Minggu, 19 Januari 2014

Karakteristik Organisasi

Anda pasti tahu organisasi. Yap. bahkan mungkin Anda adalah satu bagian dari organisasi tersebut. Bagi siswa pasti menjadi anggota organisasi siswa seperti OSIS. Bagi tenaga profesional pasti pula menjadi anggota organisasi profesi. Sebagi contoh dokter menjadi anggota organisasi Ikatan Dokter Indonesia; guru menjadi anggota organisasi PGRI, dan masih banyak organisasi yang lain. Nah, bagaimana suatu oraganisasi yang baik? Organisasi yang baik memerliki karakteristik tertentu. Berikut ini adalah beberapa karakteristik organisasi yang baik. Mudah-mudahan dengan tulisan terkait dengan karakteristik organisasi ini akan dapat membantu kita menilai organisasi yang kita ikuti baik atau tidak.
beberapa karakteristik organisai tersebut adalah

 Adanya spesialisasi Tugas

Organisasi dalam definisinya merupakan proses kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Seperti yang kita rasakan, manusia tidak bisa terlepas dari yang namanya organisasi karena semenjak dilahirkan, manusia telah ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, manusia tidak bisa berjalan sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dibutuhkan untuk terjun, berbaur dan bergabung dengan orang lain agar bisa membantunya memperoleh apa yang dituju.
spesialisasi adalah pembagian tugas berdasarkan skill yang dimiliki oleh individu dalam organisasi, agar tidak ada istilahnya pemborongan tugas oleh seseorang sehingga yang lain tidak melakukan hal apa pun. Bukankah organisasi adalah sebuah proses kerja sama? Jadi untuk kerja sama, semua orang harus melakukan sesuatu demi tercapainya tujuan. Agar tidak terjadi kerancuan dalam melakukan tugas, maka pembagian tugas secara jelas sangat diperlukan. Bayangkan saja jika pembagian tersebut tidak jelas, pasti akan terjadi saling lempar tanggung jawab antar anggota untuk melakukan tugas tersebut. Akan tetapi, meskipun keuntungan nyata dari prinsip ini, masih banyak organisasi yang menjauh dari spesialisasi karena menurutnya, dengan banyaknya spesialisasi ini akan mengisolasi karyawan, dengan melakukan tugas yang sempit, kecil, membosankan, dan hanya itu-itu saja. Organisasi-organisasi tersebut lebih memilih memperbesar pekerjaan untuk memberikan tantangan kepada para anggota (http://www.cliffsnotes.com/).
Ada empat prinsip dasar dalam spesialisasi, yaitu (Amitai: 1964):
a. Prinsip pertama menyatakan bahwa spesialisasi harus dengan tujuan tugas. Pekerja yang melayani tujuan yang sama dan sub-tujuan dalam organisasi harus terpasang ke divisi organisasi yang sama. Tidak akan seperti yang banyak divisi dalam organisasi karena ada tujuan atau sub tujuan.
b. Prinsip kedua spesialisasi menunjukkan bahwa semua pekerjaan didasarkan pada proses tertentu harus dikelompokkan bersama-sama, karena harus berbagi dana khusus pengetahuan dan membutuhkan penggunaan keterampilan yang sama atau prosedur.
c. Prinsip ketiga menyatakan bahwa spesialisasi sesuai dengan jenis klien lain bagi pembagiankerja.s
d. Prinsip keempat mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan di wilayah geografis yang sama harus ditempatkan bersama-sama.
Pelaksanaan prinsip spesialisasi ini memiliki dampak yang begitu signifikan dalam proses kinerja organisasi. Fakta mengatakan, hingga akhir 1940an, sebagian pekerjaan manufaktur di negara-negara industri dilakukan dengan spesialisasi kerja yang tinggi. Manajemen melihat hal ini sebagai sarana yang paling efisien untuk memanfaatkan keterampilan karyawannya. Para manajer juga melihat efisiensi lain, yaitu keterampilan karyawan dalam menjalankan tugas dengan berhasil meningkat berkat pengulangan (Robins & Timothy: 2008). Dan juga, bukan hanya keterampilannya saja yang meningkat, tapi ketepatan dan kecepatan waktu dalam menjalankan tugas pun bisa meningkat ketika pekerjaan tersebut diulang-ulang. Dan hal ini, menjadikan karyawan tersebut semakin ahli dalam bidang itu, sehingga mutu yang diperoleh dari hasil kinerja ini juga baik. Sebaliknya, pengabaian terhadap prinsip spesialisasi ini akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas, seperti yang telah penulis singgung di atas. Dan juga, kemungkinan untuk menghasilkan kualitas atau hasil yang baik pun kecil ketika pekerjaan tersebut tidak dilakukan oleh ahlinya.

Adanya proses pengambilan Keputusan 

Pengambilan keputusan adalah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi. Proses tersebut untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Suatu aturan kunci dalam pengambilan keputusan ialah sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus dibuat (Brinckloe,1977). Dengan kata lain, keputusan mempercepat diambilnya tindakan, mendorong lahirnya gerakan dan perubahan (Hill,1979).
Pengambilan keputusan hendaknya dipahami dalam dua pengertian yaitu (1) penetapan tujuan yang merupakan terjemahan cita-cita, aspirasi dan (2) pencapaian tujuan melalui implementasinya (Inbar,1979). Ringkasnya keputusan dibuat untuk mencapai tujuan melalui pelaksanaan dan ini semua berintikan pada hubungan kemanusiaan. Untuk suksesnya pengambilan keputusan itu maka sepuluh hukum hubungan kemanusiaan (Siagian,1988) hendaknya menjadi acuan dari setiap pengambilan keputusan.
Ada dua pandangan dalam pencapaian proses mencapai suatu keputusan organisasi (Brinckloe,1977) yaitu :
(1) Optimasi. Di sini seorang eksekutif yang penuh keyakinan berusaha menyusun alternatif-alternatif, memperhitungkan untung rugi dari setiap alternatif itu terhadap tujuan organisasi. Sesudah itu memperkirakan kemungkinan timbulnya bermacam-macam kejadian ke depan, mempertimbangkan dampak dari kejadian-kejadian itu terhadap alternatif-alternatif yang telah dirumuskan dan kemudian menyusun urut-urutannya secara sistematis sesuai dengan prioritas lalu dibuat keputusan. Keputusan yang dibuat dianggap optimal karena setidaknya telah memperhitungkan semua faktor yang berkaitan dengan keputusan tersebut.
(2) Satisficing. Seorang eksekutif cukup menempuh suatu penyelesaian yang berasal memuaskan ketimbang mengejar penyelesaian yang terbaik. Model satisficing dikembangkan oleh Simon (Simon,1982; roach, 1979) karena adanya pengakuan terhadap rasionalitas terbatas (bounded rationality). Rasionalitas terbatas adalah batas-batas pemikiran yang memaksa orang membatasi pandangan mereka atas masalah dan situasi. Pemikiran itu terbatas karena pikiran manusia tidak megolakan dan memiliki kemampuan untuk memisahkan informasi yang tertumpuk.
Menurut Frank Harison (Hitt, 1970), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rasionalitas terbatas antara lain informasi yang datang dari luar sering sangat kompetitif atau informasi itu tidak sempurna, kendala waktu dan biaya, serta keterbatasan seorang mengambil keputusan yang rasional untuk mengerti dan memahami masalah dan informasi, terutama informasi dan teknologi.
Pendekatan dalam Proses Pengambilan Keputusan :
1. Pendekatan yang interdisipliner.
Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai suatu tindakan tunggal dan tidak sebagai suatu tindakan yang Seragam yang berlaku untuk semua keadaan serta dapat digunakan oleh pengambil keputusan yang berbeda dengan tingkat efektifitas yang sama. Proses pengambilan keputusan terdiri dari berbagai ragam keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dalam kehidupan berorganisasi.
2. Proses yang sistematis.
Suatu proses logis yang melibatkan pengambilan langkah-langkah secara berturut atau sekuensial dengan merinci proses tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (pendekatan atomik). Pendapat lain mengatakan proses pengambilan keputusan menyangkut dengan naluri, daya pikir, dan serangkaian metode intuitif yang keseluruhannya dirangkum yang menjadi suatu kreatifitas (pendekatan holistik).
3. Proses berdasarkan informasi.
Pengambilan keputusan tanpa informasi berarti menghilangkan kesempatan belajar secara adaptif. Seorang manajer harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Informatika untuk pengambilan keputusan yang efektif serta harus menuntut agar tersedia baginya informasi yang memenuhi persyaratan kemutakhiran, kelengkapan, dapat dipercaya dan disajikan dalam bentuk yang tepat.
4. Memperhitungkan faktor-faktor ketidakpastian.
Betapa pun telitinya perkiraan keadaan, dalamnya kajian terhadap berbagai alternatif, tetap tidak ada jaminan bebas dari resiko ketidakpastian. Untuk itu pengambilan keputusan harus dapat Memperhitungkan probabilitas (kemungkinan) keberhasilan atau kekurang-berhasilan pelaksanaan suatu keputusan.
5. Diarahkan pada tindakan nyata.
Mengambil suatu tindakan harus dapat ditentukan secara pasti, kapan pemecahan berakhir dan proses pengambilan keputusan dimulai. Masalah dan sasaran sering mempunyai siklus pertumbuhan dan penyusutan, demikian juga faktor-faktor yang mempengaruhi. Hal tersebut harus dikenali secara tepat karena akan sangat mempengaruhi keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak.
Berbagai model tentang pendekatan terhadap pengambilan keputusan telah diperkenalkan oleh para ahli teori pengambilan keputusan, diantaranya adalah :
1. Model Brinckloe (1977)
Keputusan yang menggunakan pendekatan (i) Fakta, secara sistematis akan mengumpulkan semua fakta mengenai masalah dan hasilnya ialah kemungkinan keputusan akan lahir dengan sendirinya; (ii) Pengalaman, seseorang yang sudah memiliki pengalaman tentu lebih matang dalam membuat keputusan daripada seorang yang sama sekali belum mempunyai pengalaman apa-apa namun perlu diperhatikan bahwa peristiwa-peristiwa yang lampau tidak akan pernah sama dengan pada saat ini;(iii) Intuisi, tidak jarang keputusan yang diambil berdasarkan intuisi dikarenakan kurang mengadakan analisis yang terkendali maka perhatian hanya ditujukan pada beberapa fakta; (iv) Logika, pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan; (v) Analisis Sistem, kecanggihan dari komputer telah merangsang banyak orang untuk mengambil keputusan secara kuantitatif.
2. Model McGrew (1985)
McGrew hanya melihat adanya tiga pendekatan yaitu proses pengambilan keputusan rasional, model proses organisasional dan model tawar-menawar politik (political bargaining model) yaitu (i) Pendekatan proses pengambilan keputusan rasional memberi perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan dan sasaran dari pengambilan keputusan; (ii) Model proses organisasional menangani masalah yang jelas tampak perbedaannya antara pengambil keputusan individu dan organisasi; (iii) Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan itu mengatakan bahwa pengambilan keputusan kolektif sesungguhnya dilaksanakan melalui tawar-menawar namun hasil akhir keputusan itu sesungguhnya tergantung pada proses memberi dan menerima di antara individu dalam kelompok tersebut.
Teknik-teknik Pengambilan Keputusan. (Siagian, S.P. (25-26;1993).
1. Brainstorming
Jika sekelompok orang dalam suatu organisasi menghadapi suatu situasi problematic yang tidak terlalu rumit, dan dapat diidentifikasikan secara spesifik mereka mengadakan diskusi dimana setiap orang yang terlibat diharapkan turut serta memberikan pandangannya. Pada akhir diskusi berbagai pandangan yang dikemukakan dirangkum, sehingga kelompok mencapai suatu kesepakatan tentang cara-cara yang hendak ditempuh dalam mengatasi situasi problematic yang dihadapi. Penting diperhatikan dalam teknik ini yaitu :
a. Gagasan yang aneh dan tidak masuk akal sekalipun dicatat secara teliti.
b. Mengemukakan sebanyak mungkin pendapat dan gagasan karena kuantitas pandanganlah yang lebih diutamakan meskipun aspek kualitas tidak diabaikan.
c. Pemimpin diskusi diharapkan tidak melakukan penilaian atas sesuatu pendapat atau gagasan yang dilontarkan, dan peserta lain diharapkan tidak menilai pendapat atau gagasan anggota kelompok lainnya.
d. Para peserta diharapkan dapat memberikan sanggahan pendapat atau gagasan yang telah dikemukakan oleh orang lain.
e. Semua pendapat atau gagasan yang dikemukakan kemudian dibahas hingga kelompok tiba pada suatu sintesis pendapat yang kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan.
2.Synetics
Seorang diantara anggota kelompok peserta bertindak selaku pimpinan diskusi. Diantara para peserta ada seorang ahli dalam teori ilmiah pengambilan keputusan. Apakah ahli itu anggota organisasi atau tidak, tidak dipersoalkan. Pimpinan mengajak para peserta untuk mempelajari suatu situasi problematik secara menyeluruh. Kemudian masing-masing anggota kelompok mengetengahkan daya pikir kreatifnya tentang cara yang dipandang tepat untuk ditempuh. Selanjutnya pimpinan diskusi memilih hasil-hasil pemikiran tertentu yang dipandang bermanfaat dalam pemecahan masalah. Dan tenaga ahli menilai melakukan penilaian atas berbagai gagasan emosional dan tidak rasional yang telah disaring oleh pimpinan diskusi serta kemudian menggabungkannya dengan salah satu teori ilmiah pengambilan keputusan dan tindakan pelaksanaan yang diambil.
3. Consensus thinking
Orang-orang yang terlibat dalam pemecahan masalah harus sepakat tentang hakikat, batasan dan dampak suatu situasi problematik yang dihadapi, sepakat pula tentang teknik dan model yang hendak digunakan untuk mengatasinya. Teknik ini efektif bila beberapa orang memiliki pengetahuan yang sejenis tentang permasalahan yang dihadapi dan tentang teknik pemecahan yang seyogyanya digunakan. Orang-orang diharapkan mengikuti suatu prosedur yang telah ditentukan sebelumnya. Kelompok biasanya melakukan uji coba terhadap langkah yang hendak ditempuh pada skala yang lebih kecil dari situasi problematik yang sebenarnya.
4. Delphi
Umumnya digunakan untuk mengambil keputusan meramal masa depan yang diperhitungkan akan dihadapi organisasi. Teknik ini sangat sesuai untuk kelompok pengambil keputusan yang tidak berada di satu tempat.
Pengambil keputusan menysun serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan suatu situasi peramalan dan menyampaikannya kepada sekelompok ahli. Para ahli tersebut ditugaskan untuk meramalkan, apakah suatu peristiwa dapat atau mungkin terjadi atau tidak. Jawaban dari anggota kelompok tadi dikumpulkan dan masing-masing anggota ahli mempelajari ramalan yang dibuat oleh masing-masing rekannya yang tidak pernah ditemuinya. Pada kesempatan berikutnya, rangkaian pertanyaan yang sama dikembalikan kepada para anggota kelompok dengan melampirkan jawaban yang telah diberikan oleh para anggota kelompok pada putaran pertama serta hal-hal yang dipandang sudah merupakan kesepakatan kelompok. Apabila pendapat seseorang ahli berbeda maka memberikan penjelasannya secara tertulis. Tiap-tiap jawaban diberikan kode tertentu sehingga tidak diketahui siapa yang memberikan jawaban.
Jawaban tersebut di atas dilakukan dengan beberapa putaran. Pengedaran daftar pertanyaan dan analisa oleh beberapa ahli dihentikan apabila telah diperoleh bahan tentang ramalan kemungkinan terjadi sesuatu peristiwa di masa depan.
5. Fish bowling
Sekelompok pengambil keputusan duduk pada suatu lingkaran, dan di tengah lingkaran ditaruh sebuah kursi. Seseorang duduk di kursi tersebut hanya dialah yang boleh bicara untuk mengemukakan pendapat ide dan gagasan tentang suatu permasalahan. Para anggota lain mengajukan pertanyaan, pandangan dan pendapat. Apabila pandangan orang yang duduk di tengah tersebut telah dipahami oleh semua anggota kelompok dia meninggalkan kursi dan digantikan oleh orang yang lain untuk kesempatan yang sama. Setelah itu semua pandangan didiskusikan sampai ditemukan cara yang dipandang paling tepat.
6. Didactic interaction
Digunakan untuk suatu situasi yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”. Dibentuk dua kelompok, dengan satu kelompok mengemukakan pendapat yang bermuara pada jawaban “ya” dan kelompok lainnya pada jawaban “tidak”. Semua ide yang dikemukakan baik pro maupun kontra dicatat dengan teliti. Kemudian kedua kelompok bertemu dan mendiskusikan hasil catatan yang telah dibuat. Pada tahap berikutnya terjadi pertukaran tempat. Kelompok yang tadinya mengemukakan pandangan pro beralih memainkan peranan dengan pandangan kontra.
7. Collective bargaining
Dua pihak yang mempunyai pandangan berbeda bahkan bertolak belakang atas suatu masalah duduk di satu meja dengan saling menghadap. Masing-masing pihak datang dengan satu daftar keinginan atau tuntutan dengan didukung oleh berbagai data, informasi dan alasan-alasan yang diperhitungkan dapat memperkuat posisinya dalam proses tawar-menawar yang terjadi. Jika pada akhirnya ditemukan bahwa dukungan data dan informasi serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak mempunyai persamaan, maka tidak terlalu sukar untuk mencapai kesepakatan. Tetapi sebaliknya, pertemuan berakhir tanpa hasil yang kemudian sering diikuti dengan timbulnya masalah yang lebih besar.
Terdapat 3 tahap utama dalam proses pengambilan keputusan, yaitu:
a.         Aktivitas intelegensi: penelusuran kondisi lingkungan yang memerlukan pengambilan keputusan.
b.         Aktivitas desain: terjadi tindakan penemuan, pengembangan, dan menganalisis masalah.
c.         Aktivitas memilih: memilih tindakan tertentu dari yang tersedia.
            Proses pengambilan keputusan memiliki fungsi sebagai suatu awal dari segala aktivitas manusia baik individu maupun berkelompok yang dapat menentukan langkah selanjutnya dimana pengaruhnya akan berlangsung dalam waktu yang sebentar atau dalam waktu yang cukup lama.


Adanya Proses Penyelesaian Masalah

Penyelesaian atau pemecahan masalah adalah bagian dari proses berfikir. Sering dianggap merupakan proses paling kompleks di antara semua fungsi kecerdasan, pemecahan masalah telah didefinisikan sebagai proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari keterampilan-keterampilan rutin atau dasar. Proses ini terjadi jika suatu organisme atau sistem kecerdasan buatan tidak mengetahui bagaimana untuk bergerak dari suatu kondisi awal menuju kondisi yang dituju.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
§  Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
§  Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
§  Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
§  Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
§  Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
§  Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
1. Jenis-jenis konflik dikelompokan beberapa orang.
2. Pembagian jenis konflik yang dibedakan menurut pihak-pihak yang saling bertentangan.
3. Konflik organisasi timbul karena ada beberapa sumber.
4. Adanya penyebab konflik organisasi secara lebih konsepsual.
5. Konfik sering terjadi dalam suatu organisasi dibidang sruktural.
6. Secara tradisi pendekatan terhadap konflik organisasi sangat sederhana.
7. Pimpinan dapat melakukan berbagai tindakan apabila keadaan tidak saling mengerti serta situasi penilaian terhadap perbedaan antara anggota organisasi sehingga sulit dicapai yang mengakibatkan konflik tak terelakkan.
Penyelesaian masalah hubungan antara konflik dengan keputusan dan solusi pada suatu organisasi ada berbagai cara untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

Adanya Anggaran

Anggaran merupakan komponen penting dalam sebuah organisasi, baik organisasi sektor swasta maupun organisasi sektor publik. Menurut Hansen dan Mowen (2004:1), Setiap entitas  pencari laba ataupun nirlaba bisa mendapatkan manfaat dari perencanaan dan pengendalian yang diberikan oleh anggaran. Perencanaan dan pengendalian merupakan dua hal yang saling berhubungan. Perencanaan adalah pandangan ke depan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke belakang, memutuskan apakah yang sebenarnya telah terjadi dan membandingkannya dengan hasil yang direncanakan sebelumnya.
Anggaran merupakan komponen utama dalam perencanaan. Munandar (2001:1), mengungkapkan pengertian anggaran adalah sebagai berikut: “Suatu rencana yang disusun secara sistematis yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan, yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang”. Menurut Mulyadi 1993 dalam Nurcahyani 2010, anggaran disusun oleh manajemen dalam jangka waktu satu tahun untuk membawa perusahaan ke kondisi tertentu yang diperhitungkan. Dengan anggaran, manajemen mengarahkan jalannya kondisi perusahaan. Tanpa anggaran, dalam jangka pendek perusahaan akan berjalan tanpa arah, dengan pengorbanan sumber daya yang tidak terkendali.
Sebelum anggaran disiapkan, organisasi seharusnya mengembangkan suatu rencana strategis. Rencana strategis mengidentifikasi strategi-strategi untuk aktivitas dan operasi di masa depan, umumnya mencakup setidaknya untuk lima tahun ke depan. Organisasi dapat menerjemahkan strategi umum ke dalam tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan-tujuan ini membentuk anggaran dasar. Hubungan erat antara anggaran dan rencana strategis membantu manajemen untuk memastikan bahwa semua perhatian tidak terfokus pada operasional jangka pendek. Hal ini penting karena anggaran, sebagai rencana satu periode, memiliki sifat untuk jangka pendek (Hansen dan Mowen, 2004:1).

Sistem anggaran memberikan beberapa kelebihan untuk suatu organisasi. Menurut Hansen dan Mowen (2004:1), kelebihan dari sistem anggaran diantaranya anggaran mendorong para manajer untuk mengembangkan arahan umum bagi organisasi, mengantisipasi masalah, dan mengembangkan kebijakan untuk masa depan. Kelebihan lain anggaran adalah dapat memperbaiki pembuatan keputusan. Anggaran juga memberikan standar yang dapat mengendalikan penggunaan berbagai sumber daya organisasi dan memotivasi karyawan. Selain itu, anggaran dapat membantu komunikasi dan koordinasi. Anggaran secara formal mengkomunikasikan rencana organisasi pada tiap pegawai. Jadi, semua pegawai dapat menyadari peranannya dalam pencapaian tujuan tersebut. Oleh karena anggaran untuk berbagai area dan aktivitas organisasi harus bekerja bersama untuk mencapai tujuan organisasi, maka dibutuhkan adanya koordinasi. Peranan komunikasi dan koordinasi menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya ukuran organisasi.
Anggaran digunakan sebagai pedoman kerja sehingga proses penyusunannya memerlukan organisasi anggaran yang baik, pendekatan yang tepat, serta model-model perhitungan besaran (simulasi) anggaran yang mampu meningkatkan kinerja pada seluruh jajaran manajemen dalam organisasi. Proses penyusunan anggaran, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitutopdownbottom up dan partisipasi (Ramadhani dan Nasution, 2009).
Dalam sistem penganggaran top-down, rencana dan jumlah anggaran telah ditetapkan oleh atasan/pemegang kuasa anggaran sehingga bawahan/pelaksana anggaran hanya melakukan apa yang telah ditetapkan oleh atasan/pemegang kuasa anggaran. Penerapan sistem ini mengakibatkan kinerja bawahan/pelaksana anggaran menjadi tidak efektif karena target yang diberikan terlalu menuntut namun sumber daya yang diberikan tidak mencukupi (overloaded). Atasan/pemegang kuasa anggaran kurang mengetahui potensi dan  hambatan yang dimiliki oleh bawahan/pelaksana anggaran sehingga memberikan target yang sangat menuntut dibandingkan dengan kemampuan bawahan/pelaksana anggaran. Oleh karena itu, entitas mulai menerapkan system penganggaran yang dapat menanggulangi masalah di atas yakni sistem penganggaran partisipatif (participative budgeting). Melalui sistem ini, bawahan/pelaksana anggaran dilibatkan dalam penyusunan anggaran yang menyangkut subbagiannya sehingga tercapai kesepakatan antara atasan/pemegang kuasa anggaran dan bawahan/pelaksana anggaran mengenai anggaran tersebut (Omposunggu dan Bawono, 2007).
Penganggaran partisipatif (participative budgeting) merupakan pendekatan penganggaran yang berfokus pada upaya untuk meningkatkan motivasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Konsep penganggaran ini sudah berkembang pesat dalam sektor swasta (bisnis), namun tidak demikian halnya pada sektor publik. Dalam sektor publik, penganggaran partisipatif belum mempunyai system yang mapan sehingga penerapannya pun belum optimal.
Anggaran merupakan rencana tindakan-tindakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan organisasi. Pada organisasi sektor swasta (bisnis), tujuan dimaksud adalah mencari laba (profit oriented), sementara pada organisasi sektor publik/non-bisnis tidak (nonprofit oriented). Oleh karena tujuannya berbeda, maka rencana kerja yang disusun juga berbeda. Dengan demikian, pendekatan dalam penyusunan anggaran di kedua jenis organisasi juga berbeda.
Menurut Mardiasmo (2004), anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Proses pembuatan anggaran dalam sector publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi. Dalam organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Hal tersebut berbeda dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif lebih kecil nuansa politisnya. Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan, dan diberi masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.
Lebih lanjut, Mardiasmo (2004) mengemukakan bahwa anggaran memiliki fungsi sebagai alat penilaian kinerja. Kinerja akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai berdasarkan berapa yang berhasil dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Thompson (1967) dalam Wiliams (1990) sebagaimana dikutip oleh Ahmad dan Fatima (2008) mendorong para peneliti untuk memeriksa perilaku anggaran dalam organisasi sektor publik. Perilaku anggaran mungkin dapat berbeda dalam organisasi sektor publik dibandingkan dengan perilaku anggaran pada organisasi sektor swasta. Williams (dikutip oleh Ahmad dan Fatima, 2008) menyatakan bahwa penelitian mengenai hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial dalam sektor publik adalah penting. Namun, literatur sampai saat ini, telah melalaikan penelitian terkait hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial pada organisasi sektor publik, khususnya di negara-negara berkembang.
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial pada sektor swasta sudah banyak dilakukan diantaranya Supriyono (2004, 2005), Sumarno (2005), Ghozali (2002, 2005), Slamet Riyadi (2000), Sardjito (2005). Sedangkan penelitian terkait hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial pada sektor publik (pemerintah daerah) masih terbatas misalnya penelitian yang dilakukan Ompusunggu dan Bawono (2007). Penelitian-penelitian tersebut menambah faktor-faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja.
Hal tersebut dilakukan sebagai tindakan alternatif atas ketidakkonsistenan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Nouri (dikutip oleh Supriyono, 2004) menyatakan bahwa pada awal-awal riset antara partisipasi anggaran dan kinerja manajer menunjukkan bukti yang tidak meyakinkan (inconclusive) dan seringkali bertentangan. Hasil riset tersebut ada yang menunjukkan asosiasi negatif secara signifikan (Campell dan Gingrich, 1986; Ivancevich, 1977 dalam Supriyono, 2004), positif secara signifikan (Brownell dan Mclnes, 1986; Chenhall dan Brownell, 1988; Early, 1985; Milani, 1975; Steers, 1975 dalam Supriyono, 2004), negatif tidak signifikan (Dosett, Latam, dan Mitcell, 1979; Mia, 1988 dalam Supriyono, 2004), dan positif tidak signifikan (latham dan Marshall, 1982; Latham dan Yukl, 1976 dalam Supriyono, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh partisipasi anggaran dan komitmen organisasi terhadap kinerja manajerial pada organisasi sektor publik. Penelitian ini dilakukan di Badan Diklat Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini disusun dengan judul “Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial melaluiKomitmen Organisasi “.

Adanya sarana dan prasarana
Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu komponen penting yang harus terpenuhi dalam menunjang sistem pendidikan. Menurut Ketentuan Umum Permendiknas no. 24 tahun 2007, sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah, sedangkan prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah. Sarana pendidikan antara lain gedung, ruang kelas, meja, kursi serta alat-alat media pembelajaran. Sedangkan yang termasuk prasarana antara lain seperti halaman, taman, lapangan, jalan menuju sekolah dan lain-lain. Tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, maka komponen tersebur merupakan sarana pendidikan.
Menurut Rugaiyah (2011:63), Manajemen sarana dan prasarana adalah kegiatan pengelolaan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh sekolah dalam upaya menunjang seluruh kegiatan baik kegiatan pembelajaran maupun kegiatan lain sehingga seluruh kegiatan berjalan dengan lancar. Menurut Asmani (2012:15), manajemen sarana dan prasarana adalah manajemen sarana sekolah dan sarana bagi pembelajaran, yang meliputi ketersediaan dan pemanfaatan sumber belajar bagi guru, siswa serta penataan ruangan-ruangan yang dimiliki.
Ruang Lingkup Manajemen Sarana dan Prasarana
Manajemen sarana dan prasarana dapat diartikan sebagai kegiatan menata, mulai dari perencanaan/analisis kebutuhan, pengadaan, inventarisasi, pendistribusian, pemanfaatan, pemeliharaan, pemusnahan dan pertanggungjawaban terhadap barang-barang bergerak dan tidak bergerak, perabot sekolah, alat-alat belajar, dan lain-lain.
Dengan adanya kegiatan tersebut, perawatan terhadap sarana dan prasarana dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga bisa meningkatkan kinerja warga sekolah, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan prasarana.

Fungsi Manajemen Sarana dan Prasarana
a.   Perencanaan/Analisis Kebutuhan
Perencanaan merupakan kegiatan analisis kebutuhan terhadap segala kebutuhan dan  perlengkapan yang dibutuhkan sekolah untuk kegiatan pembelajaran peserta dan didik dan kegiatan penunjang lainnya. Kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan sekolah berlangsung. Kegiatan ini biasa dilakukan pada awal tahun pelajaran dan disempurnakan tiap triwulan atau tiap semester.
b.    Pengadaan
Pengadaan adalah proses kegiatan mengadakan sarana dan prasarana yang dapat dilakukan dengan cara-cara membeli, menyumbang, hibah dan lain-lain. Pengadaan sarana dan prasarana dapat  bebrbentuk pengadaan buku, alat, perabot dan bangunan. Contohnya dapat dilihat pada bagan berikut:
 c.    Penginvetarisasian
Penginvetarisasian adalah kegiatan melaksanakan penggunaan, penyelenggaraan, pengaturan dan pencatatan barang-barang, menyusun daftar barang yang menjadi milik sekolah ke dalam satu daftar inventaris barang secara teratur. Tujuannya adalah untuk menjaga dan menciptakan tertib administrasi barang milik negara yang dipunyai suatu organisasi. Yang dimaksud dengan inventaris adalah suatu dokumen berisi jenis dan julah barang yang ebrgerak maupun yang tidak bergerak yang menjadi milik negara dibawah tanggung jawab sekolah.
d.    Penggunaan atau Pemanfaatan Sarana dan Prasarana
Penggunaan sarana dan prasarana adalah pemanfaatan segala jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan secara efektif dan efisien. Dalam hal pemanfaatan sarana, harus mempertimbangkan hal berikut:
1)    Tujuan yang akan dicapai
2)    Kesesuaian antar media yang akan digunakan dengan materi yang akan dibahas
3)    Tersedianya sarana dan prasarana penunjang
4)    Karakteristik siswa
e.    Pemeliharaan
Pemeliharaan adalah kegiatan merawat, memelihara dan menyimpan barang-barang sesuai dengan bentuk-bentuk jenis barangnya sehingga barang tersebut awet dan tahan lama. Pihak yang terlibat dalam pemeliharaan barang adalah semua warga sekolah yang terlibat dalam pemanfaatan barang tersebut. Dalam pemeliharaan, ada hal-hal khusus yang harus dilakukan oleh petugas khusus pula, seperti perawatan alat kesenian (piano, gitar, dan lain-lain).
f.     Penghapusan
Penghapusan barang inventaris adalah pelepasan suatu barang dari kepemilikan dan tanggung jawab pengurusnya oleh pemerintah ataupun swasta. Penghapusan barang dapat dilakukan dengan lelang dan pemusnahan.
Adapun syarat-syarat penghapusan:
1)    Barang-barang dala keadaan rusak berat
2)    Perbaikan suatu barang memerlukan biaya besar
3)    Secara teknis dan ekonomis kegunaannya tidak sesuai lagi dengan biaya pemeliharaan
g.    Pertanggungjawaban
Penggunaan barang-barang sekolah harus dipertanggungjawabkan dengan cara membuat laporan penggunaan barang-barang tersebut yang diajukan pada pimpinan.

Adanya Visi, misi, tujuan, dan program

Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Visi adalah pernyataan yang diucapkan atau ditulis hari ini, yang merupakan proses manajemen saat ini yang menjangkau masa yang akan datang (Akdon, 2006:94).
Hax dan Majluf dalam Akdon (2006:95) menyatakan bahwa visi adalah pernyataan yang merupakan sarana untuk:
1. Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas pokok.
2. Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders (sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait).
3. Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan perkembangan.
Pernyataan visi, baik yang tertulis atau diucapkan perlu ditafsirkan dengan baik, tidak mengandung multi makna sehingga dapat menjadi acuan yang mempersatukan semua pihak dalam sebuah organisasi (sekolah).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan sebuah visi menurut Bryson (2001:213) antara lain:
1. Visi harus dapat memberikan panduan/arahan dan motivasi.
2. Visi harus desebarkan di kalangan anggota organisasi (stakeholder)
3. Visi harus digunakan untuk menyebarluaskan keputusan dan tindakan organisasi yang penting.
Menurut Akdon (2006:96), terdapaat beberapa kriteri dalam merumuskan visi, antara lain:
1) Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan.
2) Visi dapat memberikan arahan, mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik.
3) Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan
4) Menjembatani masa kini dan masa yang akan datang.
5) Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.
6) Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, rumusan visi sekoalah yang baik seharusnya memberikan isyarat:
1) Visi sekolah berorientasi ke masa depan, untuk jangka waktu yang lama.
2) Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat.
3) Visi sekolah harus mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai.
4) Visi sekolah harus mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat dan komitmen bagi stakeholder.
5) Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik.
6) Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.
7) Dalam merumuskan visi harus disertai indikator pencapaian visi.

Pengertian Misi
Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang (Akdon, 2006: 97). Pernyataan misi mencerminkan tentang penjelasan produk atau pelayanan yang ditawarkan. Pernyataan misi harus:
1. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan.
2. Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
3. Mengundang partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang itama yang digeluti organisasi (Akdon, 2006:98).

Merumuskan Misi Sekolah
Misi merupakan tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Jadi misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
Ada beberapa kriteria dalam pembuatan misi, antara lain:
1) Penjelasan tentang produk atau pelayanan yang ditawarkan yang sangat diperlukan oleh masyarakat.
2) Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.
3) Kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang meyakinkan masyarakat.
4) Penjelasan aspirasi bisinis yang diinginkan pada masa mendatang juga bermanfaat dan keuntungannya bagi masyarakat dengan produk dan pelayanan yang tersedia (Akdon, 2006:99).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan misi sekolah antara lain:
1. Pernyataan misi sekolah harus menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh sekolah.
2. Rumusan misi sekolah selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada rumusan visi.
3. Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi. Antara indikator visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat benang merahnya secara jelas.
4. Misi sekolah menggambarkan tentang produk atau pelayanan yang akan diberikan pada masyarakat (siswa)
5. Kualitas produk atau layanan yang ditawarkan harus memiliki daya saing yang tinggi, namun disesuaikan dengan kondisi sekolah.


Pengertian dan Merumuskan Tujuan dan Program
a. Tujuan (Goals)
Tujuan merupakan penjabaran dari pernyataan misi, tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Penetapan tujuan pada umumnya didasarkan pada faktor-faktor kunci keberhasilan yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan tidak harus dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, akan tetapi harus dapat menunjukkan kondisi yang ingin dicapaidi masa mendatang (Akdon, 2006:143). Tujuan akan mengarahkan perumusan sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan dalam rangka merealisasikan misi, oleh karena itu tujuan harus dapat menyediakan dasar yang kuat untuk menetapkan indikator.
Pencapaian tujuan dapat dijadikan indikator untuk menilai kinerja sebuah organisasi. Beberapa kriteria tujuan antara lain:
1. Tujuan harus serasi dan mengklarifikasikan misi, visi dan nilai-nilai organisasi.
2. Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi, program dan sub program organisasi.
3. Tujuan cenderung untuk esensial tidak berubah, kecuali terjadi pergeseran lingkungan, atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan.
4. Tujuan biasanya secara re;atif berjangka panjang
5. Tujuan menggambarkan hasil program
6. Tujuan menggambarkan arahan yang jelas dari organisasi.
7. Tujuan harus menantang, namun realistik dan dapat dicapai.

Pengertian Program
Program merupakan implementasi dari visi, misi dan tujuan. Program yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah program operasional. Program operasional didefinisikan sebagai kumpulan kegiatan yang dihimpun dalam satu kelompok yang sama secara sendiri-sndiri atau bersama-sama untuk mencapai tujuan dan sasaran (Kdon, 2006:135). Program merupakan kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu, dilaksanakan oleh satu instansi pemerintah atau lebih ataupun dalam rangka kerja sama dengan masyarakat atau yang merupakan partisipasi aktif masyarakat guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Wujud nyata sebuah organisasi adalah adanya program operasional yang akan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Beberapa ciri-ciri program operasional adalah:
1) Program kerja operasional didasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang telah ditetapkan.
2) Program kerja operasional pada dasarnya merupakan upaya untuk implementasi strategi organisasi.
3) Program kerja operasional merupakan proses penentuan jumlah dan jenis sumber daya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan satu rencana.
4) Program operasional merupakan penjabaran riil tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjabarkan kebijakan.
5) Program operasional dapat bersifat jangka panjang dan menengah, atau bersifat tahunan.
6) Program kerja operasional tidak terlepas dari kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya.


Strategi ( Strategy)
Menurut Pearce dan Robinson (1997, p. 20) Strategi adalah ‘rencana main’ suatu perusahaan. Strategi mencerminkan kesadaran perusahaan mengenai bagaimana, kapan dan di mana ia harus bersaing menghadapi lawan dan dengan maksud dan tujuan untuk apa.

Menurut Lynch seperti yang dikutip oleh Wibisono (2006, p. 50-51), strategi perusahaan merupakan pola atau rencana yang mengintegrasikan tujuan utama atau kebijakan perusahaan dengan rangkaian tindakan dalam sebuah pernyataan yang saling mengikat. Strategi perusahaan biasanya berkaitan dengan prinsip-prinsip secara umum untuk mencapai misi yang dicanangkan perusahaan, serta bagaimana perusahaan memilih jalur yang spesifik untuk mencapai misi tersebut.

Anthony dan Govindarajan (1995) juga menambahkan bahwa perencanaan strategik merupakan suatu proses manajemen yang sistematis yang didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan atas program-program yang akan dilaksanakan oleh organisasi dan perkiraan sumber daya yang akan dialokasikan dalam setiap program selama beberapa tahun mendatang (dalam Prasetyo dan Gomies, 2004, p. 8). Hasil keluaran dari proses tersebut adalah rencana atau keputusan strategi.

Menurut Morrisey (1995:45), strategi adalah proses untuk menentukan arah yang harus dituju oleh perusahaan agar misinya tercapai dan sebagai daya dorong yang akan membantu perusahaan dalam menentukan produk, jasa, dan pasarnya di masa depan. Dalam menjalankan aktifitas operasional setiap hari di perusahaan, para pemimpin dan manajer puncak selalu merasa bingung dalam memilih dan menentukan strategi yang tepat karena keadaan yang terus menerus berubah.
Akibatnya, para pemimpin dan manajer puncak sering melakukan kesalahan yang pastinya berdampak negatif bagi perusahaan. Strategi perusahaan merupakan suatu wilayah kajian yang selalu menarik untuk dicermati. Terdapat dua aliran besar yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan strategi perusahaan yaitu :
1. Strategi-strategi utama (grand strategies) merupakan seperangkat alternatif strategi perusahaan yang secara umum dijadikan patokan dalam menentukan strategi yang akan diambil oleh suatu perusahaan.
2. Strategi-strategi generik (generic strategies) misalnya Porter’s generic strategies.

Hubungan Antara Perumusan Visi dan Strategi Perusahaan
Setelah visi dirumuskan maka seluruh strategi perusahaan harus mengacu pada visi tersebut dan tidak boleh dibalik, strategi dulu yang disusun duluan baru visi belakangan. Sebab hal ini di khawatirkan strategi tidak akan efektif karena
komitmen dan arah tujuan seluruh orang dalam perusahaan berbeda dan terkotak-kotak dalam functional structure. Dalam mengkomunikasikan visi peranleadership sangat menentukan. Menurut Davidson (1995:75), peran leadership dalam mengkomunikasikan visi dapat melalui :
1. Education (menumbuhkan pemahaman terhadap visi).
2. Authentication (menumbuhkan keyakinan kepada semua pihak bahwa “kata sesuai dengan perbuatan”).
3. Motivation (menumbuhkan kemauan dari dalam diri pegawai – self motivated workforce – untuk berperilaku sesuai dengan tujuan perusahaan).

Davidson (1995:76) menambahkan ada 7 elemen kunci yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas 
komunikasi visi (effective communication of vision) antara lain :
1. Simplicity (visi sebaiknya dituliskan secara sederhana sehingga mudah dikomunikasikan kepada semua orang baik secara internal maupun eksternal perusahaan).
2. Metaphor, analogy and example (visi dapat secara sederhana dituliskan melalui kata-kata yang bersifat kiasan, analogi dan contoh agar visi dapat lebih mudah dikomunikasikan).
3. Multiple forum (mengkomunikasikan visi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dapat melalui rapat besar, memo, surat kabar, poster dan pembicaraan informal lainnya).
4. Repetition (visi akan dapat meresap dan dipahami secara mendalam biasanya setelah para pegawai mendengar visi tersebut berkali-kali).
5. Leadership by example (mengkomunikasikan visi akan lebih efektif jika dilakukan dengan adanya kesamaan antara perkataan dan perilaku atasan).
6. Explanation of seeming inconsistencies (jika ternyata terdapat inkonsistensi seperti pada butir 5, maka manajemen harus segera memberikan penjelasan kepada seluruh pegawai secara sederhana dan jujur untuk menghindari berkurangnya kepercayaan pegawai pada manajemen).
7. Give and take (mengkomunikasikan visi akan lebih efektif apabila penyampaiannya dilakukan dua arah).

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar