Jumat, 29 Maret 2013

PERMASALAHAN PENDIDIKAN


 
Pendidikan adalah segala usaha yang ditujukan agar manusia dapat mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakan. Proses tersebut merupakan kegiatan yang mulia dan selalu mengandung kebajikan, dan selalu berwatak netral. Pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan demikian, peranan penting pendidikan dalam membangun karakteristik manusia yang unggul dan tangguh. Pendidikan dapat digunakan sarana untuk membina jati diri bangsa dan identitas kita, memupuk karakter bangsa, dan memperkuat wawasan kebangsaan.
tujuan mulia dari pnedidikan bukannya tidak menuai permasalahan. Banyak permasalahan yang muncul. kemunculan permasalahan pendidikan tersebut bukan hanya pada tingkat makro, tetapi juga pada tingkat di bawahnya yaitu mezo dan mikro. permasalahan pendidikan seperti sebuah benang kusut yang tak pernah selesai. penyelesaian satu permasalahan pendidikan yang satu memunculkan permasalahan pendidikan yang lain. Salah satu biang kerok permasalahan pendidikan adalah terkait dengan Sumber Daya Manusia. Pada tingkat atas, kebijakan pendidikan dipolitisr untuk kepentingan tertentu bukan murni untuk kemajuan bangsa. di tingkat pelaksana daerah mezo dan mikro, terjadi mis sehingga terjadi permasalahan lain karena ditumpangi unsur X. pada tingkat sekolah, sebagai lini terdepan pendidikan, juga masih banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang "ASAL" dalam artian asal menunaikan tugas. Bekerja dengan otot dan akal bukanya dengan hati. Muncul permasalahan lain yaitu bergesernya paradikma mendidik menjadi mengajar. 
              Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen). Permasalahan tersebut bukan hanya pada peserta didik, tetapi juga pada tenaga kependidikan, sarana-dan prasarana, kurikulum, dan faktor pendukung pendidikan lainnya. Berpijak pada fakta tentang rendahnya mutu pendidikan di atas, Departemen pendidikan dan seluruh punggawa-nya melakukan semua usaha peningkatan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah melalui langkah-langkah yang prospektif. Peningkatan kualitas pendidikan tersebutmerupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai standar nasional pendidikan sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 2 tersebut diatur bahwa ruang lingkup standar nasinal pendidikan terdiri dari delapan ruang lingkup, yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.
             Semua langkah tersebut ditujukan pada upaya penciptaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu yang dapat menuju pada aktualisiasi hakikat pendidikan. Baedhowi, mengemukakan bahwa pendidikan bermutu akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung komitmen yang tinggi dan perencanaan yang baik, dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan upaya tersebut, dalam makalah ini akan diulas mengenai langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang didasarkan pada fakta dan harapan.
              Terkait dengan permasalahan pendidikan di Indonesia, hampir semua komponen dan standar pendidikan yang ada mengandung permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya harus diikapi dengan bijak dan tepat. Slah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan studi komparasi dengan sistem pendidikan di luar negeri. Dengan melakukan komparasi tersebut diharapkan dapat meringankan beban analisis permasalahan dan solusi pemecahan masalah. Berikut ini adalah permasalahan yang muncul dari pendidikan di Indonesia
1.      Standar Isi Pendidikan
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

2.      Standar Proses Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan kurikulum, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikulum misalnya (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry). Hal ini diharapkan dapat mencapai konndisi yang menurut Sagala, S. terjadinya pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.
Pendekatan Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
Pendekatan di atas menunjang pelaksanaan KTSP. Melalui semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri sehingga sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Meskipun demikian, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari pusat. Implementasi KTSP membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Karena itu, Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten. Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Kendala lain dalam pelaksanaan KTSP, kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah, begitu pula daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat sendiri kurikulum. Selama ini pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan benar, termasuk evaluasi guru. Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat. Karena itu, Pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan penerapan KTSP.


3.      Standar Kompetensi Lulusan
Rendahnya prestasi peserta didik berkaitan erat dengan kelemahan sarana fisik dan kualitas guru.Sebagai gambaran umum, pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

4.      Standar Tenaga Kependidikan
      Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong pada pendidik. Guru sebgai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidi adalah 1) orang dewasa, 2) orang tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.
          Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 butir 6, Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan istilah lainnya yang sesuai dengan kekhususannya yang juga berperan dalam pendidikan. Mengacu pada UU sisdiknas dapat diartikan bahwa pendidik merupakan tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi tertentu sebagai seorang figur yang tentunya harus mampu menetapkan dan menerapkan strategi-strategi demi tercapainya tujuan pembelajaran.
          Sujarwo (2012: 6-7) menyebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada jenjang pendidikan tinggi. Pendidik adalah suatu pekerjaan yang bersifat profesional, dalam arti suatu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh individu yang secara khusus telah dipersiapkan. Sebagai tenaga profesional seorang pendidik mempunyai tugas dan peranan yang sangat kompleks, tidak terbatas pada saat berlangsungnya interaksi pembelajaran di dalam kelas, namun juga bertugas sebagai administrator, fasilitator, motivator, evaluator dan konselor. Menurut Glasser ada empat hal yang harus dikuasai seorang pendidik, yaitu: a) menguasai bahan pelajaran, b) kemampuan mendiagnosis tingkah laku peserta didik, c) kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, d) kemampuan menyimpulkan hasil belajar. A teacher is a person who help others learn (seorang pendidik adalah seorang yang membantu belajar orang lain) kehadiran seorang pendidik dalam proses pembelajaran merupakan peran yang sangat penting dan tidak dapat digantikan oleh mesin, radio atau tape recorder,media, bahkan komputer yang paling canggihpun, karena dalam proses pembelajaran melibatkan unsur-unsur manusiawi seperti; sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, emosi, kebiasaan dan lain-lain yang kesemuanya merupakan sumber daya dan potensi pembelajaran. Tugas pokok seorang pendidik dalam proses pembelajaran, meliputi: a) menyusun program pembelajaran atau praktik, b) menyajikan program pembelajaran atau praktik, c) melaksanakan evaluasi belajar atau praktik, d) melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar atau praktik, e) menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan, f) menyusun dan melaksnakan program bimbingan dan penyuluhan di kelas yang menjadi tanggungjawabnya, g) membimbing peserta didik dalam kegiatan kurikulum, h) membimbing pendidik dalam kegiatan proses pembelajaran atau praktik perorangan, i) melaksanakan bimbingan karier peserta didik, j) mengikuti kegiatan ujian. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, seorang pendidik dipersyaratan memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, professional dan kompetensi sosial.
             Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
                 Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
              Beberapa penyebab lain tentang masih rendahnya mutu pendidikan di Indoensia adalah kurangnya jumlah dan kalitas tenaga kependidikan yang meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan juga belum optimal, baik jumlah maupun kualitasnya. Khusus tentang pengawas satuan pendidikan, Dewanto mengemukakan bahwa selama ini citra pengawas pendidikan tidak baik. Mereka lebih bersikap sebagai polisi daripada pengawas. Juga pengawasan pendidikan menengah oleh Bawasda, yang umumnya tidak punya pengalaman di bidang pendidikan dan sumber daya manusia mereka kurang. Dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Di Jawa Timur, jumlah guru yang pendidikan tarakhirnya belum S-1 atau D-4, sebanyak 205.147 orang, yang meliputi lulusan SLTA sebnayak 90.570 orang, D-1 sebanyak 5.688 orang, D-2 sebanyak 90.814 orang, D-3 sebanyak 18.075 orang. Guru PNS yang banyak menjajdi guru di SD dan MI berusia antara 41 sampai dengan 50 tahun.
        Selama ini sebaran guru yang kompeten juga masih sporadis, hanya terkonsentrasi di kawasan perkotaan (Urban School), dan di sekolah-sekolah terpencil (Rural School) masih banyak yang belum mempunyai guru profesional. Penghargaan berupa materi maupu non-materi kepada para pendidik yang berprestasi masih perlu ditingkatkan, sanksi terhadap guru atau tenaga kependidikan yang nakal juga belum tegas. Pengharagaan kepada para pendidik di daerah pinggiran juga masih belum optimal.


5.      Standar Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan berpengaruh terhadap pembelajaran.  Dalam mpengelolaan pendidikan, sarana dan prasarana setiap sekolah harus harus sesuai dengan standar nasional. (1) Rendahnya sarana fisik. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan prosentase yang tidak sama.

6.      Standar Pengelolaan Sekolah
Menejmen atau pengelolaan pendidikan yang diterapkan di sekolah menggunakan menejemen mutu berbasis sekolah. Sekolah atau MBS. Manajemen berbasis sekolah, sebagai model kebijakan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia mengandung beberapa pokok pikiran yang dapat dicermati.
a.       Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sebagai pendekatan dalam manajemen pendidikan merupakan salah satu bentuk desentralisasi pendidikan pada level sekolah yang intinya adalah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Dalam Undang – undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, sebutanya adalah “Manajemen Berbasisi Sekolah/Madrasah”.
b.      penerima kewenangan untuk mengambil keputusan di dalam pengelolaan sekolah bukan Kepala Sekolah seorang diri ( sebagai otoritas/penguasa satuan pendidikan), melainkan secara kolektif, yaitu Kepala Sekolah bersama para guru dan dibantu oleh Komite Sekolah. Di negara lain,  bahkan dalam hal tertentu melibatkan wakil siswa, terutama pada jenjang pendidikan menengah. Penerimaan kewenangan secara kolektif ini tidak berarti menghilangkan/mengurangi fungsi Kepala Sekolah sebagai pemimpin sekolah yang sehari-harinya berhak untuk mengambil keputusan di dalam pengelolaan sekolah. Di dalam proses pengambilan keputusan ( terutama yang menyangkut masalah strategis atau yang pelaksanaan dan hasilnya menyangkut kepentingan berbagai pihak ) harus melibatkan pihak-pihak terkait tersebut ( guru dan komite sekolah ). Pengambilan keputusan dan kepemimpinan sekolah itu bersifat partisipatif dan demokratis.
c.        pemberian kewenangan kepada sekolah dalam kerangka MBS, harus disertai alokasi sumber daya pendidikan ( terutama alokasi dana) sesuai kewenangan yang diberikan dan dikelola oleh sekolah sesuai perencanaan masing-masing sekolah.
d.       ada parameter (batasan-batasan) dalam pelaksanaan MBS oleh satuan pendidikan ( Kepala Sekolah, guru dibantu komite sekolah ). Parameter tersebut diantaranya adalah sistem pemerintahan (birokrasi) yang  berlaku dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Sisdiknas dan aturan-aturan pelaksanaannya, serta tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan MBS yeng tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
e.       ada akuntabilitas kepada berbagai pihak yang berkaitan dengan (1) mutu pendidikan, (2) keadilan bagi semua anak didik, (3) efektifitas dan efisiensi pengelolaan satuan pendidikan. Elemen-elemen MBS tersebut merupakan elemen pokok yang masih dapat ditambah untuk memperjelas dalam pelaksanaan. Namun demikian, pengurangan dari elemen tersebut akan mengurangi esensi MBS.
          Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial anthropologis, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan iklim geographis.
        Ditinjau dari hubungan lingkungan denan manusia dapat dikelompokkan menjadi lingkungan yang tidak dapat diubah dan lingkungan yang dapat diubah atau dipengaruhi, dan lingkungan yang secara sadar dan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari sudut tinjauan lain Langeveld lingkungan pendidikan menjadi lingkunganyang bersifat pribadi atau pergaulan dan lingkungan yang bersifat keadaan, segala sesuatu yang ada di sekeliling anak.
         Ditinjau dari lingkungan social, pendidikan terhubung dengan masyarakat atau lingkungan social mereka. Yang termasuk pada bagian lingkungan sosial pendidikan  adalah orang-orang dewasa di sekitar mereka, orang tua, tokoh masyarakat dan kegamaan. Terlepas dari unsur lingkungan social yang mendukung pendidikan, ada juga lingkungan sosial pendidikan yang akan menjadi penghambat kemajuan pendidikan. Lingkungan tersebut adalah lingkungan pergaulan teman sejawat yang kurang baik.
Lebih janjut, peran serta masyarakat diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003, pasal 54 yang mengatakan bahwa
 (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Dari pasal ini, jelas sekali bahwa masyarakat memiliki peranan yang cukup penting dalam jalannya roda pendidikan di Indonesia.

Dari sisi layanan, berdasarkan Data Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menunjukkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk SD/MI, 37 untuk SMP/MTs, dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama, rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs, dan 13 untuk SMA/ SMK/MA. Meskipun demikian, kualitas layanan pendidikan masih terbatas karena dukungan fasilitas yang belum memadai. Sampai dengan tahun 2004, kualitas pendidikan juga dinilai masih rendah karena belum sepenuhnya mampu memberikan kompetensi sesuai dengan tahap pendidikan yang dijalani peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (i) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (ii) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (iii) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (iv) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.

           Pengawasan dan pengendalian pendidikan dilakukan oleh instansi terkait dengan tempat pendidikan itu diselenggarakan. Secara interen, pengawasan dan pengendalian suatu lembaga pendidikan dilakukan oleh kepala insatnsi tersebut. Secara ekstern pendidikan juga menjadi tugas kepengawasan dari lembaga lain di luar lembaga pendidikan yang turut bertanggung jawab terhadap jalannya proses pendidikan tersebut.  Yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dalam pendidikan adalah kepala sekolah, komite sekolah, dinas pendidikan kabupaten/Kota, dinas pendidikan provinsi, sampai pada kementrian pendidikan nasional. Pengawasan dilaksanakan pada keseluruhan komponen pendidikan yang akan bersinergi dalam mencapai pendidikan nasional. Salah satu bentuk pengendalian pendidikan, dilakukan penilaian atau evaluasi. Sesuai dengan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 59disebutkan bahwa
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

7.      Standar Pembiayaan
Unsur pendanaan tidak bias terlepas dari pendidikan. Ada tiga jenis pendanaan yang ada dalam dunia pendidikan yaitu pendanaan operasional, pendanaan investasi, dan pendanaan individu. Pemerintah telah menggulirkan dana operasional melalui pengucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Untuk pendidikan SMP dana BOS mencapai Rp750.000/tahun /siswa. Untuk dana investasi pada hakikatnya tanggung jawab pemerintah dan dibantu oleh masyarakat serta stakeholder terkait. Dana investasi berupa pemunuhan kebutuhan sekolah yang dapat dipergunakan dalam waktu lama seperti ruang kelas, laboratorium, computer, tanah, lapangan dan lainnya. Dana individu merupakan keseluruhan pendanaan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan individu siswa. Yang termasuk pendanaan individu adalah biaya pakaian, sepatu, buku, dan keperluan individu lainnya.
      Permasalahan pendanaan pendidikan di Indonesia diatur dalam PP No.48 tahun 2008. Pada pasal 3 disebutkan bahwa
(1)     Biaya pendidikan meliputi:
a.        biaya satuan pendidikan;
b.        biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan
c.        biaya pribadi peserta didik.
(2)     Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.        biaya investasi, yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan; dan biaya investasi selain lahan pendidikan.
b.        biaya operasi, yang terdiri atas biaya personalia; dan biaya nonpersonalia.
c.        bantuan biaya pendidikan; dan
d.       beasiswa.
(3)     Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.     biaya investasi, yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan; dan biaya investasi selain lahan pendidikan.
b.    biaya operasi,  yang terdiri atas biaya personalia; dan biaya nonpersonalia.
(4)     Biaya personalia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1 dan ayat (3)  huruf b angka 1 meliputi:
a.    biaya personalia satuan pendidikan, yang terdiri atas:
1.     gaji pokok bagi pegawai pada satuan pendidikan;
2.     tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai pada satuan pendidikan;
3.     tunjangan struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan;
4.     tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional di luar guru dan dosen;
5.     tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional bagi guru dan dosen;
6.     tunjangan profesi  bagi guru dan dosen;
7.     tunjangan khusus bagi guru dan dosen;
8.     maslahat tambahan bagi guru dan dosen; dan
9.     tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan profesor atau guru besar.
b.    biaya personalia penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, yang terdiri atas:
1.      gaji pokok;
2.      tunjangan yang melekat pada gaji;
3.      tunjangan struktural bagi pejabat struktural; dan
4.      tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional.


8.      Standar penilaian Sekolah
               Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan harian, ujian semester, Ujian Nasional). Dapat pula prestasi di bidang non-akademik misalnya prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan.
            Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Berpijak pada pendapat tersebut maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah antara lain sebagai berikut.
1. Penciptaan Kepastian Hukum yang Mengatur tentang Kependidikan yang Responsif
             Agar penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dan pemerintah, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur kependidikan secara jelas, tegas, dan pasti. Selama ini meskipun peraturan perundang-undangan sudah ada, namun dalam impelematsinya masih sering adanya inkonsistensi. Tenaga kependidikan dan para pegawai di lingkungan Depdiknas kadang masih ragu dalam mengambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikan permaslaahan pendidikan. Misalnya, jika suatu bangunan sekolah atau sarana sekolah tidak layak pakai dan dalam keadaan darurat, dewan sekolah, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kurang berani melakukan upaya pembangunan gedung secara cepat, karena harus menunggu proses pengurusan perizinan yang panjang, belum lagi banyak pihak yang takut dengan pengawas, BPK, Polisi, Jaksa, KPK. Dalam bidang kepangkatan, banyak pegawai yang kerepotan melakukan pengurusan kenaikan pangkat, apalagi untuk mencapai pangkat Pembina Tingkat I (Golongan IVB). Sistem sertifikasi guru yang saat ini juga masih dirasakan belum sepenuhnya fair, karena yang dinilai oleh assesor adalah berkas, bukan assesi (guru). Ketentuan tentang penyebaran tenaga kependidikan yang kompeten juga belum transparan. Ketentuan hukum tentang kurikulum juga sering berubah sehingga para guru sering kesulitan mengadakan penyesuaian.
           Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 72 Ayat (1) diatur, "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus Ujian Nasional". Dalam praktik, kriteria kelulusan siswa hanya ditentukan oleh nilai UN. Pada pasal 72 ayat (2), diatur "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Dalam praktik, justru pememrintah yang menentukan standar kelulusan. Jika dikaitkan dengan KTSP, sebenarnya pihak yang menentukan kelulusan adalah Satuan Pendidikan. Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.


9.      Standar Kurikulum
                  Komponen kurikulum terkait dengan tujuan pendidikan nasional. Urutan hirarkhis tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945), 2) Tujuan Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional), 4) Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah), 5) Tujuan kurikuler (Pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajran), dan 6) Tujuan instruksional yang dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapai guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
                  Sujarwo (2012: 7) mengemukakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana kegiatan pembelajaran yang berisi tujuan, materi pembelajaran, pembelajaran (metode/strategi), dan penilaian dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kurikulum dipandang sebagai semua pengalaman belajar yang diberikan pendidik kepada peserta didik selama mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan, atau segala usaha lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Materi pembelajaran di dalam kurikulum diartikan sebagai bahan yang hendak diajarkan kepada peserta didik, dengan kata lain materi pembelajaran merupakan bahan ajar yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dipelajari peserta didik sesuai dengan standard kompetensi yang telah ditetapkan. Secara garis besar materi pembelajaran selaras dengan pendapat Bloom melalui teori Taksonomi Bloom bahwa kemampuan yang harus dikuasai dan dimiliki oleh peserta didik terdiri dari kemampuan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat ditinjau dari 2 segi yaitu pendidik dan peserta didik. Materi pembelajaran dari segi pendidik merupakan bahan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada peserta didik pada proses pembelajaran. Dari segi peserta didik, materi pembelajaran merupakan bahan yang harus dipelajari dengan tujuan pencapaian standard kompetensi dan kompetensi yang telah ditetapkan.
            Menurut Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Sujarwo (2012: 8) Memperhatikan rumusan kurikulum di atas tersirat empat hal pokok, yakni (a) isi kurikulum, adalah mata pelajaran yang diberikan oleh lembaga pendidikan terhadap peserta didik; (b) tujuan kurikulum, yakni agar anak didik menguasai mata pelajaran tertentu yang kemudian disimbolkan dengan ijazah. (c) kurikulum aktivitas, kurikulum dipandang secara pentahapan pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik, dan (4) kurikulum dipandang sebagai bentuk penilaian, kurikulum mengatur model, bentuk, dan jenis penilaian yang dilakukan.
               Para pendidik bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelaksanaan kurikulum, baik secara keseluruhan kurikulum, maupun tugas sebagai penyampai bidang studi atau mata pelajaran yang telah dirancang dalam kurikulum. Pendidik harus berusaha agar penyampaian materi pembelajaran dapat berhasil secara maksimal. Sebagai pengelola kurikulum pendidik bertanggung jawab membuat perencanaan mengajar baik dalam bentuk perencanaan secara urut maupun dalam pembuatan model satuan pelajaran.
Tugas dan tanggung jawab pendidik dalam hubungannya dengan kurikulum adalah menjabarkan dan mewujudkan kurikulum potensial menjadi kegiatan nyata di dalam kelas melalui proses pembelajaran. Implementasi kurikulum dalam pembelajaran merupakan proses penerapan ide, konsep, kebijakan sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap. Implementasi kurikulum adalah proses penerapan ide, konsep dan kurikulum potensial dalam pembelajaran sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
            Kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak". Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam untuk seluruh negara. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah selama ini masih seringberubah-ubah sehingga dalam pelaksanaan seringkali terjadi keraguan, kegundahan, dan kegalauan baik bagi siswa, orang tua siswa, dan guru serta pengelola satuan pendidikan. Perubahan kurikulum yang terlali cepat dapat menimbulkan kegoncangan pada pelaksanaan pendidikan. Struktur dan muatan kurikulum yang ada juga belum sepenuhnya mencerminkan asas keterpaduan dan keterpadanan, begitu pula peninjauan dan pengembangan kurikulum masih terkesan dipaksakan dan tidak didasarkan pada paradigma yang jelas.
           Di beberapa negara maju, untuk mengatasi kesenjangan muatan kurikulum sekolah dengan lapangan pekerjaan, maka dilakukan kerjasama dengan pihak industri memungkinkan pihak perusahaan mengirim para staf yang berkualitas untuk membantu dalam proses pembelajaran di sekolah kejuruan atas dasar kerja paruh-waktu. Langkah seperti ini sudah dilakukan di tingkat pendidikan tinggi, misalnya mendatangkan Dosen Tamu untuk melakukan Kuliah Tamu (sekitar 6 bulan), atau bahkan jika sudah memenuhi persyaratan akan menjadikan staf dari perusahaan (praktisi) sebagai dosen tidak luar biasa. Seyogyanya SMK juga melakukan langkah yang sama, yaitu menjadikan praktisi tersebut sebagai guru tidak tetap (instruktur).


10.  Standar Ujian
          Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 72 Ayat (1) diatur, "Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus Ujian Nasional". Dalam praktik, kriteria kelulusan siswa hanya ditentukan oleh nilai UN. Pada pasal 72 ayat (2), diatur "Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Dalam praktik, justru pememrintah yang menentukan standar kelulusan. Jika dikaitkan dengan KTSP, sebenarnya pihak yang menentukan kelulusan adalah Satuan Pendidikan. Di sini nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.

11.  Standar Perencanaan Pendidikan
             Secara kelembagaan, Kantor Dinas Pendidikan di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga belum mampu berperan sebagaimana diharapkan. Fekrynur mengemukakan bahwa Kantor Dinas Pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, dianggap relatif mubazir, apabila keberadaannya tidak mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan di lingkup daerahnya masing-masing. Dana habis milliaran rupiah untuk membiayai kegiatan kantor [sebagai ilustrasi, pada tahun 2006, hampir satu trilliun rupiah dianggarkan untuk dikelola Kantor Disdik Sumatera Barat) namun mutu pendidikan terus saja semakin terpuruk (tertinggal). Gejala penurunan efektifitas pembinaan ini sejalan dengan dimulainya otonomi daerah di awal tahun 2001.
            Tantangan dalam kaitannya dengan perluasan dan pemerataan pendidikan, adalah bagaimana meningkatkan angka partisipasi terutama di tingkat kabupaten/kota yang secara kuantitatif cukup signifikan dalam mengembangkan dan mengolah potensi wilayah, sehingga struktur tenaga kerja menurut jenjang pendidikan bergeser ke arah bentuk belah ketupat (mengecil di tingkat SD/SLTP dan membesar di tingkat menengah).
               Tantangan dalam kaitannya dengan kualitas dan relevansi adalah: (1) bagaimana mengubah kurikulum pendidikan dari berbasis sekolah ke berbasis ganda, hal ini akan memberikan pengetahuan, keterampilan dan proses transfer sistem nilai yang ada di dunia kerja lebih cepat antara lain melalui pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, kepedulian kepada pelanggan dan pembentukan etos kerja; (2) bagaimana mengubah pola penyelenggaraan pendidikan yang selama ini cenderung berorientasi kepada dirinya sendiri ke arah yang lebih berorientasi ke dunia luar yaitu antisipatif pada perkembangan kebutuhan pasar kerja atau mengubah pola kerja dari supply driven menuju demand driven; (3) bagaimana mengubah sistem pengajaran dari berbasis mata pelajaran menuju model pengajaran berbasis kompetensi; model pengajaran berbasis mata pelajaran mengakibatkan terjadinya kesulitan untuk mensinergikan materi bahan ajar menjadi suatu kemampuan/kompetensi utuh. Model pengajaran berbasis kompetensi secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan; (4) bagaimana mengubah dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry, multy exit (peserta didik dapat keluar masuk sistem pendidikan sesuai kebutuhan dan kemampuan} ;untuk ini diperlukan kurikulum yang luwes yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja Industri disesuaikan dengan jadwal ketersediaan tempat magang di Industri, di samping memungkinkan bagi peserta didik untuk meninggalkan sekolah untuk bekerja, kemudian masuk kembali sesuai kebutuhan yang bersangkutan; (5) bagaimana memberikan pengakuan terhadap kemampuan awal yang dimiliki peserta didik, (priorlearning recognition); sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki seseorang sebagai bekal awal untuk menempuh pendidikan selanjutnya; (6) bagaimana mengemas bentuk paket-paket kompetensi kejuruan sehingga lebih memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi (competency based training) antara program pelatihan dan program pendidikan.
               Suasana pembelajaran mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Karena itu setiap stake holder perlu mendorong terciptanya lingkungan yang mendidik dan mendukung pembelajaran (learning habits) dan masyarakat yang gemar belajar (learning community), bukan kumpulan para pembelajar (communities of learners).
              Berkaitan dengan hal ini, Soedjiarto berpendapat bahwa saat ini pada semua jenjang pendidikan perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah. Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.
           Melalui penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif (academic atmostphire), maka peserta didik dapat lebih enjoy dalam mengikuti pembelajaran. Masyarakat yang mendukung pendidikan tentu akan selalu memberikan sokongan pada proses pembelajaran di masyarakat, misalnya orang tua sangat peduli dengan prposes pembelajaran siswa di luar sekolah, dan ikut mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.

12.  Standar Pendidikan Nonformal
          Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
              Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
            Salah satu solusi yang bisa diupayakan adalah pendidikan formal berbasis masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.
          Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

  • Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut. 
  • Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri. 
  • Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
  •   Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup. 
  •  Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik. 
  • Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
  •  Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
  •  Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
  •  Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis


13.  Standar Pendidikan Vokasional
                 Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan kecakapan hidup merupakan isu sentral dalam pelayanan pendidikan. Hal tersebut merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dengan masyarakat dan dunia kerja. Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Disamping pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya.
            Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu: Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS). Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill).
Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
           Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill).
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
.


14.  Standar Pendidikan Karakter.
Pendidikan memegang peranan yang signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan sedari dini, yang ditanamkan kepada siswa Jepang di sekolah dasar lebih ditekankan kepada pendidikan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, dalam penyampaian mata pelajaran moral, tentang berbohong, pendekatan yang dilakukan oleh guru Jepang adalah tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur, namun dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong. Tidak ada yang malu bertanya dan mentertawakan teman yang sedang bertanya, bahkan dalam menjawab pertanyaan guru pun, semuanya beradu cepat serentak mengacungkan tangan seraya meneriakkan “haik” dengan lantang. Diskusi interaktif itu menggiring siswa untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang akan diajarkan. Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini. Untuk mengecek pemahaman siswa tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu. Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, kemudian mendiskusikan makna dari film tersebut.
Hal yang bertolak belakang dengan apa yang kita lihat di Indonesia, penyampaian pelajaran moral di sekolah lebih banyak hanya berupa doktrin, sebatas ritual dan hafalan belaka tanpa diikuti penjelasan makna mengapa semua itu harus dilakukan. Padahal, yang lebih penting adalah menanamkan pemahaman dan kesadaran pada anak mengapa suatu hal harus dan tidak boleh dilakukan.
Bercermin dari keberhasilan masyarakat Jepang dalam mendidik generasi penerus bangsanya melalui pendidikan karakter dari usia dini, hendaknya pendidikan moral dan karakter di Indonesia perlu dikembangkan dengan pola berpendapat melalui diskusi interaktif, dan sistem evaluasinya tidak dilakukan dalam bentuk multiple choice, melainkan dalam bentuk uraian dimana siswa dapat menjelaskan argumennya, sehingga dapat menunjukkan sejauh mana pemahaman siswa terhadap pendidikan moral itu sendiri, disamping itu peran keluarga dirumah, terutama ibu hendaknya juga dilibatkan dalam pendidikan moral ini demi menunjang keselarasan antara ilmu yang didapatkan di bangku sekolah dengan contoh pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh menarik yang mengajarkan tentang teamwork dan kepemimpinan, terlihat dari sistem keberangkatan siswa SD Jepang ke sekolah mereka. Siswa SD Jepang diharuskan berjalan kaki ke sekolah, mereka berkumpul di pos masing-masing tiap-tiap wilayah secara berkelompok, tidak ada yang berjalan sendiri, saling menunggu dan akan berangkat apabila anggota kelompok sudah lengkap, mereka berjalan berbaris di pimpin anggota kelas 6 yang berjalan di urutan paling depan. Jadwal masuk pintu gerbang sekolah hanya 10 menit, dari pukul 7:50-8:00. Menariknya, kelompok pertama yang mencapai gedung sekolah tidak akan memasuki gerbang sekolah terlebih dahulu, mereka berbaris rapi di depan gerbang, menunggu kedatangan kelompok yang lainnya. Begitu kelompok berikutnya tiba, mereka saling mengucapkan salam, “ohayougozaimasu! (selamat pagi), disambut langsung dengan jawaban “ohayougozaimasu!” kembali. Lalu mereka menyambung barisan menanti teman-teman lainnya datang, membuat barisan menjadi semakin panjang. Begitu kelompok terakhir datang, kelompok-kelompok tersebut memasuki pintu gerbang dengan barisan yang rapi, tidak berpencar, tanpa ada keributan, dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Meskipun dalam cuaca dingin bersalju, semua siswa tetap melakukannya dengan penuh semangat, rasa sabar yang tinggi dan tanpa berkeluh kesah.
READ MORE - PERMASALAHAN PENDIDIKAN