beberapa karakteristik organisai tersebut adalah
Adanya spesialisasi Tugas
Organisasi dalam definisinya
merupakan proses kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan
bersama. Seperti yang kita rasakan, manusia tidak bisa terlepas dari yang
namanya organisasi karena semenjak dilahirkan, manusia telah ditakdirkan
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dengan segala keterbatasan
yang dimilikinya, manusia tidak bisa berjalan sendiri untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Dibutuhkan untuk terjun, berbaur dan bergabung dengan
orang lain agar bisa membantunya memperoleh apa yang dituju.
spesialisasi adalah pembagian tugas
berdasarkan skill yang dimiliki oleh individu dalam organisasi, agar tidak ada
istilahnya pemborongan tugas oleh seseorang sehingga yang lain tidak melakukan
hal apa pun. Bukankah organisasi adalah sebuah proses kerja sama? Jadi untuk
kerja sama, semua orang harus melakukan sesuatu demi tercapainya tujuan. Agar
tidak terjadi kerancuan dalam melakukan tugas, maka pembagian tugas secara jelas
sangat diperlukan. Bayangkan saja jika pembagian tersebut tidak jelas, pasti
akan terjadi saling lempar tanggung jawab antar anggota untuk melakukan tugas
tersebut. Akan tetapi, meskipun keuntungan nyata dari prinsip ini, masih banyak
organisasi yang menjauh dari spesialisasi karena menurutnya, dengan banyaknya
spesialisasi ini akan mengisolasi karyawan, dengan melakukan tugas yang sempit,
kecil, membosankan, dan hanya itu-itu saja. Organisasi-organisasi tersebut
lebih memilih memperbesar pekerjaan untuk memberikan tantangan kepada para
anggota (http://www.cliffsnotes.com/).
Ada empat prinsip dasar dalam
spesialisasi, yaitu (Amitai: 1964):
a. Prinsip
pertama menyatakan bahwa spesialisasi harus dengan tujuan tugas. Pekerja yang
melayani tujuan yang sama dan sub-tujuan dalam organisasi harus terpasang ke
divisi organisasi yang sama. Tidak akan seperti yang banyak divisi dalam
organisasi karena ada tujuan atau sub tujuan.
b. Prinsip
kedua spesialisasi menunjukkan bahwa semua pekerjaan didasarkan pada proses tertentu
harus dikelompokkan bersama-sama, karena harus berbagi dana khusus pengetahuan
dan membutuhkan penggunaan keterampilan yang sama atau prosedur.
c. Prinsip
ketiga menyatakan bahwa spesialisasi sesuai dengan jenis klien lain bagi
pembagiankerja.s
d. Prinsip
keempat mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan di wilayah geografis yang
sama harus ditempatkan bersama-sama.
Pelaksanaan prinsip spesialisasi ini
memiliki dampak yang begitu signifikan dalam proses kinerja organisasi. Fakta
mengatakan, hingga akhir 1940an, sebagian pekerjaan manufaktur di negara-negara
industri dilakukan dengan spesialisasi kerja yang tinggi. Manajemen melihat hal
ini sebagai sarana yang paling efisien untuk memanfaatkan keterampilan
karyawannya. Para manajer juga melihat efisiensi lain, yaitu keterampilan
karyawan dalam menjalankan tugas dengan berhasil meningkat berkat pengulangan
(Robins & Timothy: 2008). Dan juga, bukan hanya keterampilannya saja yang
meningkat, tapi ketepatan dan kecepatan waktu dalam menjalankan tugas pun bisa
meningkat ketika pekerjaan tersebut diulang-ulang. Dan hal ini, menjadikan
karyawan tersebut semakin ahli dalam bidang itu, sehingga mutu yang diperoleh
dari hasil kinerja ini juga baik. Sebaliknya, pengabaian terhadap prinsip
spesialisasi ini akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas, seperti
yang telah penulis singgung di atas. Dan juga, kemungkinan untuk menghasilkan
kualitas atau hasil yang baik pun kecil ketika pekerjaan tersebut tidak
dilakukan oleh ahlinya.
Adanya proses pengambilan
Keputusan
Pengambilan keputusan adalah
proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien
sesuai situasi. Proses tersebut untuk menemukan dan menyelesaikan masalah
organisasi. Suatu aturan kunci dalam pengambilan keputusan ialah sekali kerangka
yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus dibuat (Brinckloe,1977). Dengan
kata lain, keputusan mempercepat diambilnya tindakan, mendorong lahirnya
gerakan dan perubahan (Hill,1979).
Pengambilan keputusan hendaknya
dipahami dalam dua pengertian yaitu (1) penetapan tujuan yang merupakan
terjemahan cita-cita, aspirasi dan (2) pencapaian tujuan melalui
implementasinya (Inbar,1979). Ringkasnya keputusan dibuat untuk mencapai tujuan
melalui pelaksanaan dan ini semua berintikan pada hubungan kemanusiaan. Untuk
suksesnya pengambilan keputusan itu maka sepuluh hukum hubungan kemanusiaan
(Siagian,1988) hendaknya menjadi acuan dari setiap pengambilan keputusan.
Ada dua pandangan dalam
pencapaian proses mencapai suatu keputusan organisasi (Brinckloe,1977) yaitu :
(1) Optimasi. Di sini seorang
eksekutif yang penuh keyakinan berusaha menyusun alternatif-alternatif,
memperhitungkan untung rugi dari setiap alternatif itu terhadap tujuan
organisasi. Sesudah itu memperkirakan kemungkinan timbulnya bermacam-macam kejadian
ke depan, mempertimbangkan dampak dari kejadian-kejadian itu terhadap
alternatif-alternatif yang telah dirumuskan dan kemudian menyusun
urut-urutannya secara sistematis sesuai dengan prioritas lalu dibuat keputusan.
Keputusan yang dibuat dianggap optimal karena setidaknya telah memperhitungkan
semua faktor yang berkaitan dengan keputusan tersebut.
(2) Satisficing. Seorang
eksekutif cukup menempuh suatu penyelesaian yang berasal memuaskan ketimbang
mengejar penyelesaian yang terbaik. Model satisficing dikembangkan oleh Simon
(Simon,1982; roach, 1979) karena adanya pengakuan terhadap rasionalitas
terbatas (bounded rationality). Rasionalitas terbatas adalah batas-batas
pemikiran yang memaksa orang membatasi pandangan mereka atas masalah dan
situasi. Pemikiran itu terbatas karena pikiran manusia tidak megolakan dan
memiliki kemampuan untuk memisahkan informasi yang tertumpuk.
Menurut Frank Harison (Hitt,
1970), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rasionalitas terbatas antara
lain informasi yang datang dari luar sering sangat kompetitif atau informasi
itu tidak sempurna, kendala waktu dan biaya, serta keterbatasan seorang
mengambil keputusan yang rasional untuk mengerti dan memahami masalah dan
informasi, terutama informasi dan teknologi.
Pendekatan dalam Proses Pengambilan
Keputusan :
1. Pendekatan yang
interdisipliner.
Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai suatu tindakan tunggal dan tidak sebagai suatu tindakan yang Seragam yang berlaku untuk semua keadaan serta dapat digunakan oleh pengambil keputusan yang berbeda dengan tingkat efektifitas yang sama. Proses pengambilan keputusan terdiri dari berbagai ragam keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dalam kehidupan berorganisasi.
Proses pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai suatu tindakan tunggal dan tidak sebagai suatu tindakan yang Seragam yang berlaku untuk semua keadaan serta dapat digunakan oleh pengambil keputusan yang berbeda dengan tingkat efektifitas yang sama. Proses pengambilan keputusan terdiri dari berbagai ragam keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dalam kehidupan berorganisasi.
2. Proses yang sistematis.
Suatu proses logis yang melibatkan pengambilan langkah-langkah secara berturut atau sekuensial dengan merinci proses tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (pendekatan atomik). Pendapat lain mengatakan proses pengambilan keputusan menyangkut dengan naluri, daya pikir, dan serangkaian metode intuitif yang keseluruhannya dirangkum yang menjadi suatu kreatifitas (pendekatan holistik).
Suatu proses logis yang melibatkan pengambilan langkah-langkah secara berturut atau sekuensial dengan merinci proses tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (pendekatan atomik). Pendapat lain mengatakan proses pengambilan keputusan menyangkut dengan naluri, daya pikir, dan serangkaian metode intuitif yang keseluruhannya dirangkum yang menjadi suatu kreatifitas (pendekatan holistik).
3. Proses berdasarkan
informasi.
Pengambilan keputusan tanpa informasi berarti menghilangkan kesempatan belajar secara adaptif. Seorang manajer harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Informatika untuk pengambilan keputusan yang efektif serta harus menuntut agar tersedia baginya informasi yang memenuhi persyaratan kemutakhiran, kelengkapan, dapat dipercaya dan disajikan dalam bentuk yang tepat.
Pengambilan keputusan tanpa informasi berarti menghilangkan kesempatan belajar secara adaptif. Seorang manajer harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Informatika untuk pengambilan keputusan yang efektif serta harus menuntut agar tersedia baginya informasi yang memenuhi persyaratan kemutakhiran, kelengkapan, dapat dipercaya dan disajikan dalam bentuk yang tepat.
4. Memperhitungkan
faktor-faktor ketidakpastian.
Betapa pun telitinya perkiraan keadaan, dalamnya kajian terhadap berbagai alternatif, tetap tidak ada jaminan bebas dari resiko ketidakpastian. Untuk itu pengambilan keputusan harus dapat Memperhitungkan probabilitas (kemungkinan) keberhasilan atau kekurang-berhasilan pelaksanaan suatu keputusan.
Betapa pun telitinya perkiraan keadaan, dalamnya kajian terhadap berbagai alternatif, tetap tidak ada jaminan bebas dari resiko ketidakpastian. Untuk itu pengambilan keputusan harus dapat Memperhitungkan probabilitas (kemungkinan) keberhasilan atau kekurang-berhasilan pelaksanaan suatu keputusan.
5. Diarahkan pada tindakan
nyata.
Mengambil suatu tindakan harus dapat ditentukan secara pasti, kapan pemecahan berakhir dan proses pengambilan keputusan dimulai. Masalah dan sasaran sering mempunyai siklus pertumbuhan dan penyusutan, demikian juga faktor-faktor yang mempengaruhi. Hal tersebut harus dikenali secara tepat karena akan sangat mempengaruhi keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak.
Mengambil suatu tindakan harus dapat ditentukan secara pasti, kapan pemecahan berakhir dan proses pengambilan keputusan dimulai. Masalah dan sasaran sering mempunyai siklus pertumbuhan dan penyusutan, demikian juga faktor-faktor yang mempengaruhi. Hal tersebut harus dikenali secara tepat karena akan sangat mempengaruhi keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak.
Berbagai model tentang
pendekatan terhadap pengambilan keputusan telah diperkenalkan oleh para ahli
teori pengambilan keputusan, diantaranya adalah :
1. Model Brinckloe (1977)
Keputusan yang menggunakan pendekatan (i) Fakta, secara sistematis akan mengumpulkan semua fakta mengenai masalah dan hasilnya ialah kemungkinan keputusan akan lahir dengan sendirinya; (ii) Pengalaman, seseorang yang sudah memiliki pengalaman tentu lebih matang dalam membuat keputusan daripada seorang yang sama sekali belum mempunyai pengalaman apa-apa namun perlu diperhatikan bahwa peristiwa-peristiwa yang lampau tidak akan pernah sama dengan pada saat ini;(iii) Intuisi, tidak jarang keputusan yang diambil berdasarkan intuisi dikarenakan kurang mengadakan analisis yang terkendali maka perhatian hanya ditujukan pada beberapa fakta; (iv) Logika, pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan; (v) Analisis Sistem, kecanggihan dari komputer telah merangsang banyak orang untuk mengambil keputusan secara kuantitatif.
Keputusan yang menggunakan pendekatan (i) Fakta, secara sistematis akan mengumpulkan semua fakta mengenai masalah dan hasilnya ialah kemungkinan keputusan akan lahir dengan sendirinya; (ii) Pengalaman, seseorang yang sudah memiliki pengalaman tentu lebih matang dalam membuat keputusan daripada seorang yang sama sekali belum mempunyai pengalaman apa-apa namun perlu diperhatikan bahwa peristiwa-peristiwa yang lampau tidak akan pernah sama dengan pada saat ini;(iii) Intuisi, tidak jarang keputusan yang diambil berdasarkan intuisi dikarenakan kurang mengadakan analisis yang terkendali maka perhatian hanya ditujukan pada beberapa fakta; (iv) Logika, pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semua unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan; (v) Analisis Sistem, kecanggihan dari komputer telah merangsang banyak orang untuk mengambil keputusan secara kuantitatif.
2. Model McGrew (1985)
McGrew hanya melihat adanya tiga pendekatan yaitu proses pengambilan keputusan rasional, model proses organisasional dan model tawar-menawar politik (political bargaining model) yaitu (i) Pendekatan proses pengambilan keputusan rasional memberi perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan dan sasaran dari pengambilan keputusan; (ii) Model proses organisasional menangani masalah yang jelas tampak perbedaannya antara pengambil keputusan individu dan organisasi; (iii) Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan itu mengatakan bahwa pengambilan keputusan kolektif sesungguhnya dilaksanakan melalui tawar-menawar namun hasil akhir keputusan itu sesungguhnya tergantung pada proses memberi dan menerima di antara individu dalam kelompok tersebut.
McGrew hanya melihat adanya tiga pendekatan yaitu proses pengambilan keputusan rasional, model proses organisasional dan model tawar-menawar politik (political bargaining model) yaitu (i) Pendekatan proses pengambilan keputusan rasional memberi perhatian utama pada hubungan antara keputusan dengan tujuan dan sasaran dari pengambilan keputusan; (ii) Model proses organisasional menangani masalah yang jelas tampak perbedaannya antara pengambil keputusan individu dan organisasi; (iii) Model tawar-menawar politik melihat kedua pendekatan itu mengatakan bahwa pengambilan keputusan kolektif sesungguhnya dilaksanakan melalui tawar-menawar namun hasil akhir keputusan itu sesungguhnya tergantung pada proses memberi dan menerima di antara individu dalam kelompok tersebut.
Teknik-teknik Pengambilan
Keputusan. (Siagian, S.P. (25-26;1993).
1. Brainstorming
Jika sekelompok orang dalam
suatu organisasi menghadapi suatu situasi problematic yang tidak terlalu rumit,
dan dapat diidentifikasikan secara spesifik mereka mengadakan diskusi dimana
setiap orang yang terlibat diharapkan turut serta memberikan pandangannya. Pada
akhir diskusi berbagai pandangan yang dikemukakan dirangkum, sehingga kelompok
mencapai suatu kesepakatan tentang cara-cara yang hendak ditempuh dalam
mengatasi situasi problematic yang dihadapi. Penting diperhatikan dalam teknik
ini yaitu :
a. Gagasan yang aneh dan tidak
masuk akal sekalipun dicatat secara teliti.
b. Mengemukakan sebanyak mungkin pendapat dan gagasan karena kuantitas pandanganlah yang lebih diutamakan meskipun aspek kualitas tidak diabaikan.
c. Pemimpin diskusi diharapkan tidak melakukan penilaian atas sesuatu pendapat atau gagasan yang dilontarkan, dan peserta lain diharapkan tidak menilai pendapat atau gagasan anggota kelompok lainnya.
d. Para peserta diharapkan dapat memberikan sanggahan pendapat atau gagasan yang telah dikemukakan oleh orang lain.
e. Semua pendapat atau gagasan yang dikemukakan kemudian dibahas hingga kelompok tiba pada suatu sintesis pendapat yang kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan.
b. Mengemukakan sebanyak mungkin pendapat dan gagasan karena kuantitas pandanganlah yang lebih diutamakan meskipun aspek kualitas tidak diabaikan.
c. Pemimpin diskusi diharapkan tidak melakukan penilaian atas sesuatu pendapat atau gagasan yang dilontarkan, dan peserta lain diharapkan tidak menilai pendapat atau gagasan anggota kelompok lainnya.
d. Para peserta diharapkan dapat memberikan sanggahan pendapat atau gagasan yang telah dikemukakan oleh orang lain.
e. Semua pendapat atau gagasan yang dikemukakan kemudian dibahas hingga kelompok tiba pada suatu sintesis pendapat yang kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan.
2.Synetics
Seorang diantara anggota
kelompok peserta bertindak selaku pimpinan diskusi. Diantara para peserta ada
seorang ahli dalam teori ilmiah pengambilan keputusan. Apakah ahli itu anggota
organisasi atau tidak, tidak dipersoalkan. Pimpinan mengajak para peserta untuk
mempelajari suatu situasi problematik secara menyeluruh. Kemudian masing-masing
anggota kelompok mengetengahkan daya pikir kreatifnya tentang cara yang
dipandang tepat untuk ditempuh. Selanjutnya pimpinan diskusi memilih
hasil-hasil pemikiran tertentu yang dipandang bermanfaat dalam pemecahan
masalah. Dan tenaga ahli menilai melakukan penilaian atas berbagai gagasan emosional
dan tidak rasional yang telah disaring oleh pimpinan diskusi serta kemudian
menggabungkannya dengan salah satu teori ilmiah pengambilan keputusan dan
tindakan pelaksanaan yang diambil.
3. Consensus thinking
Orang-orang yang terlibat dalam
pemecahan masalah harus sepakat tentang hakikat, batasan dan dampak suatu
situasi problematik yang dihadapi, sepakat pula tentang teknik dan model yang
hendak digunakan untuk mengatasinya. Teknik ini efektif bila beberapa orang
memiliki pengetahuan yang sejenis tentang permasalahan yang dihadapi dan
tentang teknik pemecahan yang seyogyanya digunakan. Orang-orang diharapkan
mengikuti suatu prosedur yang telah ditentukan sebelumnya. Kelompok biasanya
melakukan uji coba terhadap langkah yang hendak ditempuh pada skala yang lebih
kecil dari situasi problematik yang sebenarnya.
4. Delphi
Umumnya digunakan untuk mengambil keputusan meramal masa depan yang diperhitungkan akan dihadapi organisasi. Teknik ini sangat sesuai untuk kelompok pengambil keputusan yang tidak berada di satu tempat.
Pengambil keputusan menysun serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan suatu situasi peramalan dan menyampaikannya kepada sekelompok ahli. Para ahli tersebut ditugaskan untuk meramalkan, apakah suatu peristiwa dapat atau mungkin terjadi atau tidak. Jawaban dari anggota kelompok tadi dikumpulkan dan masing-masing anggota ahli mempelajari ramalan yang dibuat oleh masing-masing rekannya yang tidak pernah ditemuinya. Pada kesempatan berikutnya, rangkaian pertanyaan yang sama dikembalikan kepada para anggota kelompok dengan melampirkan jawaban yang telah diberikan oleh para anggota kelompok pada putaran pertama serta hal-hal yang dipandang sudah merupakan kesepakatan kelompok. Apabila pendapat seseorang ahli berbeda maka memberikan penjelasannya secara tertulis. Tiap-tiap jawaban diberikan kode tertentu sehingga tidak diketahui siapa yang memberikan jawaban.
Jawaban tersebut di atas dilakukan dengan beberapa putaran. Pengedaran daftar pertanyaan dan analisa oleh beberapa ahli dihentikan apabila telah diperoleh bahan tentang ramalan kemungkinan terjadi sesuatu peristiwa di masa depan.
Umumnya digunakan untuk mengambil keputusan meramal masa depan yang diperhitungkan akan dihadapi organisasi. Teknik ini sangat sesuai untuk kelompok pengambil keputusan yang tidak berada di satu tempat.
Pengambil keputusan menysun serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan suatu situasi peramalan dan menyampaikannya kepada sekelompok ahli. Para ahli tersebut ditugaskan untuk meramalkan, apakah suatu peristiwa dapat atau mungkin terjadi atau tidak. Jawaban dari anggota kelompok tadi dikumpulkan dan masing-masing anggota ahli mempelajari ramalan yang dibuat oleh masing-masing rekannya yang tidak pernah ditemuinya. Pada kesempatan berikutnya, rangkaian pertanyaan yang sama dikembalikan kepada para anggota kelompok dengan melampirkan jawaban yang telah diberikan oleh para anggota kelompok pada putaran pertama serta hal-hal yang dipandang sudah merupakan kesepakatan kelompok. Apabila pendapat seseorang ahli berbeda maka memberikan penjelasannya secara tertulis. Tiap-tiap jawaban diberikan kode tertentu sehingga tidak diketahui siapa yang memberikan jawaban.
Jawaban tersebut di atas dilakukan dengan beberapa putaran. Pengedaran daftar pertanyaan dan analisa oleh beberapa ahli dihentikan apabila telah diperoleh bahan tentang ramalan kemungkinan terjadi sesuatu peristiwa di masa depan.
5. Fish bowling
Sekelompok pengambil keputusan duduk pada suatu lingkaran, dan di tengah lingkaran ditaruh sebuah kursi. Seseorang duduk di kursi tersebut hanya dialah yang boleh bicara untuk mengemukakan pendapat ide dan gagasan tentang suatu permasalahan. Para anggota lain mengajukan pertanyaan, pandangan dan pendapat. Apabila pandangan orang yang duduk di tengah tersebut telah dipahami oleh semua anggota kelompok dia meninggalkan kursi dan digantikan oleh orang yang lain untuk kesempatan yang sama. Setelah itu semua pandangan didiskusikan sampai ditemukan cara yang dipandang paling tepat.
Sekelompok pengambil keputusan duduk pada suatu lingkaran, dan di tengah lingkaran ditaruh sebuah kursi. Seseorang duduk di kursi tersebut hanya dialah yang boleh bicara untuk mengemukakan pendapat ide dan gagasan tentang suatu permasalahan. Para anggota lain mengajukan pertanyaan, pandangan dan pendapat. Apabila pandangan orang yang duduk di tengah tersebut telah dipahami oleh semua anggota kelompok dia meninggalkan kursi dan digantikan oleh orang yang lain untuk kesempatan yang sama. Setelah itu semua pandangan didiskusikan sampai ditemukan cara yang dipandang paling tepat.
6. Didactic interaction
Digunakan untuk suatu situasi yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”. Dibentuk dua kelompok, dengan satu kelompok mengemukakan pendapat yang bermuara pada jawaban “ya” dan kelompok lainnya pada jawaban “tidak”. Semua ide yang dikemukakan baik pro maupun kontra dicatat dengan teliti. Kemudian kedua kelompok bertemu dan mendiskusikan hasil catatan yang telah dibuat. Pada tahap berikutnya terjadi pertukaran tempat. Kelompok yang tadinya mengemukakan pandangan pro beralih memainkan peranan dengan pandangan kontra.
Digunakan untuk suatu situasi yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”. Dibentuk dua kelompok, dengan satu kelompok mengemukakan pendapat yang bermuara pada jawaban “ya” dan kelompok lainnya pada jawaban “tidak”. Semua ide yang dikemukakan baik pro maupun kontra dicatat dengan teliti. Kemudian kedua kelompok bertemu dan mendiskusikan hasil catatan yang telah dibuat. Pada tahap berikutnya terjadi pertukaran tempat. Kelompok yang tadinya mengemukakan pandangan pro beralih memainkan peranan dengan pandangan kontra.
7. Collective bargaining
Dua pihak yang mempunyai pandangan berbeda bahkan bertolak belakang atas suatu masalah duduk di satu meja dengan saling menghadap. Masing-masing pihak datang dengan satu daftar keinginan atau tuntutan dengan didukung oleh berbagai data, informasi dan alasan-alasan yang diperhitungkan dapat memperkuat posisinya dalam proses tawar-menawar yang terjadi. Jika pada akhirnya ditemukan bahwa dukungan data dan informasi serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak mempunyai persamaan, maka tidak terlalu sukar untuk mencapai kesepakatan. Tetapi sebaliknya, pertemuan berakhir tanpa hasil yang kemudian sering diikuti dengan timbulnya masalah yang lebih besar.
Dua pihak yang mempunyai pandangan berbeda bahkan bertolak belakang atas suatu masalah duduk di satu meja dengan saling menghadap. Masing-masing pihak datang dengan satu daftar keinginan atau tuntutan dengan didukung oleh berbagai data, informasi dan alasan-alasan yang diperhitungkan dapat memperkuat posisinya dalam proses tawar-menawar yang terjadi. Jika pada akhirnya ditemukan bahwa dukungan data dan informasi serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak mempunyai persamaan, maka tidak terlalu sukar untuk mencapai kesepakatan. Tetapi sebaliknya, pertemuan berakhir tanpa hasil yang kemudian sering diikuti dengan timbulnya masalah yang lebih besar.
Terdapat 3 tahap utama dalam proses pengambilan keputusan, yaitu:
a.
Aktivitas intelegensi: penelusuran kondisi
lingkungan yang memerlukan pengambilan keputusan.
b.
Aktivitas
desain: terjadi tindakan penemuan, pengembangan, dan menganalisis masalah.
c.
Aktivitas
memilih: memilih tindakan tertentu dari yang tersedia.
Proses
pengambilan keputusan memiliki fungsi sebagai suatu awal dari segala aktivitas
manusia baik individu maupun berkelompok yang dapat menentukan langkah
selanjutnya dimana pengaruhnya akan berlangsung dalam waktu yang sebentar atau
dalam waktu yang cukup lama.
Adanya Proses Penyelesaian Masalah
Penyelesaian atau pemecahan
masalah adalah
bagian dari proses berfikir. Sering dianggap merupakan proses paling kompleks
di antara semua fungsi kecerdasan, pemecahan masalah telah didefinisikan
sebagai proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol
lebih dari keterampilan-keterampilan rutin atau dasar. Proses ini terjadi jika
suatu organisme atau sistem kecerdasan buatan tidak mengetahui
bagaimana untuk bergerak dari suatu kondisi awal menuju kondisi yang dituju.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik
dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
§
Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan
terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
§
Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang
terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan
alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
§
Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan
atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses
organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
§
Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan
konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
§
Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan
lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila
dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah
tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket
kompensasi yang menarik.
§
Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan
masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul,
mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung
mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
1. Jenis-jenis konflik
dikelompokan beberapa orang.
2. Pembagian jenis konflik yang dibedakan menurut pihak-pihak yang
saling bertentangan.
3. Konflik organisasi timbul karena ada beberapa sumber.
4. Adanya penyebab konflik organisasi secara lebih konsepsual.
5. Konfik sering terjadi dalam suatu organisasi dibidang sruktural.
6. Secara tradisi pendekatan terhadap konflik organisasi sangat
sederhana.
7. Pimpinan dapat melakukan berbagai tindakan apabila keadaan tidak
saling mengerti serta situasi penilaian terhadap perbedaan antara anggota
organisasi sehingga sulit dicapai yang mengakibatkan konflik tak terelakkan.
Penyelesaian masalah hubungan antara
konflik dengan keputusan dan solusi pada suatu organisasi ada berbagai cara
untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
Adanya Anggaran
Anggaran merupakan
komponen penting dalam sebuah organisasi, baik organisasi sektor swasta maupun
organisasi sektor publik. Menurut Hansen dan Mowen (2004:1), Setiap
entitas pencari laba ataupun nirlaba bisa mendapatkan manfaat dari
perencanaan dan pengendalian yang diberikan oleh anggaran. Perencanaan dan
pengendalian merupakan dua hal yang saling berhubungan. Perencanaan adalah
pandangan ke depan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar
dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke
belakang, memutuskan apakah yang sebenarnya telah terjadi dan membandingkannya
dengan hasil yang direncanakan sebelumnya.
Anggaran merupakan
komponen utama dalam perencanaan. Munandar (2001:1), mengungkapkan pengertian
anggaran adalah sebagai berikut: “Suatu rencana yang disusun secara sistematis
yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan, yang dinyatakan dalam unit
(kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan
datang”. Menurut Mulyadi 1993 dalam Nurcahyani 2010, anggaran disusun oleh
manajemen dalam jangka waktu satu tahun untuk membawa perusahaan ke kondisi
tertentu yang diperhitungkan. Dengan anggaran, manajemen mengarahkan jalannya
kondisi perusahaan. Tanpa anggaran, dalam jangka pendek perusahaan akan
berjalan tanpa arah, dengan pengorbanan sumber daya yang tidak terkendali.
Sebelum anggaran
disiapkan, organisasi seharusnya mengembangkan suatu rencana strategis. Rencana
strategis mengidentifikasi strategi-strategi untuk aktivitas dan operasi di
masa depan, umumnya mencakup setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Organisasi dapat menerjemahkan strategi umum ke dalam tujuan jangka panjang dan
jangka pendek. Tujuan-tujuan ini membentuk anggaran dasar. Hubungan erat antara
anggaran dan rencana strategis membantu manajemen untuk memastikan bahwa semua
perhatian tidak terfokus pada operasional jangka pendek. Hal ini penting karena
anggaran, sebagai rencana satu periode, memiliki sifat untuk jangka pendek
(Hansen dan Mowen, 2004:1).
Sistem anggaran
memberikan beberapa kelebihan untuk suatu organisasi. Menurut Hansen dan Mowen
(2004:1), kelebihan dari sistem anggaran diantaranya anggaran mendorong para
manajer untuk mengembangkan arahan umum bagi organisasi, mengantisipasi
masalah, dan mengembangkan kebijakan untuk masa depan. Kelebihan lain anggaran
adalah dapat memperbaiki pembuatan keputusan. Anggaran juga memberikan standar
yang dapat mengendalikan penggunaan berbagai sumber daya organisasi dan
memotivasi karyawan. Selain itu, anggaran dapat membantu komunikasi dan
koordinasi. Anggaran secara formal mengkomunikasikan rencana organisasi pada
tiap pegawai. Jadi, semua pegawai dapat menyadari peranannya dalam pencapaian
tujuan tersebut. Oleh karena anggaran untuk berbagai area dan aktivitas
organisasi harus bekerja bersama untuk mencapai tujuan organisasi, maka
dibutuhkan adanya koordinasi. Peranan komunikasi dan koordinasi menjadi semakin
penting seiring dengan meningkatnya ukuran organisasi.
Anggaran digunakan
sebagai pedoman kerja sehingga proses penyusunannya memerlukan organisasi
anggaran yang baik, pendekatan yang tepat, serta model-model perhitungan
besaran (simulasi) anggaran yang mampu meningkatkan kinerja pada seluruh
jajaran manajemen dalam organisasi. Proses penyusunan anggaran, dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan yaitutopdown, bottom up dan
partisipasi (Ramadhani dan Nasution, 2009).
Dalam sistem
penganggaran top-down, rencana dan jumlah anggaran telah ditetapkan
oleh atasan/pemegang kuasa anggaran sehingga bawahan/pelaksana anggaran hanya
melakukan apa yang telah ditetapkan oleh atasan/pemegang kuasa
anggaran. Penerapan sistem ini mengakibatkan kinerja bawahan/pelaksana
anggaran menjadi tidak efektif karena target yang diberikan terlalu menuntut
namun sumber daya yang diberikan tidak mencukupi (overloaded). Atasan/pemegang
kuasa anggaran kurang mengetahui potensi dan hambatan yang dimiliki
oleh bawahan/pelaksana anggaran sehingga memberikan target yang sangat menuntut
dibandingkan dengan kemampuan bawahan/pelaksana anggaran. Oleh karena itu,
entitas mulai menerapkan system penganggaran yang dapat menanggulangi masalah
di atas yakni sistem penganggaran partisipatif (participative budgeting).
Melalui sistem ini, bawahan/pelaksana anggaran dilibatkan dalam penyusunan
anggaran yang menyangkut subbagiannya sehingga tercapai kesepakatan antara
atasan/pemegang kuasa anggaran dan bawahan/pelaksana anggaran mengenai anggaran
tersebut (Omposunggu dan Bawono, 2007).
Penganggaran
partisipatif (participative budgeting) merupakan pendekatan penganggaran
yang berfokus pada upaya untuk meningkatkan motivasi karyawan untuk mencapai
tujuan organisasi. Konsep penganggaran ini sudah berkembang pesat dalam sektor
swasta (bisnis), namun tidak demikian halnya pada sektor publik. Dalam sektor publik,
penganggaran partisipatif belum mempunyai system yang mapan sehingga
penerapannya pun belum optimal.
Anggaran merupakan
rencana tindakan-tindakan pada masa yang akan datang untuk mencapai tujuan
organisasi. Pada organisasi sektor swasta (bisnis), tujuan dimaksud adalah
mencari laba (profit oriented), sementara pada organisasi sektor
publik/non-bisnis tidak (nonprofit oriented). Oleh karena tujuannya berbeda,
maka rencana kerja yang disusun juga berbeda. Dengan demikian, pendekatan dalam
penyusunan anggaran di kedua jenis organisasi juga berbeda.
Menurut Mardiasmo
(2004), anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial.
Proses pembuatan anggaran dalam sector publik merupakan tahapan yang cukup
rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi. Dalam organisasi sektor
publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Hal tersebut berbeda
dengan penganggaran pada sektor swasta yang relatif lebih kecil nuansa politisnya.
Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang
tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru
harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan, dan diberi
masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas
pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan
uang publik.
Lebih lanjut, Mardiasmo
(2004) mengemukakan bahwa anggaran memiliki fungsi sebagai alat penilaian
kinerja. Kinerja akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan
efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai berdasarkan
berapa yang berhasil dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Thompson (1967) dalam
Wiliams (1990) sebagaimana dikutip oleh Ahmad dan Fatima (2008)
mendorong para peneliti untuk memeriksa perilaku anggaran dalam organisasi
sektor publik. Perilaku anggaran mungkin dapat berbeda dalam organisasi sektor
publik dibandingkan dengan perilaku anggaran pada organisasi sektor swasta.
Williams (dikutip oleh Ahmad dan Fatima, 2008) menyatakan bahwa penelitian
mengenai hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial dalam sektor
publik adalah penting. Namun, literatur sampai saat ini, telah melalaikan
penelitian terkait hubungan partisipasi anggaran dan kinerja manajerial pada
organisasi sektor publik, khususnya di negara-negara berkembang.
Di Indonesia sendiri,
penelitian mengenai hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial
pada sektor swasta sudah banyak dilakukan diantaranya Supriyono (2004, 2005),
Sumarno (2005), Ghozali (2002, 2005), Slamet Riyadi (2000), Sardjito (2005).
Sedangkan penelitian terkait hubungan partisipasi anggaran dan kinerja
manajerial pada sektor publik (pemerintah daerah) masih terbatas misalnya
penelitian yang dilakukan Ompusunggu dan Bawono (2007). Penelitian-penelitian
tersebut menambah faktor-faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi hubungan
antara partisipasi anggaran dan kinerja.
Hal tersebut dilakukan
sebagai tindakan alternatif atas ketidakkonsistenan hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Nouri (dikutip oleh Supriyono,
2004) menyatakan bahwa pada awal-awal riset antara partisipasi anggaran dan
kinerja manajer menunjukkan bukti yang tidak meyakinkan (inconclusive)
dan seringkali bertentangan. Hasil riset tersebut ada yang menunjukkan asosiasi
negatif secara signifikan (Campell dan Gingrich, 1986; Ivancevich, 1977 dalam
Supriyono, 2004), positif secara signifikan (Brownell dan Mclnes, 1986; Chenhall
dan Brownell, 1988; Early, 1985; Milani, 1975; Steers, 1975 dalam Supriyono,
2004), negatif tidak signifikan (Dosett, Latam, dan Mitcell, 1979; Mia, 1988
dalam Supriyono, 2004), dan positif tidak signifikan (latham dan Marshall,
1982; Latham dan Yukl, 1976 dalam Supriyono, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh partisipasi anggaran dan komitmen organisasi terhadap kinerja
manajerial pada organisasi sektor publik. Penelitian ini dilakukan di Badan
Diklat Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini disusun dengan judul “Pengaruh
Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial melaluiKomitmen
Organisasi “.
Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu komponen
penting yang harus terpenuhi dalam menunjang sistem pendidikan. Menurut
Ketentuan Umum Permendiknas no. 24 tahun 2007, sarana adalah perlengkapan
pembelajaran yang dapat dipindah-pindah, sedangkan prasarana adalah fasilitas
dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah. Sarana pendidikan antara lain
gedung, ruang kelas, meja, kursi serta alat-alat media pembelajaran. Sedangkan
yang termasuk prasarana antara lain seperti halaman, taman, lapangan, jalan
menuju sekolah dan lain-lain. Tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk
proses belajar mengajar, maka komponen tersebur merupakan sarana pendidikan.
Menurut Rugaiyah (2011:63), Manajemen sarana dan prasarana
adalah kegiatan pengelolaan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh sekolah
dalam upaya menunjang seluruh kegiatan baik kegiatan pembelajaran maupun
kegiatan lain sehingga seluruh kegiatan berjalan dengan lancar. Menurut Asmani
(2012:15), manajemen sarana dan prasarana adalah manajemen sarana sekolah dan
sarana bagi pembelajaran, yang meliputi ketersediaan dan pemanfaatan sumber
belajar bagi guru, siswa serta penataan ruangan-ruangan yang dimiliki.
Ruang Lingkup Manajemen Sarana dan Prasarana
Manajemen sarana dan prasarana dapat diartikan sebagai kegiatan
menata, mulai dari perencanaan/analisis kebutuhan, pengadaan, inventarisasi,
pendistribusian, pemanfaatan, pemeliharaan, pemusnahan dan pertanggungjawaban
terhadap barang-barang bergerak dan tidak bergerak, perabot sekolah, alat-alat
belajar, dan lain-lain.
Dengan adanya kegiatan tersebut, perawatan terhadap sarana dan
prasarana dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga bisa
meningkatkan kinerja warga sekolah, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya
perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan prasarana.
Fungsi Manajemen Sarana dan Prasarana
a. Perencanaan/Analisis Kebutuhan
Perencanaan merupakan kegiatan analisis kebutuhan terhadap
segala kebutuhan dan perlengkapan
yang dibutuhkan sekolah untuk kegiatan pembelajaran peserta dan didik dan
kegiatan penunjang lainnya. Kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus selama
kegiatan sekolah berlangsung. Kegiatan ini biasa dilakukan pada awal tahun
pelajaran dan disempurnakan tiap triwulan atau tiap semester.
b. Pengadaan
Pengadaan adalah proses kegiatan mengadakan sarana dan prasarana
yang dapat dilakukan dengan cara-cara membeli, menyumbang, hibah dan lain-lain.
Pengadaan sarana dan prasarana dapat bebrbentuk
pengadaan buku, alat, perabot dan bangunan. Contohnya dapat dilihat pada bagan
berikut:
c. Penginvetarisasian
Penginvetarisasian adalah kegiatan melaksanakan penggunaan,
penyelenggaraan, pengaturan dan pencatatan barang-barang, menyusun daftar
barang yang menjadi milik sekolah ke dalam satu daftar inventaris barang secara
teratur. Tujuannya adalah untuk menjaga dan menciptakan tertib administrasi
barang milik negara yang dipunyai suatu organisasi. Yang dimaksud dengan
inventaris adalah suatu dokumen berisi jenis dan julah barang yang ebrgerak
maupun yang tidak bergerak yang menjadi milik negara dibawah tanggung jawab
sekolah.
d. Penggunaan
atau Pemanfaatan Sarana dan Prasarana
Penggunaan sarana dan prasarana adalah pemanfaatan segala jenis
barang yang sesuai dengan kebutuhan secara efektif dan efisien. Dalam hal
pemanfaatan sarana, harus mempertimbangkan hal berikut:
1) Tujuan yang akan dicapai
2) Kesesuaian antar media yang akan
digunakan dengan materi yang akan dibahas
3) Tersedianya sarana dan prasarana
penunjang
4) Karakteristik siswa
e. Pemeliharaan
Pemeliharaan adalah kegiatan merawat, memelihara dan menyimpan
barang-barang sesuai dengan bentuk-bentuk jenis barangnya sehingga barang
tersebut awet dan tahan lama. Pihak yang terlibat dalam pemeliharaan barang
adalah semua warga sekolah yang terlibat dalam pemanfaatan barang tersebut.
Dalam pemeliharaan, ada hal-hal khusus yang harus dilakukan oleh petugas khusus
pula, seperti perawatan alat kesenian (piano, gitar, dan lain-lain).
f. Penghapusan
Penghapusan barang inventaris adalah pelepasan suatu barang dari
kepemilikan dan tanggung jawab pengurusnya oleh pemerintah ataupun swasta.
Penghapusan barang dapat dilakukan dengan lelang dan pemusnahan.
Adapun syarat-syarat penghapusan:
1) Barang-barang dala keadaan rusak berat
2) Perbaikan suatu barang memerlukan
biaya besar
3) Secara teknis dan ekonomis kegunaannya
tidak sesuai lagi dengan biaya pemeliharaan
g. Pertanggungjawaban
Penggunaan barang-barang sekolah harus dipertanggungjawabkan
dengan cara membuat laporan penggunaan barang-barang tersebut yang diajukan
pada pimpinan.
Adanya Visi, misi, tujuan,
dan program
Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan
ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Visi adalah pernyataan yang
diucapkan atau ditulis hari ini, yang merupakan proses manajemen saat ini yang
menjangkau masa yang akan datang (Akdon, 2006:94).
Hax dan Majluf dalam Akdon (2006:95) menyatakan bahwa visi adalah
pernyataan yang merupakan sarana untuk:
1. Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan
tugas pokok.
2. Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders
(sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait).
3. Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan
perkembangan.
Pernyataan visi, baik yang tertulis atau diucapkan perlu ditafsirkan dengan
baik, tidak mengandung multi makna sehingga dapat menjadi acuan yang
mempersatukan semua pihak dalam sebuah organisasi (sekolah).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
merumuskan sebuah visi menurut Bryson (2001:213) antara lain:
1. Visi harus dapat memberikan panduan/arahan dan motivasi.
2. Visi harus desebarkan di kalangan anggota organisasi (stakeholder)
3. Visi harus digunakan untuk menyebarluaskan keputusan dan tindakan
organisasi yang penting.
Menurut Akdon (2006:96), terdapaat beberapa kriteri
dalam merumuskan visi, antara lain:
1) Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang
ingin diwujudkan.
2) Visi dapat memberikan arahan, mendorong anggota organisasi untuk
menunjukkan kinerja yang baik.
3) Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan
4) Menjembatani masa kini dan masa yang akan datang.
5) Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.
6) Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, rumusan visi sekoalah yang baik
seharusnya memberikan isyarat:
1) Visi sekolah berorientasi ke masa depan, untuk jangka waktu yang lama.
2) Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan
norma dan harapan masyarakat.
3) Visi sekolah harus mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang
ingin dicapai.
4) Visi sekolah harus mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya
inspirasi, semangat dan komitmen bagi stakeholder.
5) Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan
sekolah ke arah yang lebih baik.
6) Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.
7) Dalam merumuskan visi harus disertai indikator pencapaian visi.
Pengertian Misi
Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi
pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang (Akdon, 2006: 97). Pernyataan
misi mencerminkan tentang penjelasan produk atau pelayanan yang ditawarkan.
Pernyataan misi harus:
1. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh
organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan.
2. Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
3. Mengundang partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang
itama yang digeluti organisasi (Akdon, 2006:98).
Merumuskan Misi Sekolah
Misi merupakan tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Jadi misi
merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan
tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi
adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan
berbagai indikatornya.
Ada beberapa kriteria dalam pembuatan misi, antara lain:
1) Penjelasan tentang produk atau pelayanan yang ditawarkan yang sangat
diperlukan oleh masyarakat.
2) Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.
3) Kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang
meyakinkan masyarakat.
4) Penjelasan aspirasi bisinis yang diinginkan pada masa mendatang juga
bermanfaat dan keuntungannya bagi masyarakat dengan produk dan pelayanan yang
tersedia (Akdon, 2006:99).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan misi sekolah antara
lain:
1. Pernyataan misi sekolah harus menunjukkan secara jelas mengenai apa yang
hendak dicapai oleh sekolah.
2. Rumusan misi sekolah selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan
“tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada
rumusan visi.
3. Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi.
Antara indikator visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat
benang merahnya secara jelas.
4. Misi sekolah menggambarkan tentang produk atau pelayanan yang akan
diberikan pada masyarakat (siswa)
5. Kualitas produk atau layanan yang ditawarkan harus memiliki daya saing
yang tinggi, namun disesuaikan dengan kondisi sekolah.
Pengertian dan Merumuskan Tujuan dan Program
a. Tujuan (Goals)
Tujuan merupakan penjabaran dari pernyataan misi, tujuan adalah sesuatu
yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Penetapan tujuan pada umumnya didasarkan pada faktor-faktor kunci keberhasilan
yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan tidak harus dinyatakan
dalam bentuk kuantitatif, akan tetapi harus dapat menunjukkan kondisi yang
ingin dicapaidi masa mendatang (Akdon, 2006:143). Tujuan akan mengarahkan
perumusan sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan dalam rangka
merealisasikan misi, oleh karena itu tujuan harus dapat menyediakan dasar yang
kuat untuk menetapkan indikator.
Pencapaian tujuan dapat dijadikan indikator untuk menilai kinerja sebuah
organisasi. Beberapa kriteria tujuan antara lain:
1. Tujuan harus serasi dan mengklarifikasikan misi, visi dan nilai-nilai
organisasi.
2. Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi,
program dan sub program organisasi.
3. Tujuan cenderung untuk esensial tidak berubah, kecuali terjadi
pergeseran lingkungan, atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan.
4. Tujuan biasanya secara re;atif berjangka panjang
5. Tujuan menggambarkan hasil program
6. Tujuan menggambarkan arahan yang jelas dari organisasi.
7. Tujuan harus menantang, namun realistik dan dapat dicapai.
Pengertian Program
Program merupakan implementasi dari visi, misi dan tujuan. Program yang dimaksudkan
dalam makalah ini adalah program operasional. Program operasional didefinisikan
sebagai kumpulan kegiatan yang dihimpun dalam satu kelompok yang sama secara
sendiri-sndiri atau bersama-sama untuk mencapai tujuan dan sasaran (Kdon,
2006:135). Program merupakan kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu,
dilaksanakan oleh satu instansi pemerintah atau lebih ataupun dalam rangka
kerja sama dengan masyarakat atau yang merupakan partisipasi aktif masyarakat
guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Wujud nyata sebuah organisasi adalah adanya program operasional yang akan
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Beberapa ciri-ciri program operasional
adalah:
1) Program kerja operasional didasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran
dan kebijakan yang telah ditetapkan.
2) Program kerja operasional pada dasarnya merupakan upaya untuk
implementasi strategi organisasi.
3) Program kerja operasional merupakan proses penentuan jumlah dan jenis
sumber daya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan satu rencana.
4) Program operasional merupakan penjabaran riil tentang langkah-langkah
yang diambil untuk menjabarkan kebijakan.
5) Program operasional dapat bersifat jangka panjang dan menengah, atau
bersifat tahunan.
6) Program kerja operasional tidak terlepas dari kebijakan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Strategi ( Strategy)
Menurut Pearce dan Robinson (1997, p. 20) Strategi adalah ‘rencana main’ suatu perusahaan. Strategi mencerminkan kesadaran perusahaan mengenai bagaimana, kapan dan di mana ia harus bersaing menghadapi lawan dan dengan maksud dan tujuan untuk apa.
Menurut Lynch seperti yang dikutip oleh Wibisono (2006, p. 50-51), strategi perusahaan merupakan pola atau rencana yang mengintegrasikan tujuan utama atau kebijakan perusahaan dengan rangkaian tindakan dalam sebuah pernyataan yang saling mengikat. Strategi perusahaan biasanya berkaitan dengan prinsip-prinsip secara umum untuk mencapai misi yang dicanangkan perusahaan, serta bagaimana perusahaan memilih jalur yang spesifik untuk mencapai misi tersebut.
Anthony dan Govindarajan (1995) juga menambahkan bahwa perencanaan strategik merupakan suatu proses manajemen yang sistematis yang didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan atas program-program yang akan dilaksanakan oleh organisasi dan perkiraan sumber daya yang akan dialokasikan dalam setiap program selama beberapa tahun mendatang (dalam Prasetyo dan Gomies, 2004, p. 8). Hasil keluaran dari proses tersebut adalah rencana atau keputusan strategi.
Menurut Morrisey (1995:45), strategi adalah proses untuk menentukan arah yang harus dituju oleh perusahaan agar misinya tercapai dan sebagai daya dorong yang akan membantu perusahaan dalam menentukan produk, jasa, dan pasarnya di masa depan. Dalam menjalankan aktifitas operasional setiap hari di perusahaan, para pemimpin dan manajer puncak selalu merasa bingung dalam memilih dan menentukan strategi yang tepat karena keadaan yang terus menerus berubah.
Akibatnya, para pemimpin dan manajer puncak sering melakukan kesalahan yang pastinya berdampak negatif bagi perusahaan. Strategi perusahaan merupakan suatu wilayah kajian yang selalu menarik untuk dicermati. Terdapat dua aliran besar yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan strategi perusahaan yaitu :
1. Strategi-strategi utama (grand strategies) merupakan seperangkat alternatif strategi perusahaan yang secara umum dijadikan patokan dalam menentukan strategi yang akan diambil oleh suatu perusahaan.
2. Strategi-strategi generik (generic strategies) misalnya Porter’s generic strategies.
Hubungan Antara Perumusan Visi dan Strategi Perusahaan
Setelah visi dirumuskan maka seluruh strategi perusahaan harus mengacu pada visi tersebut dan tidak boleh dibalik, strategi dulu yang disusun duluan baru visi belakangan. Sebab hal ini di khawatirkan strategi tidak akan efektif karenakomitmen dan arah tujuan seluruh orang dalam perusahaan berbeda dan terkotak-kotak dalam functional structure. Dalam mengkomunikasikan visi peranleadership sangat menentukan. Menurut Davidson (1995:75), peran leadership dalam mengkomunikasikan visi dapat melalui :
1. Education (menumbuhkan pemahaman terhadap visi).
2. Authentication (menumbuhkan keyakinan kepada semua pihak bahwa “kata sesuai dengan perbuatan”).
3. Motivation (menumbuhkan kemauan dari dalam diri pegawai – self motivated workforce – untuk berperilaku sesuai dengan tujuan perusahaan).
Davidson (1995:76) menambahkan ada 7 elemen kunci yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi visi (effective communication of vision) antara lain :
1. Simplicity (visi sebaiknya dituliskan secara sederhana sehingga mudah dikomunikasikan kepada semua orang baik secara internal maupun eksternal perusahaan).
2. Metaphor, analogy and example (visi dapat secara sederhana dituliskan melalui kata-kata yang bersifat kiasan, analogi dan contoh agar visi dapat lebih mudah dikomunikasikan).
3. Multiple forum (mengkomunikasikan visi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dapat melalui rapat besar, memo, surat kabar, poster dan pembicaraan informal lainnya).
4. Repetition (visi akan dapat meresap dan dipahami secara mendalam biasanya setelah para pegawai mendengar visi tersebut berkali-kali).
5. Leadership by example (mengkomunikasikan visi akan lebih efektif jika dilakukan dengan adanya kesamaan antara perkataan dan perilaku atasan).
6. Explanation of seeming inconsistencies (jika ternyata terdapat inkonsistensi seperti pada butir 5, maka manajemen harus segera memberikan penjelasan kepada seluruh pegawai secara sederhana dan jujur untuk menghindari berkurangnya kepercayaan pegawai pada manajemen).
7. Give and take (mengkomunikasikan visi akan lebih efektif apabila penyampaiannya dilakukan dua arah).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar