Selasa, 23 Juni 2020

Fabel Pembangun Karakter: TAK ADA YANG PATUT DISESALI


 Oleh : Farichin


Fabel dengan judul "Tak Ada yang Patut Disesali" merupakan sebuah fabel karakter. Karakter yang paling kuat muncul dalam fabel ini adalah rasa syukur atas segala karunia yang telah Tuhan berikan. Tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu fabel ini mengajarkan kita untuk bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan.

D

i sebuah dahan beringin, seekor gagak tengah berdiam diri di balik rimbunnya daun. Matanya sayu dengan sorot kesedihan. Tatapannya lurus pada ranting pohon mahoni tak jauh dari tempatnya bersembunyi.

Sepasang merpati tengah asyik bercanda di situ. Bulu abu-abu kebiruan tampak berkilau terkena sinar matahari pagi. Kepalanya yang mungil terus bergerak membuat bulu-bulu di lehernya tampak berkilauan. Sementara sang jantan dengan setianya menemani betinanya. Keserasian hidup yang membahagiakan.

Tanpa sadar gagak menitikkan air mata. Ia menyesali nasibnya yang dirasakan menyedihkan. Bagaimana tidak, tampilannya hitam legam tak seperti merpati dengan bulu halus dan berkilauan. Lagi pula dia juga hidup sendiri. Rasanya tak ada yang mau menjadi teman hidupnya.

Tak kuat menahan kesedihan, gagak terbang meninggalkan burung merpati. Dia tak mau berlama-lama menyaksikan kejadian yang membuat iri hati. Lagi pula semakin lama dia di sana mengamati merpati akan semakin membuat penyesalan diri. Dia tidak mau kesedihannya diketahui oleh makhluk lain.

Cukup jauh gagak terbang menjauh dari merpati. Dia hinggap di sebuah ranting sebuah pohon yang tumbuh di pinggir danau. “Ah, di sini rasanya tempat yang cocok. Aku tak perlu melihat kelebihan burung-burung lain. Sangat menyakitkan” bisik hati Gagak.

Belum lama Gagak bertengger, tiba-tiba lewat seekor angsa di tengah danau. Tubuhnya besar dan kekar. Bulunya yang putih bersih sangat anggun dan indah sekali. Paruhnya yang kuning tampak serasi berpadu dengan putihnya bulu-bulu yang begitu indah. “Betapa indahnya angsa ini” bisik hati Gagak.

Gagak bersiap untuk terbang. Ia tidak ingin hatinya kembali sedih melihat keindahan dan kebahagian angsa. Namun belum sempat dia terbang, angsa terlanjur melihat.

“Hai, Gagak. Sedang apa sendirian di situ? Mari ke sini. Kita ngobrol-ngobrol” sapa angsa ramah.

Gagak bertemu dengan angsa yang indah

 

 

Mendengar sapaan angsa. Gagak dengan terpaksa turun menghampiri angsa di pinggir danau. Dia tidak ingin dicap sebagai burung buruk rupa yang sombong, angkuh, dan tak tahu diri. Mereka ngobrol bertanya kabar masing-masing. Sampai pada suatu saat Gagak tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

“Kenapa tiba-tiba kau tampak murung, Gagak?” tanya angsa penuh perhatian.

“Ah, tak apa-apa,” jawab Gagak singkat.

“Kalau kau mau berbagi kesedihan denganku, aku siap kok mendengarkan. Siapa tahu dapat mengurangi beban kesedihanmu itu” ucap angsa tulus.

“E.... sebenarnya aku iri padamu Angsa,”

“Iri? Padaku? Apa yang kau irikan dari aku Gagak. Ada-ada saja kamu?” kata Angsa sambil tersenyum ramah. Tak sedikitpun ada rasa kesal mendengar pengakuan Gagak.

“Coba kau perhatikan aku. Aku hitam, kotor, dan suaraku juga keras menakutkan,” kata Gagak sambil menunjuk pada diri sendiri.

Angsa mengamati Gagak dengan seksama. Tapi tak dilihatnya ada kekurangan yang pantas dijadikan alasan untuk bersedih.

“Menurutku kamu tidak seburuk yang kamu ucapkan,” kata Angsa.

“Tidak buruk bagaimana? Lihat dirimu. Bulumu putih, bersih, dan kekar. Jalanmu juga terlihat anggun,” jelas Gagak.

“Kalau fisik yang kau jadikan patokan, seharusnya aku juga iri pada Merak,”

“Merak?”

“Ya, Merak,” jelas Angsa.

“Seperti apa dia?” tanya Gagak penasaran.

“Sulit untuk digambarkan. Kalau kau melihat dia pasti engkau akan terkagum-kagum. Dulu aku juga pernah iri terhadapnya, tapi setelah aku pikir-pikir, buat apa aku iri,” jelas Angsa.

“Di mana aku bisa bertemu dengan Merak yang kau ceritakan?” tanya Gagak penasaran.

“Kau bisa menemuinya di Kebun Binatang tak jauh dari hutan ini,” jelas Angsa.

Gagak kemudian berpamitan. Tekadnya bulat untuk melihat Merak. Dia ingin memastikan bahwa merak itu burung terindah yang pasti kehidupannya sempurna.

Tak berapa lama berselang, tibalah Gagak di kandang Merak. Dari atas ranting pohon yang tumbuh tak jauh dari kandang Merak, dia mengamati Merak yang sangat indah. Tubuhnya besar dan gagah. Yang lebih menakjubkan lagi adalah ekornya dapat dikembangkan seperti sebuah kipas. Saat dikembangkan, wow.... tampaklah corak dan pola yang sangat indah. Hijau kebiruan dengan pola bulat-bulat menyerupai mata. Dan pola bulat-bulat itu terlihat berkilauan seperti permata yang tersusun rapi.

Gagak ingin sekali melihatnya lebih dekat. Namun banyak orang yang berada di sekitarnya. Mereka mengagumi keindahan merak. Ada yang mengambil foto ada pula yang berdecak kagum.

Lama Gagak menunggu waktu yang tepat untuk berbincang dengan Merak. Setelah agak sepi, Gagak memberanikan diri menghampiri merak.

Gagak menemui merak

 

“Selamat siang Merak,” sapa Gagak.

“Selamat siang. Eh, Gagak. Ada apa? Tumben kamu main ke sini?” tanya Merak ramah. Tampak dari wajahnya terlihat kelelahan. Namun dia berusaha untuk berlaku ramah.

“Eh, Merak boleh aku tanya sesuatu?” tanya Gagak setelah berbasa-basi sekadarnya.

“Boleh. Mau tanya apa?”

“Bagaimana rasanya memiliki bulu seindah bulu itu? Pasti rasanya senang.... sekali. Engkau dipuji dan dipuja seluruh makhluk. Bahkan manusia pun rela datang ke sini hanya untuk melihat keindahanmu itu,” kata Gagak dengan mata berbinar seolah dia telah memiliki keindahan  bulu seperti merak.

Merak terdiam. Pandangannya jauh menatap ke luar kandang tempat tinggalnya.

“Merak, kenapa diam?” suara Gagak mengagetkan.

“Eh, iya. Maaf. Aku bingung harus berkata apa. Kalau dibilang senang, aku senang. Keindahanku banyak dikagumi orang. Tapi keindahnku tersebut membuat aku lelah. Orang-orang itu menginginkan aku terus menari di depan mereka. Engkau tahu, seharian menari membuat tubuhku capek sekali,” terang Merak.

“Tapi capek yang membahagiakan kan? Memiliki Keindahan bulu seperti tubuhmu yang tiada duanya itu pasti menyenangkan”  kata Gagak lagi.

“Kalau keindahan bulu menjadi satu patokan kebahagiaan, seharusnya aku iri pada cenderawasih. Dialah yang sepantasnya hidup paling bahagia,” terang Merak.

“Cenderawasih?” tanya Gagak penasaran.

“Ya, Cenderawasih. Engkau kenal dia?” tanya Merak lagi.

“Tidak. Tapi aku pernah mendengar cerita tentang dia, tentang keindahan bulu-bulunya, tentang kecantikan rupanya dan lain-lain. Tapi setelah aku melihat kamu, aku pikir kamulah yang paling cantik,” kata Gagak masih dengan kekaguman kepada Merak.

“Kamu salah Gagak. Ada yang lebih cantik lagi dibandingkan aku. Dialah cenderwasih,”jelas Merak.

“Benarkah?”

“Benar,” kata Merak mantap.

“Di mana aku bisa menemuinya?”

“Kebetulan dia juga tinggal di kebun binatang ini. Cobalah kau terbang ke arah timur. Di sana engkau akan menjumpai kandang cenderwasih.

Gagak kembali terbang. Hatinya dipenuhi rasa penasaran untuk melihat keindahan Cenderawasih yang diceritakan Merak. Tak lama kemudian, dia bertemu dengan sebuah kandang yang terbuat dari kawat besar.

Di dalam kandang tampak seekor burung yang sangat cantik. Betul kata Merak, dia lebih cantik. Tubuhnya tidak terlalu besar memang. Tapi bulu-bulunya yang halus dan panjang dengan warna coklat kemerahan dan kuning keemasan. Pantas sekali kalau dia dijuluki sebagai burung surga.

Gagak masih terus asyik menatap keindahan cenderawasih. Rasanya dia semakin yakin bahwa dia adalah burung dengan nasib terburuk. “Rasanya malu sekali melihat diri ini” bisik hatinya.

“Ya Tuhan, mengapa Engkau ciptakan aku dalam keadaan serupa ini? Apakah ini adil?” Gagak menangis histeris. Suaranya terdengar sampai ke telinga Cenderawasih.

 

Gagak bertemu dengan Cenderawasih

Cenderawasih menghampiri Gagak dari balik kandangnya.

“Hai, bukankah engkau Gagak?” Tanya Cenderawasih.

Gagak kaget mendengar suara Cenderawasih yang nyaring itu. Dia heran, mengapa burung seindah Cenderawasih mengenal dirinya yang begitu buruk.

“Ya, betul.” Jawab Gagak gugup. “Kamu kenal aku?” tanya Gagak ragu.

“Ya. Semua burung yang ada di kebun binatang ini kenal kamu.” Jelas Cenderawasih.

“Ah, masak?” tanya Gagak tak percaya.

“Betul. Buat apa aku bohong,” kata Cenderawasih meyakinkan.

“Aku tak percaya, burung seindah dirimu mengenal aku yang buruk rupa,” kata Gagak pelan.

“Kata siapa kamu buruk?” Cenderawasih balik bertanya.

“Tidak ada sih. Tapi aku sadar diri. Lihat tubuhku yang hitam legam dan terlihat kusam dan kotor. Suaraku juga keras memekakkan telinga,” ucap Gagak sedih. “Bahkan orang-orang akan takut jika aku berada di sekitar mereka,” lanjut Gagak lagi.

“Itulah Gagak. Mengapa kami yang tinggal di kebun binatang ini mengenalmu?”

“Karena penampilanku kan?”

“Bukan. Cobalah engkau berpikir positif dari keadaan dirimu itu. Semua orang takut jika engkau dekati. Dengan demikian, engkau menjadi burung paling bebas di muka bumi ini. Engkau tak perlu khawatir akan keselamatanmu dan anak keturunanmu. Tidak seperti kami,” jelas Cenderawasih.

“Tapi aku tak punya keindahan bulu seperti kalian,” kata Gagak.

“Buat apa memiliki bulu yang indah kalau kita hidup terkungkung. Kamu lihat aku sekarang, Gagak. Keindahan buluku menjadikan aku hidup dalam kandang yang sempit. Lebih parah lagi, saudara-saudaraku yang masih hidup di hutan juga harus terus bertarung nyawa dengan kejaran para pemburu. Mereka menginginkan bulu-bulu kami tanpa pernah memikirkan kehidupan kami. Hanya demi kesenangan, mereka membantai kami untuk dijadikan topi atau hiasan kepala” Cenderawasih menitikan air mata.

“Begitukah?”

“Ya. Seharusnya kamu bersyukur dengan keadaanmu seperti sekarang ini. Tidak ada yang ingin lahir buruk. Tidak pula aku ingin dilahirkan dalam keadaan diburu orang. Kalau aku boleh memilih, aku ingin menjadi seperti kamu, Gagak. Hidup bebas, terbang kemana aku suka. Dan keluargaku aman dari perburuan orang yang tak bertanggung jawab”

Gagak tersadar. Ternyata apa yang dilihat orang tidaklah seperti apa yang dipikirkan kita. Kebahagiaan yang kita lihat ternyata tidak selalu benar adanya. Bersyukur atas apa yang terjadi ternyata akan menjadi lebih membahagiakan.

Ternyata tidak ada makhluk yang sempurna. Pun dengan dirinya. Makhluk lain memiliki kelebihan, Gagak pun memiliki kelebihan. Yang lain memiliki kekurangan, dia pun memiliki kekurangan. Namun kelebihan dan kekurangan setiap makhluk tidaklah sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar