Oleh : Farichin
Fabel dengan judul "Tak Ada yang Patut Disesali" merupakan sebuah fabel karakter. Karakter yang paling kuat muncul dalam fabel ini adalah rasa syukur atas segala karunia yang telah Tuhan berikan. Tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu fabel ini mengajarkan kita untuk bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan.
i sebuah
dahan beringin, seekor gagak tengah berdiam diri di balik rimbunnya daun.
Matanya sayu dengan sorot kesedihan. Tatapannya lurus pada ranting pohon mahoni
tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Sepasang merpati tengah asyik bercanda di situ. Bulu abu-abu kebiruan
tampak berkilau terkena sinar matahari pagi. Kepalanya yang mungil terus
bergerak membuat bulu-bulu di lehernya tampak berkilauan. Sementara sang jantan
dengan setianya menemani betinanya. Keserasian hidup yang membahagiakan.
Tanpa sadar gagak menitikkan air mata. Ia menyesali nasibnya yang dirasakan
menyedihkan. Bagaimana tidak, tampilannya hitam legam tak seperti merpati dengan
bulu halus dan berkilauan. Lagi pula dia juga hidup sendiri. Rasanya tak ada
yang mau menjadi teman hidupnya.
Tak kuat menahan kesedihan, gagak terbang meninggalkan burung merpati. Dia
tak mau berlama-lama menyaksikan kejadian yang membuat iri hati. Lagi pula
semakin lama dia di sana mengamati merpati akan semakin membuat penyesalan
diri. Dia tidak mau kesedihannya diketahui oleh makhluk lain.
Cukup jauh gagak terbang menjauh dari merpati. Dia hinggap di sebuah
ranting sebuah pohon yang tumbuh di pinggir danau. “Ah, di sini rasanya tempat
yang cocok. Aku tak perlu melihat kelebihan burung-burung lain. Sangat menyakitkan”
bisik hati Gagak.
Belum lama Gagak bertengger, tiba-tiba lewat seekor angsa di tengah danau.
Tubuhnya besar dan kekar. Bulunya yang putih bersih sangat anggun dan indah
sekali. Paruhnya yang kuning tampak serasi berpadu dengan putihnya bulu-bulu yang
begitu indah. “Betapa indahnya angsa ini” bisik hati Gagak.
Gagak bersiap untuk terbang. Ia tidak ingin hatinya kembali sedih melihat
keindahan dan kebahagian angsa. Namun belum sempat dia terbang, angsa terlanjur
melihat.
“Hai, Gagak. Sedang apa sendirian di situ? Mari ke sini. Kita
ngobrol-ngobrol” sapa angsa ramah.
Gagak bertemu dengan angsa yang indah
Mendengar sapaan angsa. Gagak dengan terpaksa turun menghampiri angsa di
pinggir danau. Dia tidak ingin dicap sebagai burung buruk rupa yang sombong,
angkuh, dan tak tahu diri. Mereka ngobrol bertanya kabar masing-masing. Sampai
pada suatu saat Gagak tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Kenapa tiba-tiba kau tampak murung, Gagak?” tanya angsa penuh perhatian.
“Ah, tak apa-apa,” jawab Gagak singkat.
“Kalau kau mau berbagi kesedihan denganku, aku siap kok mendengarkan. Siapa
tahu dapat mengurangi beban kesedihanmu itu” ucap angsa tulus.
“E.... sebenarnya aku iri padamu Angsa,”
“Iri? Padaku? Apa yang kau irikan dari aku Gagak. Ada-ada saja kamu?” kata Angsa
sambil tersenyum ramah. Tak sedikitpun ada rasa kesal mendengar pengakuan
Gagak.
“Coba kau perhatikan aku. Aku hitam, kotor, dan suaraku juga keras
menakutkan,” kata Gagak sambil menunjuk pada diri sendiri.
Angsa mengamati Gagak dengan seksama. Tapi tak dilihatnya ada kekurangan
yang pantas dijadikan alasan untuk bersedih.
“Menurutku kamu tidak seburuk yang kamu ucapkan,” kata Angsa.
“Tidak buruk bagaimana? Lihat dirimu. Bulumu putih, bersih, dan kekar.
Jalanmu juga terlihat anggun,” jelas Gagak.
“Kalau fisik yang kau jadikan patokan, seharusnya aku juga iri pada Merak,”
“Merak?”
“Ya, Merak,” jelas Angsa.
“Seperti apa dia?” tanya Gagak penasaran.
“Sulit untuk digambarkan. Kalau kau melihat dia pasti engkau akan
terkagum-kagum. Dulu aku juga pernah iri terhadapnya, tapi setelah aku
pikir-pikir, buat apa aku iri,” jelas Angsa.
“Di mana aku bisa bertemu dengan Merak yang kau ceritakan?” tanya Gagak
penasaran.
“Kau bisa menemuinya di Kebun Binatang tak jauh dari hutan ini,” jelas Angsa.
Gagak kemudian berpamitan. Tekadnya bulat untuk melihat Merak. Dia ingin
memastikan bahwa merak itu burung terindah yang pasti kehidupannya sempurna.
Tak berapa lama berselang, tibalah Gagak di kandang Merak. Dari atas
ranting pohon yang tumbuh tak jauh dari kandang Merak, dia mengamati Merak yang
sangat indah. Tubuhnya besar dan gagah. Yang lebih menakjubkan lagi adalah
ekornya dapat dikembangkan seperti sebuah kipas. Saat dikembangkan, wow....
tampaklah corak dan pola yang sangat indah. Hijau kebiruan dengan pola
bulat-bulat menyerupai mata. Dan pola bulat-bulat itu terlihat berkilauan
seperti permata yang tersusun rapi.
Gagak ingin sekali melihatnya lebih dekat. Namun banyak orang yang berada
di sekitarnya. Mereka mengagumi keindahan merak. Ada yang mengambil foto ada
pula yang berdecak kagum.
Lama Gagak menunggu waktu yang tepat untuk berbincang dengan Merak. Setelah
agak sepi, Gagak memberanikan diri menghampiri merak.
Gagak menemui merak
“Selamat siang Merak,” sapa Gagak.
“Selamat siang. Eh, Gagak. Ada apa? Tumben kamu main ke sini?” tanya Merak
ramah. Tampak dari wajahnya terlihat kelelahan. Namun dia berusaha untuk
berlaku ramah.
“Eh, Merak boleh aku tanya sesuatu?” tanya Gagak setelah berbasa-basi
sekadarnya.
“Boleh. Mau tanya apa?”
“Bagaimana rasanya memiliki bulu seindah bulu itu? Pasti rasanya senang....
sekali. Engkau dipuji dan dipuja seluruh makhluk. Bahkan manusia pun rela
datang ke sini hanya untuk melihat keindahanmu itu,” kata Gagak dengan mata
berbinar seolah dia telah memiliki keindahan
bulu seperti merak.
Merak terdiam. Pandangannya jauh menatap ke luar kandang tempat tinggalnya.
“Merak, kenapa diam?” suara Gagak mengagetkan.
“Eh, iya. Maaf. Aku bingung harus berkata apa. Kalau dibilang senang, aku
senang. Keindahanku banyak dikagumi orang. Tapi keindahnku tersebut membuat aku
lelah. Orang-orang itu menginginkan aku terus menari di depan mereka. Engkau
tahu, seharian menari membuat tubuhku capek sekali,” terang Merak.
“Tapi capek yang membahagiakan kan? Memiliki Keindahan bulu seperti tubuhmu
yang tiada duanya itu pasti menyenangkan”
kata Gagak lagi.
“Kalau keindahan bulu menjadi satu patokan kebahagiaan, seharusnya aku iri
pada cenderawasih. Dialah yang sepantasnya hidup paling bahagia,” terang Merak.
“Cenderawasih?” tanya Gagak penasaran.
“Ya, Cenderawasih. Engkau kenal dia?” tanya Merak lagi.
“Tidak. Tapi aku pernah mendengar cerita tentang dia, tentang keindahan
bulu-bulunya, tentang kecantikan rupanya dan lain-lain. Tapi setelah aku
melihat kamu, aku pikir kamulah yang paling cantik,” kata Gagak masih dengan
kekaguman kepada Merak.
“Kamu salah Gagak. Ada yang lebih cantik lagi dibandingkan aku. Dialah
cenderwasih,”jelas Merak.
“Benarkah?”
“Benar,” kata Merak mantap.
“Di mana aku bisa menemuinya?”
“Kebetulan dia juga tinggal di kebun binatang ini. Cobalah kau terbang ke
arah timur. Di sana engkau akan menjumpai kandang cenderwasih.
Gagak kembali terbang. Hatinya dipenuhi rasa penasaran untuk melihat
keindahan Cenderawasih yang diceritakan Merak. Tak lama kemudian, dia bertemu
dengan sebuah kandang yang terbuat dari kawat besar.
Di dalam kandang tampak seekor burung yang sangat cantik. Betul kata Merak,
dia lebih cantik. Tubuhnya tidak terlalu besar memang. Tapi bulu-bulunya yang
halus dan panjang dengan warna coklat kemerahan dan kuning keemasan. Pantas
sekali kalau dia dijuluki sebagai burung surga.
Gagak masih terus asyik menatap keindahan cenderawasih. Rasanya dia semakin
yakin bahwa dia adalah burung dengan nasib terburuk. “Rasanya malu sekali
melihat diri ini” bisik hatinya.
“Ya Tuhan, mengapa Engkau ciptakan aku dalam keadaan serupa ini? Apakah ini
adil?” Gagak menangis histeris. Suaranya terdengar sampai ke telinga
Cenderawasih.
Gagak bertemu dengan Cenderawasih
Cenderawasih menghampiri Gagak dari balik kandangnya.
“Hai, bukankah engkau Gagak?” Tanya Cenderawasih.
Gagak kaget mendengar suara Cenderawasih yang nyaring itu. Dia heran,
mengapa burung seindah Cenderawasih mengenal dirinya yang begitu buruk.
“Ya, betul.” Jawab Gagak gugup. “Kamu kenal aku?” tanya Gagak ragu.
“Ya. Semua burung yang ada di kebun binatang ini kenal kamu.” Jelas
Cenderawasih.
“Ah, masak?” tanya Gagak tak percaya.
“Betul. Buat apa aku bohong,” kata Cenderawasih meyakinkan.
“Aku tak percaya, burung seindah dirimu mengenal aku yang buruk rupa,” kata
Gagak pelan.
“Kata siapa kamu buruk?” Cenderawasih balik bertanya.
“Tidak ada sih. Tapi aku sadar diri. Lihat tubuhku yang hitam legam dan
terlihat kusam dan kotor. Suaraku juga keras memekakkan telinga,” ucap Gagak
sedih. “Bahkan orang-orang akan takut jika aku berada di sekitar mereka,”
lanjut Gagak lagi.
“Itulah Gagak. Mengapa kami yang tinggal di kebun binatang ini mengenalmu?”
“Karena penampilanku kan?”
“Bukan. Cobalah engkau berpikir positif dari keadaan dirimu itu. Semua
orang takut jika engkau dekati. Dengan demikian, engkau menjadi burung paling
bebas di muka bumi ini. Engkau tak perlu khawatir akan keselamatanmu dan anak
keturunanmu. Tidak seperti kami,” jelas Cenderawasih.
“Tapi aku tak punya keindahan bulu seperti kalian,” kata Gagak.
“Buat apa memiliki bulu yang indah kalau kita hidup terkungkung. Kamu lihat
aku sekarang, Gagak. Keindahan buluku menjadikan aku hidup dalam kandang yang
sempit. Lebih parah lagi, saudara-saudaraku yang masih hidup di hutan juga
harus terus bertarung nyawa dengan kejaran para pemburu. Mereka menginginkan bulu-bulu
kami tanpa pernah memikirkan kehidupan kami. Hanya demi kesenangan, mereka
membantai kami untuk dijadikan topi atau hiasan kepala” Cenderawasih menitikan
air mata.
“Begitukah?”
“Ya. Seharusnya kamu bersyukur dengan keadaanmu seperti sekarang ini. Tidak
ada yang ingin lahir buruk. Tidak pula aku ingin dilahirkan dalam keadaan
diburu orang. Kalau aku boleh memilih, aku ingin menjadi seperti kamu, Gagak.
Hidup bebas, terbang kemana aku suka. Dan keluargaku aman dari perburuan orang
yang tak bertanggung jawab”
Gagak tersadar. Ternyata apa yang dilihat orang tidaklah seperti apa yang
dipikirkan kita. Kebahagiaan yang kita lihat ternyata tidak selalu benar
adanya. Bersyukur atas apa yang terjadi ternyata akan menjadi lebih
membahagiakan.
Ternyata tidak ada makhluk yang sempurna. Pun dengan dirinya. Makhluk lain
memiliki kelebihan, Gagak pun memiliki kelebihan. Yang lain memiliki
kekurangan, dia pun memiliki kekurangan. Namun kelebihan dan kekurangan setiap
makhluk tidaklah sama.