Rabu, 09 September 2015

CHAOS DAN KOMPLEKSITAS DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Oleh Farichin


Berbicara tentang chaos berarti kita berbicara tentang suatu sistem yang tidak teratur. Chaos terjadi sebagai perwujudan dinamika multi sistem yang sangat berkaitan sehingga memunculkan kesemrawutan sebagai bentuk ketumpangtindihan sistem-sistem tersebut. Choas menjarah pada keseluruhan sistem yang ada baik pada dunia hukum, kenegaraan, dan kependidikan. Kesemrawutan tersebut juga terjadi pada keseluruhan tingkatan baik pada tingkat makro, mezo, maupun mikro. Hal tersebut terjadai akibat beberapa kepenttingan baik bersifat politis maupun nonpolitis pada lini-lini tertentu. Di samping itu kerap choas terjadi sebagai bentuk misunderstanding dalam penerjemahan kebijakan yang muncul sebagai bentuk pemecahan suatu permasalahan.
Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap perubahan yang mengganggunya. Dalam era informasi telah terjadi perubahan dalam segala hal dengan sangat cepat dan terus menerus, sehingga telah memasuki daerah complexity dan chaos.  Kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos) telah terjadi dalam ber-bagai aspek kehidupan masyarakat termasuk dunia pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan ( kamus besar bahasa Indonesia, 1991 ). Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari terjadinya chaos dan kompleksitas. Dalam kaitannya dengan pendidikan kita menyaksikan dan memahami bahwa dunia pendidikan Indonesia sungguh komplek. Ditinjau dari gegrafis-demografis Indonesia yang begitu luas jangkauannya dari Sabang sampai Meruake untuk sekitar 240 juta orang warga Indonesia. Banyak yang terlibat yang mengurusnya, ada pemerintah, ada badan legislatif, ada fraksi dari partai politik, ada birokrasi. Dan kompleksitas pendidikan itu lebih nyata dengan adanya sekian banyak satuan pendidikan, tenada pendidik, kelas, rombongan belajar peserta didik dan orang tuanya yang pluralistik, kurikulum, cara pembelajaran, dan penilaian. 
Dalam dunia pendidikan, chaos dan kompleksitas terjadi dalam berbegai bentuk. Munculnya choas dalam dunia pendidikan banyak terjadi karena terjadinya perbenturan kebijakan dari kebijakan makro yang multitafsir sehingga diterjemahkan dengan penyesuaian kebijakan lain pada tingkat di bawahnya. Dengan demikian acapkali suatu kebijakan dalam dunia pendidikan pada tingkat makro berbenturan pada tingkat mezo maupun mikro. Di antara kompleksitas dalam sistem pendidikan kita gejala umum yang penting antara lain makin banyak aturan dan pengaturan yang terkait dengan pendidikan warga negara, dan hal ihwal mendidik dan mengajar. Makin kuatnya paradigma serta sikap politik pemerintah dan DPR dalam mengatur sistem pendidikan, makin menampilkan diri berwenang dan berkuasa dalam menetapkan aturan-aturan tentang pendidikan. Makin mengemuka issue bahwa pendidikan di satu pihak perlu digratiskan dan dipihak lain makin perlu dikomersilkan.
Salah satu contoh yang dapat diambil dari kondisi chaos dalam dunia pendidikan adalah pengembangan profesi guru. Pada masa pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diluncurkan pada tahun 2004 membawa misi bahwa peserta didik diharapkan memiliki penguasaan kompetensi yang baik melalui implementasi kompetensi dasar (KD). Dengan kata lain kognisi peserta didik diperlukan sebagai prasarat penguasaan kompetensi tertentu. Dengan  misi tersebut, guru dituntut berkreasi dan berinovasi dalam rangka mengantarkan peserta didik memperoleh kompetensi yang dikehendaki. Untuk itu, guru diberi beban mengajar 18 jam sehingga mereka memiliki waktu yang cukup. Kondisi tersebut kemudian dimentahkan dengan peraturan baru yang dituangkan dalam standar pendidik dan tenaga kependidikan. Di situ dinyatakan tugas mengajar guru minimal 24 jam dan maksimal 40 jam pelajaran. Padahal untuk tingkat SMP saja, dengan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) memiliki struktur kurikulum setiap sekolah antara 34 sampai 36 jam pelajaran per minggu. Atas dasar hal tersebut, kepala sekolah memberikan beben mengajar pada guru secara maksimal. Kondisi tersebut menjadikan guru terlalu sibuk dengan pelaksanaan tugas pokoknya. Dengan demikian waktu untuk mengembangkan keprofesiannya sangat sempit dan terbatas.
Hal di atas baru muncul dari satu sisi, sisi penghambat pengembangan profesi guru yang lain adalah dikeluarkannya peraturan bupati yang terkesan mempersempit laju guru untuk mengikuti pendidikan lanjut. Peraturan tersebut kemudian diterjemahkan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang seolah mempersulit guru untuk meningkatkan kualifikasi akademiknya dengan alasan peraturan bupati. Kondisi ini jelas bertentangan dengan UU Sisdiknas terutama pasal 40 terkait hak pendidik dan tenaga kependidikan yang mengatakan hak pendidik termasuk dalam“pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas” Kondisi semacam ini akhirnya menimbulkan suatu permasalahan baru seperti rendahnya minat pendidik untuk mengikuti program studi lanjut sebagai bentuk tuntutan pengembangan karier dan kualitas kompetensi dirinya. Lebih jauh lagi kondisi semacam ini membuka peluang bagi oknum yang berbuat nakal untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap orang yang mau menggunakan jasanya. Artinya, jika ada orang yang mau membayar dengan harga tertentu untuk mengurus perizinan studi lanjut, maka prosesnya akan dibantu agar mereka dengan cepat mendapatkan perizinan yang diharapkan. Namun demikian, pengurusuan izin yang semestinya akan dilakukan sesuai dengan aturan yang baku yang terkesan sulit untuk dilakukan.
Dalam hal keuangan sekolah juga terjadi kesemrawutan sistem. Adanya aturan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terkesan mengungkung pengelola sekolah dalam penggunaan dana tersebut. Aturan penggunaan BOS yang tidak didasarkan pada kondisi riil di sekolah memicu penyelewengan penggunaan anggara. Sebagai contoh adalah tidak diperbolehkannya BOS untuk membayar wali kelas, urusan, wakil dan kapala sekolah.  Sementara kita tahu bahwa tugas-tugas tersebut merupakan tugas tambahan yang diberikan pada guru.  dalam sisdiknas, tugas pokok guru hanyalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluais hasil belajar.  Secara logika, guru yang mendapat tugas tambahan berarti mendapatkan beban kerja yang lebih dibandingkan dengan guru lain. Oleh karena itu, mereka berhak untuk mendapatkan kompensasi berupa tambahyan penghasilan.  Namun demikian, aturan penggunaan dana BOS tidak memperkenankan hal tersebut dilakukan. Sementara itu, Peraturan lain juga menginstruksikan agar sekolah dilarang memungut sumbangan atau biaya dari orang tua murid. Al hasil, sekolah melakukan penyelewengan SPJ agar dapat memberikan kompensasi kepada tenaga pendidik yang mendapatkan tugas tambahan.

Hal di atas merupakan salah satu dari sekian kesemrawutan pelaksanaan sistem pendidikan. masih banyak lagi kompleksitas yang terjadi dalam dunia pendidikan. kesadaran dan tanggung jawab kita semua sebagai insan pendidik adalah mengantarkan peserta didik memperoleh kompetensi yang diharapkan.  Semoga pendidikan Indonesia tidak mengalami stagnasi karena pengaruh chaos dan kompleksitas yang ada.

diambil dari beberapa sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar