langsung maupun tidak dipersiapkan untuk terjadinya proses pengglobalan tersebut. Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa asing, computer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi. Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya untuk mencari peserta didik. Analisis Isu Globalisasi Pendidikan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Ada beberapa sekolah yang menerapkan Bilingual program sebagai bahasa pengantar. Ada pula sekolah yang memasang embel-embel bertaraf internasional. Semuanya diterapkan tanpa melihat pada kesiapan pelaksanaannya secara menyeluruh. Namun ternyata globalisasi sering kali menimbulkan kebingungan atau ambivalensi. Globalisasi pendidikan di Indonesia juga ditandai oleh ambivalensi yaitu berada pada kebingungan, karena ingin mengejar ketertinggalan untuk menyamai kualitas pendidikan Internasional, kenyataannya Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal kalau tidak ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal. Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan – Menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pada pasal 28 B ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya, demi kesejahteraan umat manusia” dan pasal 31 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan – Konstitusi itu menunjukkan kalau rakyat mempunyai kedudukan yang sama untuk dan di dalam memperoleh pendidikan yang tepat yang bisa membebaskannya dari kebodohan atau bisa mengantarkannya menjadi manusia-manusia berguna. Kata “setiap” dalam konstitusi tersebut artinya setiap orang, tanpa membedakan gender, strata sosial, etnis, golongan, agama dan status apapun berhak untuk memperoleh perlindungan di bidang pendidikan. Hak pendidikan menjadi hak setiap warga negara, karena jika hak ini berhasil diimplementasikan dengan baik, maka bangsa ini pun akan memperoleh kemajuannya. Karena pendidikan merupakan pondasi kehidupan bernegara. Pendidikan memiliki peran kunci dan strategis dalam memajukan sebuah bangsa. Dari pendidikan sebuah bangsa bisa dibuat maju atau mundur ke belakang. Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan – Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal di Indonesia bermula dari TK selama dua tahun dilanjutkan Sekolah Dasar hingga kelas enam. Lulusan sekolah dasar melanjut ke sekolah menengah pertama selama tiga tahun dan sekolah menengah atas tiga tahun berikutnya. Lulusan SMU dapat memilih untuk memperoleh gelar diploma atau sarjana atau bentuk pendidikan tinggi lain. Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan – Munculnya istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan tinggi bermula dari WTO yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Pendidikan di Indonesia sekarang membuat rakyat biasa sangat menderita. Pendidikan menjadi sesuatu yang tak terjangkau rakyat kecil. Tidak ada penggolongan orang miskin dan orang kaya. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan dikomersialkan. Implikasinya, jutaan rakyat Indonesia belum memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan tidak sedikit pula yang masih berkategori masyarakat buta huruf. Mereka belum bisa menikmati dunia pendidikan seperti anggota masyarakat yang mampu “membeli” dan menikmati pendidikan. Masyarakat demikian mencerminkan suatu kesenjangan yang serius karena di satu sisi ada sebagian yang bisa membeli politik komoditi pendidikan secara mahal. Sementara tidak sedikit anggota masyarakat yang tidak cukup punya kemampuan ekonomi untuk bisa membebaskan diri dari buta huruf akibat dunia pendidikan yang tidak berpihak secara manusiawi kepada dirinya. Biaya pendidikan yang melangit ini terjadi di dunia pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Tidak hanya itu implikasi dari makin mahalnya biaya pendidikan. Kualitas mahasiswa yang masuk perguruan tinggi pun nantinya patut dipertanyakan karena bukan tidak mungkin uang yang akan berbicara. Siapa yang lebih banyak dia yang akan menang. Bisa jadi mereka yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan bisa mengenyam pendidikan di jurusan dan universitas favorit karena dia bisa membayar biaya yang cukup tinggi. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan lebih tidak bisa menyandang gelar mahasiswa lantaran tidak memiliki kemampuan finansial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Padahal kurikulum di Indonesia itu sudah berulang kali dimodifikasi, bahkan diubah-ubah. Bahkan sering ada anggapan bahwa setiap kali ganti menteri tentu ganti kurikulum. Yang lebih membingungkan lagi, setiap terjadi perubahan pendekatan atau teori selalu disertai dengan berbagai jargon dan istilah-istilah baru. Dulu CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), kemudian link and match, kemudian KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan terakhir adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Berikutnya entah berbasis apa lagi. Ujungnya selalu saja ganti buku, ganti cara membuat persiapan mengajar, ganti cara ulangan, ganti cara tampil di kelas dan sebagainya. Bahkan, sering terjadi, kurikulum telah dimodifikasi lagi ketika kurikulum lama belum sampai di sekolah. Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalau kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa.Implikasinya, muncullah: a. Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global b. Virtual School dan Virtual University c. Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh (distance learning), pendidikan maya (virtual education) yang diadakan oleh Perguruan Tinggi Asing ; contohnya United Kingdom Open University dan Michigan Virtual University. d. Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain; contoh : yaitu hadirnya banyak para pemuda Indonesia menuntut ilmu membeli jasa pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan ternama yang ada di luar negeri. e. Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya dengan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri bekerja sama dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia (tidak gratis tentunya). f. Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut. Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era globalisasi ini alias lulusan yang kurang berkualitas. Selain itu banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Padahal tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut seperti dana BOS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya siswa Indonesia memiliki daya saing di tingkat internasional. Namun apa yang terjadi selain penyelewengan seperti yang disebutkan di atas, terjadi penggunaan dana BOS yang belum tepat Analisis Operasional Pendidikan Harapan Perlu adanya perombakan pada kebijakan yang menyangkut masalah pendidikan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kaum miskin. Komersialisasi pendidikan mutlak harus dihentikan karena hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Arif Rahman, ada 9 titik lemah pendidikan di Indonesia. Ke-9 titik tersebut adalah: 1. Pendidikan lebih diutamakan pada aspek kognitif 2. Evaluasi yang dipakai meninggalkan proses kreatif, imajinatif, dan inovatif siswa 3. System pendidikan berubah dengan system pengajaran 4. Minat belajar siswa kurang dibina dengan baik 5. Terbentuknya budaya mengejar title atau ijazah bukan ilmu pengetahuan 6. Praktik dan teori kurang berimbang 7. Tidak melibatkan semua stakeholder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah 8. Profesi pendidik bukan lagi profesi kemanusiaan 9. Problem nasional yang multidimensional serta lemahnya political will pemerintah Berdasarkan titik-titik kelemahan di atas, diperlukan suatu tindakan untuk menghilangkan kelemahan tersebut menjadi sebuah kekuatan. Kegiatan tentunya difokuskan pada bagaimana usaha untuk semaksimal mungkin mengurangi kelemahan yang ada. Untuk mengatasi pendidikan yang difokuskan pada aspek kognitif, perlu dicarikan satu model pendidikan yang juga dapat menjadi sarana mengembangkan diri siswa baik aspek kognitif dalam ranah pengetahuan siswa; aspek afektif dengan karakter bangsa yang baik, dan psikomotor yang terwujud dari keterampilan siswa menuju enterpreuner yang handal. Salah satu yang pernah dikemukakan adalah pemikiran HAR. Tilaar tentang Konsep Pendidikan Multikultural. Pendidikan multikultaral dilatarbelakangi oleh keadaan Indonesia yang merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. Terkait dengan ada beberapa alas an yang dikemukan mengapa pendidikan jenis ini diperlukan. Beberapa alas an tersebut adalah 1. pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. 2. pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula. 3. pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang 4. mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004: 67). Terkait dengan konsep pelaksanaan, pendidikan multicultural harus berdasarkan pada falsafah bangsa Indonesia yang berbineka tunggal ika dan berpancasila. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: 1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama. 2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara. 3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. 4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. 5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa, ras, dan agama. Oleh karena itu, pendidikan harus semaksimal mungkin menjadi pemersatu dari keanekaragaman tersebut. 6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Pendidikan harus berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat bukan pada kepentingan politis penguasa. Pendidikan multicultural sangat tepat diterapkan di Indonesia karena kondisinya sangat memenuhi syarat. Untuk mengaplikasikan pendidikan multicultural di Indonesia perlu dipahami tentangpendidikan. Menurut Tilaar dimensi pendidikan multicultural tersebut adalah: 1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Pendidikan tidaklah menafikan suatu budaya local tempat pendidikan tersebut berlangsung. Bukan pula melakukan asimilasi sehingga terbentuk suatu kebudayaan baru. Akan tetepai pendidikan harus mengapresiasikan budaya yang ada untuk dapat dikembangkan secara maksimal. 2. Kebudayaan indonesia yang menjadi. Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiapinsan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. 3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif. Kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. 4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial. Suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. 5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks. 6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003). Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Beberapa peristiwa menjadi bukti tentang pernyataan ini. Kita masih ingat ada terror Bom Bali I dan II, Bom di JW.Mariot Jakarta, perkelahian pelajar dan juga mahasiswa, praktik prostitusi pelajar, perdaganagan manusia, dan lainnya yang menjadi raport merah dalam dunia pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, kini saatnya untuk berubah demi masa depan anak bangsa yang lebih berkarakter.
READ MORE - GLOBALISASI PENDIDIKAN

Rabu, 06 Februari 2013

MEMBUAT KLEPON

Pernah mendengar kata klepon? ha....ha... jangan sampai keliru dengan telepon ya. Klepon merupakan satu makanan tradisional yang cukup enak dimakan, apalagi sore hari saat kumpul dengan teman atau keluarga. Bentuk bulat dengan warna hijau pandan. Isinya adalah gula merah yang apabila digigit mak Nyus meledak di mulut menebarkan rasa manis tradisional. Rasa manis akan bercampur dengan rasa gurih dari taburan kelapa parut seperti salju.

pengin tahu cara membuatnya?
berikut ini caranya
1. siapkan beberapa lembar daun pandan atau daun suji kemudian diblender lalu disaring untuk dijadikan pewarna alami.
2.tepung ketan, sedikit garam, dicampur dengan larutan daun suji kemudian diuleni sampai kalis.
3. didihkan air
4. sambil menunggu air mendidih ambil bagian kecil adonan kemudian pipihkan lalu beri gula merah. bulatkan agar gula merah berada di dalam.
5. masukkan bulatan ke dalam air yang mendidih. apabila sudah mengapung angkat dan tiriskan.
6. sajikan klepon dengan parutan kelapa.
nah mudah kan? selamat mencoba
READ MORE - MEMBUAT KLEPON

Senin, 04 Februari 2013

KOMPONEN PENDIDIKAN

Pleh : Farichin KOMPONEN TERPENTING DALAM PENDIDIKAN Sistem pendidikan nasional memeliki beberapa komponen dasar. Komponen-komponen tersebut adalah (1) peserta didik, (2) Pendidik, (3) kurikulum, (4) Pendanaan, (5)Sarana dan prasarana pendidikan, (6) Menejemen, (7) Partisipasi masyarakat, dan (8)Pengendalian dan Pengawasan. Kedelapan komponen dalam sistem pendidikan nasional tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Mereka saling terkait dan mendukung demi terwujudnya fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namundemikian, dari delapan komponen pendidikan tersebut, yang terpenting adalah yang terkait dengan sumber daya manusia baik dari komponen peserta didik maupun pendidik. Pendidikan tidak akan mungkin terjadi apabila tidak ada dua komponen tersebut. Syarat utama terjadinya proses pendidikan adalah adanya peserta didik yang menjadi subjek pembelajaran dan pendidik yang menjadi pelaksana kegiatan pembelajaran tersebut. Keterlibatan komponen lain di lauar peserta didik dan pendidik hanya berlaku pada pendidikan yang bersifat khusus. Pada pendidikan yang bersifat umum, ketiadaan komponen di luar peserta didik dan pendidik tidak akan mengganggu proses pendidikan. Sebagai contoh, orang tua menasihati anak-anaknya agar bersikap dan berperilaku sopan merupan suatu proses pendidikan. Saat terjadinya proses tersebut, tidak diperlukan kurikulum, dana, sarana dan prasarana, menejemen, partisipasi masyarakat, dan pengawasan pengendalian. Dalam lingkup pendidikan secara khusus, komponen SDM juga memegang peranan penting. Dalam pendidikan formal maupun nonformal, suatu lembaga pendidikan akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran manakala di situ terdapat unsur peserta didik dan pendidik. Meskipun demikian, dalam kategori lingkup khusus, keberadaan komponen lain di luar komponen manusia masih sangat mempengaruhi keterlaksanaannya proses pembelajaran. Di samping hal-hal di atas, terdapat keunggulan lain dari komponen manusia dalam sistem pendidikan nasional terutama pada komponen pendidik. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah: 1. Pendidik merupakan perancang suatu proses kegiatan pembelajaran. Pendidik yang baik akan dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik. 2. Pendidik akan dapat dengan cepat mengubahsesuaikan keadaan yang disesuaikan dengan situasi tertentu. Konsep bersifat fleksibel sehingga apabila terjadi kejanggalan atau kelemahan proses pembelajaran, akan dapat dengan cepat diubah agar lebih sesuai dengan kondisi saat itu. Perubahan seluruh komponen pendidikan akan dapat dengan mudah disesuai oleh pendidik. 3. Pendidik bersifat progresif dalam artian mereka dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Perubahan kebutuhan dan tuntutan keilmuan terkait dengan perubahan kebijakan pemerintah akan dengan cepat disesuaikan oleh komponen pendidik. Dari hal-hal di atas tampak jelas, bahwa komponen utama dari suatu sistem pendidikan adalah yang terkait dengan komponen sumber daya manusia. Dari sumber daya manusia yang ada dalam sistem pendidikan, peserta didik dan pendidik, pendidik memiliki peranan yang penting dan strategis untuk melaksanakan pendidikan ke arah yang lebih baik sesuai dengan harapan dan cita-cita nasional.
READ MORE - KOMPONEN PENDIDIKAN