Oleh Farichin
Berbicara tentang chaos
berarti kita berbicara tentang suatu sistem yang tidak teratur. Chaos terjadi
sebagai perwujudan dinamika multi sistem yang sangat berkaitan sehingga
memunculkan kesemrawutan sebagai bentuk ketumpangtindihan sistem-sistem
tersebut. Choas menjarah pada keseluruhan sistem yang ada baik pada dunia
hukum, kenegaraan, dan kependidikan. Kesemrawutan tersebut juga terjadi pada
keseluruhan tingkatan baik pada tingkat makro, mezo, maupun mikro. Hal tersebut
terjadai akibat beberapa kepenttingan baik bersifat politis maupun nonpolitis
pada lini-lini tertentu. Di samping itu kerap choas terjadi sebagai bentuk
misunderstanding dalam penerjemahan kebijakan yang muncul sebagai bentuk
pemecahan suatu permasalahan.
Kompleksitas
adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang dikenal dengan
sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah sistem yang
sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap
perubahan yang mengganggunya. Dalam
era informasi telah terjadi perubahan dalam segala hal dengan sangat cepat dan
terus menerus, sehingga telah memasuki daerah complexity dan chaos.
Kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos) telah terjadi dalam
ber-bagai aspek kehidupan masyarakat termasuk dunia pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan ( kamus besar bahasa Indonesia, 1991 ). Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari
terjadinya chaos dan kompleksitas. Dalam kaitannya dengan
pendidikan kita menyaksikan dan memahami bahwa dunia pendidikan Indonesia sungguh komplek. Ditinjau dari gegrafis-demografis Indonesia yang begitu luas
jangkauannya dari
Sabang sampai Meruake untuk sekitar 240 juta orang warga Indonesia. Banyak yang
terlibat yang mengurusnya, ada pemerintah, ada badan legislatif, ada fraksi
dari partai politik, ada birokrasi. Dan kompleksitas pendidikan itu lebih nyata
dengan adanya sekian banyak satuan pendidikan, tenada pendidik, kelas,
rombongan belajar peserta didik dan orang tuanya yang pluralistik, kurikulum,
cara pembelajaran, dan penilaian.
Dalam dunia pendidikan,
chaos dan kompleksitas terjadi dalam berbegai bentuk. Munculnya choas dalam
dunia pendidikan banyak terjadi karena terjadinya perbenturan kebijakan dari
kebijakan makro yang multitafsir sehingga diterjemahkan dengan penyesuaian
kebijakan lain pada tingkat di bawahnya. Dengan demikian acapkali suatu
kebijakan dalam dunia pendidikan pada tingkat makro berbenturan pada tingkat
mezo maupun mikro. Di antara kompleksitas dalam sistem
pendidikan kita gejala umum yang penting antara lain makin banyak aturan dan
pengaturan yang terkait dengan pendidikan warga negara, dan hal ihwal mendidik
dan mengajar. Makin kuatnya paradigma serta sikap politik pemerintah dan DPR
dalam mengatur sistem pendidikan, makin menampilkan diri berwenang dan berkuasa
dalam menetapkan aturan-aturan tentang pendidikan. Makin mengemuka issue
bahwa pendidikan di satu pihak perlu digratiskan dan dipihak lain makin perlu
dikomersilkan.
Salah satu contoh yang dapat
diambil dari kondisi chaos dalam dunia pendidikan adalah pengembangan profesi
guru. Pada masa pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
diluncurkan pada tahun 2004 membawa misi bahwa peserta didik diharapkan
memiliki penguasaan kompetensi yang baik melalui implementasi kompetensi dasar
(KD). Dengan kata lain kognisi peserta didik diperlukan sebagai prasarat
penguasaan kompetensi tertentu. Dengan misi
tersebut, guru dituntut berkreasi dan berinovasi dalam rangka mengantarkan
peserta didik memperoleh kompetensi yang dikehendaki. Untuk itu, guru diberi
beban mengajar 18 jam sehingga mereka memiliki waktu yang cukup. Kondisi
tersebut kemudian dimentahkan dengan peraturan baru yang dituangkan dalam
standar pendidik dan tenaga kependidikan. Di situ dinyatakan tugas mengajar
guru minimal 24 jam dan maksimal 40 jam pelajaran. Padahal untuk tingkat SMP
saja, dengan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) memiliki
struktur kurikulum setiap sekolah antara 34 sampai 36 jam pelajaran per minggu.
Atas dasar hal tersebut, kepala sekolah memberikan beben mengajar pada guru
secara maksimal. Kondisi tersebut menjadikan guru terlalu sibuk dengan
pelaksanaan tugas pokoknya. Dengan demikian waktu untuk mengembangkan
keprofesiannya sangat sempit dan terbatas.
Hal di atas baru muncul dari
satu sisi, sisi penghambat pengembangan profesi guru yang lain adalah
dikeluarkannya peraturan bupati yang terkesan mempersempit laju guru untuk
mengikuti pendidikan lanjut. Peraturan tersebut kemudian diterjemahkan oleh
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang seolah mempersulit guru untuk meningkatkan
kualifikasi akademiknya dengan alasan peraturan bupati. Kondisi ini jelas
bertentangan dengan UU Sisdiknas terutama pasal 40 terkait hak pendidik dan
tenaga kependidikan yang mengatakan hak pendidik termasuk dalam“pembinaan
karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas” Kondisi semacam ini akhirnya menimbulkan suatu
permasalahan baru seperti rendahnya minat pendidik untuk mengikuti program
studi lanjut sebagai bentuk tuntutan pengembangan karier dan kualitas
kompetensi dirinya. Lebih jauh lagi kondisi semacam ini membuka peluang bagi
oknum yang berbuat nakal untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap orang
yang mau menggunakan jasanya. Artinya, jika ada orang yang mau membayar dengan
harga tertentu untuk mengurus perizinan studi lanjut, maka prosesnya akan
dibantu agar mereka dengan cepat mendapatkan perizinan yang diharapkan. Namun
demikian, pengurusuan izin yang semestinya akan dilakukan sesuai dengan aturan
yang baku yang terkesan sulit untuk dilakukan.
Dalam hal keuangan sekolah
juga terjadi kesemrawutan sistem. Adanya aturan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang terkesan mengungkung pengelola sekolah dalam
penggunaan dana tersebut. Aturan penggunaan BOS yang tidak didasarkan pada
kondisi riil di sekolah memicu penyelewengan penggunaan anggara. Sebagai contoh
adalah tidak diperbolehkannya BOS untuk membayar wali kelas, urusan, wakil dan
kapala sekolah. Sementara kita tahu
bahwa tugas-tugas tersebut merupakan tugas tambahan yang diberikan pada
guru. dalam sisdiknas, tugas pokok guru
hanyalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluais hasil belajar. Secara logika, guru yang mendapat tugas
tambahan berarti mendapatkan beban kerja yang lebih dibandingkan dengan guru
lain. Oleh karena itu, mereka berhak untuk mendapatkan kompensasi berupa
tambahyan penghasilan. Namun demikian,
aturan penggunaan dana BOS tidak memperkenankan hal tersebut dilakukan.
Sementara itu, Peraturan lain juga menginstruksikan agar sekolah dilarang
memungut sumbangan atau biaya dari orang tua murid. Al hasil, sekolah melakukan
penyelewengan SPJ agar dapat memberikan kompensasi kepada tenaga pendidik yang
mendapatkan tugas tambahan.
Hal di atas merupakan salah
satu dari sekian kesemrawutan pelaksanaan sistem pendidikan. masih banyak lagi
kompleksitas yang terjadi dalam dunia pendidikan. kesadaran dan tanggung jawab
kita semua sebagai insan pendidik adalah mengantarkan peserta didik memperoleh
kompetensi yang diharapkan. Semoga
pendidikan Indonesia tidak mengalami stagnasi karena pengaruh chaos dan
kompleksitas yang ada.
diambil dari beberapa sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar