|
Mengenang Ibundaku
tercinta. Terima kasih, engkau telah memberikan aku sesuatu yang berharga
untuk bisa mengerti dunia dan mensyukurinya. Beristirahatlah dengan tenang
Bunda. Doa-doa kami akan menemanimu setiap helaan nafas. Semoga. ( OLEH
: FARICHIN ) |
ak, aku tak tahu, apakah aku harus menangis atau tersenyum, melihat engkau terbujur dingin. Nyawa
yang selama ini mengaitkan engkau antara dunia fana dan hidup abadi, kini telah sirna. Tubuh kurusmu begitu
ringkih menahan beban hidup yang begitu menyakitkan. Tubuhmu akhirnya harus
merelakan nyawa satu-satunya yang engkau miliki kembali ke haribaan sang
khalik. Mak, mungkinkah
engkau merasa lega dengan jemputan malaikat maut yang baru saja engkau terima?
Kulihat engkau tersenyum begitu manisnya. Tak secuil pun gambar
kesakitan dan ketakutan tergores di pipimu yang keriput. Keikhlasan begitu
tergambar dari senyummu yang begitu damai menghadapi sang maut. Dan senyum itu tak pernah aku lihat sepanjang
engkau hidup bersamaku, Mak. Aku yakin engkau akan bertemu Tuhan dengan
pertemuan yang begitu syahdu. Yah, mungkin perjalanan abadimu kini lebih
berarti tinimbang terus menyaksikan hidup yang serba tak menentu.
Mak,
manakala kutatap wajahmu yang semakin dingin itu, ada rasa yang entah. Rasa
kosong dan hampa yang tiba-tiba menekan dada, nafas, dan otakku. Aku tak tahu,
Mak. Mengapa aku tidak menangis seperti layaknya orang-orang yang ditinggal
mati oleh kerabatnya. Aku hanya bisa terpaku bisu. Air mata terasa begitu
kering. Yang ada hanya duka diri kehilangan orang yang biasa diajak berbagi. Kehilangan orang yang sering
menyadarkan aku kala kekufuran menyergap diri.tapi, bukankah tangisku
juga tak kan mengubah apa yang telah terjadi. Aku tak ingin menyusahkanmu lagi
dengan isak tangis yang hanya basa-basi.
Masih terbayang jelas dalam benakku ,Mak
ketika kau tiba-tiba jatuh sakit. Disentri telah menyerangmu. Penyakit itu
memang penyakit kampungan kata orang-orang, tapi penyakit itu juga yang mampu
menjadi sarana engkau pergi untuk selamanya. Engkau kesakitan dengan sakit yang
teramat sangat. Aku tahu itu dari raut mukamu yang sulit dilukiskan, meskipun engkau berusaha untuk
menyembunyikan sakit itu dariku. Mak, engkau memang perempuan luar biasa. Tak
pernah sekalipun engkau mengatakan sakit
meskipun akhirnya engkau kalah oleh sakit itu. Engkau nikmati
semua derita yang menimpa dengan kenikmatan yang sebenarnya.
Maaf,
Mak. Kalau saat itu aku tak
dapat membawamu berobat ke dokter, tabib, atau dukun. Engkau pasti tahu betul
karena untuk berobat ke sana juga butuh biaya. Sementara penghasilanku dengan mengumpulkan
rongsokan tak pernah bisa lebih dari lima ribu perak sehari. Itupun kalau aku
sedang beruntung memperoleh barang-barang bekas. Maafkan anakmu,Mak, kalau aku hanya bisa membelikanmu pil
disentri seharga enam ribu perak sebutir. Itupun dengan pengorbanan cucu dan
menantumu. Mereka terpaksa puasa, Mak, agar aku dapat membelikan pil itu
untukmu. Namun panggilan Tuhan
ternyata lebih dulu
menjemputmu daripada usahaku membeli pil itu di kota kecamatan. Pil itu kini masih
aku genggam, tapi sudah tak berguna lagi untukmu. Engkau sudah tak
memerlukannya lagi kan,Mak.
Tapi tak mengapa, semoga sebutir pil ini bisa menunjukkan tanda baktiku padamu.
Ya, hanya itulah yang bisa aku berikan padamu,Mak.
Mak,
maafkan aku. Sebagai anak aku mungkin tak bisa membahagiakanmu di dunia. Selama
engkau tinggal bersamaku, tak sekalipun engkau kuberikan kebahagiaan.
Kekurangan adalah sahabat kita. Kalau dalam sehari kita tidak merasa kekurangan
rasanya kok aneh. Kita memang
orang yang hebat,Mak. Kita cukup makan sekali dalam sehari sementara
orang-orang harus tiga kali. Kita juga bisa bertahan hidup tanpa listrik, televisi, atau hiburan lain
sementara orang ribut kalau benda-benda itu tidak tersedia di rumah-rumah
mereka. Tapi kita tak pernah bersedih dan berduka. Itu
anjuranmu kan, Mak. Masih jelas dalam kepalaku engkau pernah berkata
“Nardi,
jadi orang itu harus sabar, menerima dengan syukur. Tidak usah iri dengan
rejeki tetangga. Kita boleh saja tidak punya apa-apa, tapi jangan harga diri
kita engkau gadaikan untuk keperluan dunia” begitu katamu, Mak sambil menjemur gaplek di depan
gubuk kita.
Aku juga masih ingat saat engkau memarahiku saat
aku mencoba protes kepada
kepala desa karena kita tidak terdaftar sebagai penerima BLT.
“Nardi,
gak usah minta-minta sumbangan kepada orang. Jangan sekali-kali kamu berharap
pada orang. Ingat, Nardi, kita sudah miskin, tapi jangan lantas kita merasa
tidak punya apa-apa. kita masih
punya harga diri, akankah engkau gadaikan harga dirimu itu dengan uang
seratus ribu perbulan? Malu Nar,malu. Emakmu malu kalau anaknya harus ribut
untuk menjadi pengemis pada pemerintah.” begitu katamu saat itu. Kemarahan dan
kedukaan tergambar jelas dalam raut mukamu yang kelam.
“tapi ,Mak
kita tidak makan dengan harga
diri. Yang kita makan nasi, dan untuk nasi kita butuh uang. Bukankah BLT
itu diperuntukan untuk orang-orang miskin,Mak? Kita ini miskin, bahkan
barangkali termiskin sekecamatan. Tapi mengapa kita tidak menerima bantuan itu.
Apa mereka buta? Atau kita dianggap tidak ada?” protesku mendengar nasihatmu.
“Jangan
suka menghina diri sendiri Nardi. Kita memang miskin, tapi kita masih bisa
bekerja. Kalau butuh uang ya usaha.Bukan memint-minta yang bukan jatah
kita” lanjutmu untuk mencegah langkahku saat
itu. Gaplek yang saat itu sedang kau jemur, terus tergenggam erat di tangan.
Gemetar tanganmu menahan gejolak dalam dadamu saat itu.
“Mak,
keluarga pak lurah yang sudah mampu saja mendapatkan BLT,
mengapa kita yang kesusahan malah tidak dapat,Mak. Itu namanya tidak adil”
kataku mulai melemah melihat amarahmu yang terpendam.
“Nardi,
kalau kamu mengharap keadilan di dunia ini, sama saja kamu berharap dimasukkan
kembali ke perut emakmu. Apakah itu mungkin?” Katamu ,Mak sambil tertatih meninggalkanku
sendiri.
Aku terhenyak mendenga perkataanmu. Aku
tersadar, betapa aku telah keliru
mengharap pada manusia. Maaf ,Mak kalau saat itu aku terus membantah perkataanmu.
☻☺☻☺☻
ak, maaf. Kalau sejak engkau
menghembuskan nafasmu yang terakhir, baru ada dua orang yang datang. Jangan
bersedih ,Mak. Mungkin mereka sibuk urusan dunia mereka atau mereka khawatir
gubuk kita akan penuh sesak dan akhirnya roboh apabila mereka datang. Mereka
telah berbaik hati untuk tidak membuat gubuk kita roboh. Lagi pula apa yang
dapat mereka peroleh dari kta ya, Mak?
Mak
sabar ya, untuk segera berangkat ke alam keabadianmu. Aku masih menunggu satu
orang lagi untuk dimintai pertolongan mengangkatkan keranda jenazahmu.
Mudah-mudahan mereka mau ya, Mak. Tapi kalaupun mereka tidak mau, mak aku pun
sanggup menggendongmu ke kuburan seorang diri. Toh berat tubuhmu tidak
terlalu berat dan juga kuburan untukmu yang telah aku siapkan juga tidak jauh dari
gubuk kita.
O, iya maaf ,Mak. Kuburanmu
terpaksa tidak di pemakaman umum. Uangku tidak cukup lagi untuk membayar
ongkos penguburan di pemakaman umum. uangku sudah habis buat membeli pil seharga enam ribu rupiah sebutir yang kini
berada di kantong kolorku dan secarik kain kafan kasar untuk pakaian
terakhirmu. Tak ada biaya lagi untuk
menguburkanmu di tanah pemakaman umum karena untuk menguburkan di situ harus mengeluarkan beberapa ratus
ribu rupiah. Kalau aku punya uang sebanyak itu Mak tentunya aku tak cuma
membelikanmu pil disentri yang seharga enam ribu perak tapi aku pasti akan
membawamu berobat ke mantri atau dokter sehingga engkau pun mungkin
dapat tertolong. Dunia memang aneh, Mak sampai-sampai untuk mati
saja harus jadi orang kaya. Lah, kita yang miskin memang harusnya tidak
dilahirkan ya, Mak. Tapi mengapa Tuhan menciptakan orang miskin seperti
kita? Berarti kita sebenarnya ada
manfaatnya juga di dunia. Ah, bodo amat lah, dengan orang lain yang menganggap
kita tak berarti. Yang penting Tuhan menganggap kita berarti.
Mak, Kuburanmu aku buatkan di
samping gubuk kita, di tempat biasa engkau mengupas singkong yang akan engkau
buat menjadi gaplek. Mudah-mudahan engkau senang. Bukankah tempat itu tidak
asing lagi buatmu, Mak? Ambil hikmahnya saja ya,Mak. Dengan kuburanmu yang
dekat dengan rumah, aku bisa kapan saja berkunjung ke rumahmu yang baru. Aku
yakin, rumahmu yang baru akan lebih besar daripada gubuk kita. Lebih luas dan
lebih indah. Bukankah begitu, Mak kata pak ustad yang sering mengisi pengajian
di masjid, meskipun kita
hanya mendengar dari balik tembok keliling masjid yang kokoh itu. Meskipun yang
tampak hanya sepetak tanah yang ditanami berbagai macam palawija tanamanmu.
Singkong, ketela rambat, talas, bayam, dan cabai yang kautanam masih tetap
kubiarkan agar engkau tidak merasa asing. Lagipula itu adalah warisanmu yang
harus selalu kurawat demi kesejahteraan anak dan cucumu.
Hari semakin sore, mendung begitu
tebal menyelimuti angkasa. Hujan belum turun, hanya sesekali kilat di langit atas menampakkan cahaya. Pelayat yang
telah datang, Paijo dan Karmin, sudah pulang. Tak ada lagi orang yang datang
untuk membantu menguburkan mak Pariyem. Mayat mak Pariyem sudah dimandikan oleh
Nardi anak semata wayangnya
dibantu oleh istri dan anaknya yang drop out dari kelas lima sekolah dasar. Alam
tampak bersedih. Angin semilir seolah mengajak Nardi anaknya untuk segera
menguburkan mayat ibunya. Orang-orang kampung sudah tidak dapat diandalkan.
Mereka lebih tertarik berbicara tentang politik, uang, dan apa yang akan mereka
peroleh dari tenaga yang mereka keluarkan.
Dengan khusuk Nardi memimpin sholat mayat untuk
emaknya diikuti lastri, istrinya, dan Jamal ,anaknya, dengan bacaan sebisanya. Dia memang tak pernah belajar agama secara
khusus. Guru agamanya hanyalah bapaknya dan ibunya yang semuanya kini sudah
tiada. Sesekali memang Nardi
mengikuti pengajian di masjid tetapi hanya di balik masjid. Dia sadar betul
tubuh dan bajunya yang kotor tak layak untuk masuk ke masjid yang suci itu.
Di samping itu, trauma masa kecilnya diusir dari masjid oleh pak ustad saat ia
kecil gara-gara ia mau belajar sholat tetapi badan kotor dan bau cukup
membuatnya jera untuk masuk rumah Tuhan yang suci itu. Ia tak mendendam.
Kesadaran akan dirinyalah yang akhirnya menguasai hari-harinya untuk jauh dari
tempat suci itu. Sebagai seorang
muslim, nardi paham betul
bahwa mengurus jenazah merupakan fardu kifayah dimana apabila sudah ada satu
orang yang mengurusnya maka gugurlah kewajiban bagi muslim yang lainnya. Kini
dia hanya ingin menggugurkan kewajiban muslim di sekitar rumahnya. Dia juga
malu apabila nanti arwah ibunya bertemu malaikat dan ditanya tentang saudara
muslimnya. Apa yang harus emak katakan? Memang kami menganganggap semua muslim
adalah saudara kami, tapi apakah mereka mau mengakui kami sebagai saudara
mereka.
Diangkatnya tubuh ringkih
emaknya yang sudah tak bernyawa dari keranda bambu buatannya sendiri. Nardi masih kuat untuk mengangkat tubuh ibunya
yang hanya memiliki berat tiga puluh kilogram. Dilangkahkannya kakinya pelan. Tubuh
ibunya terasa begitu melekat pada tubuhnya yang semakin lemah karena puasa.
Pelan tapi pasti. Tiba-tiba ada rasa haru yang menyergap relung hatinya.
Dadanya penuh dengan rasa itu. Mata mulai memanas, dan akhirnya sebulir kristal
air matanya turun berlahan melewati kelopak mata dan meluncur melalui pipinya
yang hitam. Butir air mata itu terus meluncur dan berhenti di dagunya yang
kasar. Ingin ia mengusap butir air itu, tapi ia tak memiliki kekuasan.
Tangannya tengah sibuk menggendong tubuh emaknya. Dalam hatinya Nardi berdoa, “ya, Tuhan. Jangan biarkan air
mata ku jatuh di kain kafan emakku. Biarkan kain itu bersih karena kain itu
merupakan kain satu-satunya yang akan emakku pakai untuk menghadap-Mu.” Lalu
diusapkan janggutnya pada lengan kanannya untuk menghilangkan air mata Nardi sambil terus berjalan menuju pemakaman
untuk emaknya di belakang gubuk reyot mereka. Nardi berhenti sesaat. Diamatinya tubuh emaknya dalam
gendongannya, memastikan air matanya tak mengotori kain kafan emaknya. Setelah
diyakininya betul kain kafan emaknya masih seperti semula, ia melanjutkan
perjalanannya ke makam ibunya yang tinggal beberapa langkah.
Sampailah rombongan pengantar
jenazah itu sampai di makam ibunya. Ditatapnya lubang kubur untuk ibunya yang
telah ia gali tadi pagi. Nardi tercenung sesaat. Siapa nanti yang akan turun di bawah lubang kubur dan
siap pula yang akan memegangkan jenazah emaknya.Betapa akan tertolongnya dia
apabila kang paijo atau kang Karmin masih di sini, bisik hati Nardi. Namun, segera ditepisnya pikiran itu
jauh-jauh. Maaf , Mak aku telah mengeluh meski dalam hati. Engkau pasti tidak
suka kalau eku mengeluh, apalagi saat mengantarkanmu untuk terakhir kalinya.
Dipanggilnya istri dan anaknya untuk membopong jenazah emaknya, kemudian Nardi segera turun masuk ke lubang kubur
emaknya. Beberapa saat kemudian selesailah prosesi pemakaman sederhana seorang
perempuan sederhan dengan pola pikir sederhan dan acara sederhana. Nardi dan keluarganya segera meninggalkan
kuburan emaknya. “Selamat jalan, Mak. Hidupmu kini lebih indah dari hidupmu
yang lalu. Sampaikan rindu kami untuk menyusulmu pada, Tuhan agar kami bisa
bertemu dengan keadilan yang hakiki”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar