Sabtu, 04 Juni 2011

Parmin mempertanyakan tentang Hasil kelulusan

Malam itu pak Parmin dengan langkah tertunduk masuk ke sebuah mushola di RT 1 RW 2 di desa Kebagusan tempat dia tinggal. Hatinya gundah, karena tadi siang dia dengan hati teriris-iris menyaksikan anak didiknya di SMP 2 menerima hasil kelulusan. Hatinya perih, karena kejujuran yang selama ini dia agung-agungkan dan dia tanamkan pada siswa-siswanya berbuah pahit. Enam siswanya dinyatakan tidak lulus dalam menempuh ujuan Nasional tahun 2011 ini. Kegundahan itu kini semakin dalam dan terluka manakala terbayang kecurangan yang telah dilakukan oleh beberapa sekolah baik negeri maupun swasta di wilayah tempat dia mengajar.

Kesedihan yang nyata kini ia rasakan adalah hatinya merasa didzolimi tapi entah oleh siapa. Apakah oleh sikapnya yang "sok menjunjung tinggi kejujuran", ataukah oleh sekolah yang berbuat curang, atau.... bahkan oleh pemerintah yang TIDAK TEGAS dalam menyikapi hasil ujian nasional.

Parmin berpikir keras, untuk meyakinkah bahka keputusannya untuk berbuat jujur dan mengajarkan kejujuran pada anak-anaknya adalah benar. Agama manapun akan mengatakan jujur adalah benar. Tapi kalau memang kejujuran adalah benar, mengapa kejujuran yang diagung-agungkan menjadi "Musibah" untuk murid-muridnya.

Kalau kejadian ini terjadi karena kesalahan sekolah-sekolah yang berbuat curang, bukankah mereka tidak berhubungan secara langsung dengan sekolahnya atau dengan siswanya? Kecurangan yang mereka lakukan kan hanya berhubungan dengan Alloh yang melihat dan maha mengetahui. Biarlah hukum Alloh yang akan menghakimi mereka.

Lalu, slah siapa? pemerintah? Entahlah. Pemerintah juga terasa adem ayem saja melihat kondisi tersebut. Mereka asyik-asyik saja melihat fenomena yang ada di masyarakat. Kecurangan demi kecurangan dianggap barang yang biasa saja.

"Pak guru ko wajahnya ditekuk saja kayak dompet tanggung bulan? Bukankah sekarang baru tanggal empat alias tanggal muda?" celetuk Kang Paijo tetangganya yang suka clatak-cletuk.

"Gak papa kok Jo" Jawab Parmin dengan tidak bersemangat.
"Eh, Pak. Bukankah tadi pagi kelulusan siswa kelas sembilan? Lulus berapa Pak guru murid sampeyan?" tanya Sanusi yang selalu memandang sinis terhadap sekolah umum semacam SMP 2 di desanya itu. Muncul juga pertanyaan yang sangat ia benci setiap kali pengumuman kelulusan sekolah.
"Alhamdulillah yang gak lulus cuma enam?" jawab Parmin dengan lesu. Hatinya berpikir bahwa kegagalan tersebut karena dirinya dan hanya dirinya. Sanusi tersenyum sinis.
"Kok beda yah, dengan MTs. di sana setiap tahun lulusannya selalu 100% dengan nilai yang bagus-bagus lagi" sindir Sanusi.
"Yah, biarkan saja toh, Mas" Jawab Parmin sekenanya.
"Berarti sekolah panjengan kualitasnya kalah jauh dari MTs. di desa anu dan anu itu dong"

Parmin emosi mendengan sekolahnya dijelekkan se[erti itu. Baginya sekolah tempat ia mengabdi tersebut sudah seperti dirinya sendiri. Menjelakkan sekolah sama artinya menjelekkan dirinya.

"Loh, kamu tahu prosesnya gak toh Si, sehingga bisa ngomong kayak gitu? seolah-olah kamu tahu persis prosesnya sehingga di MTs bisa lulus 100%? serang Parmin dengan masih mengendalikan diri.
"ya, gak perlu tahu prosesnya toh pak guru. Yang terpenting kan hasil akhirnya. Iya gak ?" ucap Paijo meminta dukungan dari teman lainnya.
"Ya, gak bisa begitu mas Sanusi. Nih saya kasih tahu yah. MTs. bisa lulus 100% karena membocorkan jawaban soalnya. Mereka memberikan siswanya jawaban sejumlah 35-40 soal padahal soalnya hanya 40-50 soal. Ya, wajar toh mereka nilainya bagus-bagus dan lulus semua." bela Parmin.
"Loh, kalau begitu, kenapa di sekolah Bapak tidak seperti itu? Kalau mereka bisa mengapa Bapak tidak?" celoteh Paijo. Sanusi merasa menang.
"Apa kalian kira Alloh itu buta sehingga tidak bisa melihat kecurangan yang dilakukan?" bela Parmin.
"Tapi kan untuk membantu pak guru. Kasian anak-anak. Alloh kan maha pengampun?"

Parmin terhenyak. Ya, benar Alloh maha pengampun tapi apakah bukan sebuah pelecehan kalau kita selalu berbuat salah dan minta ampun terus mengulang hal yang sama. Ya, Robb, tunjukkan kuasa-Mu atas mereka. Tunjukkan bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan untuk menjalaninya. Dan yang bathil itu bathil dan berilah kamu kekuatan untuk menghindarinya. Parmin menunduk lesu. Dunia sudah tua dan pikun sampai kebenaran yang ada tidak dapat dilihat oleh orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar