Selasa, 15 Januari 2013
KAJIAN PENDIDIKAN TINGKAT SMP
KAJIAN PENDIDIKAN TINGKAT SMP
1. Kajian Perkembangan Pendidikan SMP
Sejak berlakunya kurikulum 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang awalnya berada dalam pendidikan lanjutan kini masuk dalam pendidikan dasar. Dijadikannya SMP sebagai pendidikan dasar dilandasi oleh wajib belajar (wajar) 9 tahun bagi anak usia wajib belajar di SMP 6 sampai 18 tahun (6 sampai 12 tahun di SD dan 13 sampai 18 tahun di SMP).
Untuk meningkat kualitas pendidikan dasar di SMP perlu pengembangan pendidikan di SMP sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Ada pun kajian dalam pengembangan pendidikan secara umum meliputi 8 (delapan) standar yang dipersyaratkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar tersebut meliputi: 1) Standar Isi (Permendiknas nomor 22 tahun 2006 ), 2) Standar Proses (Permendiknas nomor 41 tahun 2007), 3) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Permendiknas nomor 12 tahun 2007), 4) Standar pengelolaan (Permendiknas nomor 19 tahun 2007), 5) Standar Pembiayaan (Permendiknas nomor 69 tahun 2009), 6) Standar Sarana dan prasarana (Permendiknas nomor 24 tahun 2007), 7) Standar penilaian (Permendiknas nomor 20 tahun 2007), dan 8) Standar Kompetensi Lulusan (Permendiknas nomor 23 tahun 2006). Untuk mengetahui lebih jelas kondisi yang ada, bagian-bagian ini akan dibahas pada tingkatan makro, mezo, dan mikro.
a. Fenomena Pendidikan SMP di tingkat Makro
Kurikulum pendidikan SMP perlu mencari bentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa yang berada pada taraf perkembangan. Dengan demikian tidak akan terjadi adopsi mentah-mentahan dari kurikulum sekolah lain di luar negeri. Perlu dicari kurikulum yang sesuai dengan jatidiri bangsa dengan memaksimalkan kearifan lokal.
Dalam struktur kurikulum yang ada saat ini, muatan lokal yang menjadi wadah pelaksanaan kearifan lokal masih belum menemukan bentuknya. Di samping itu, bentuk penyatuan sub-pengetahuan IPA dan IPS yang belum melihat betul kondisi guru di sekolah. Bentuk IPS dan IPA terpadu memang memungkinkan siswa belajar dalam satu keterkaitan ilmu pengetahuan. Namun, hal tersebut akan menjadikan pengetahuan yang dangkal. Kedangkalan pengetahuan tersebut terjadi karena kurang mampunya guru menguasai keseluruhan pengetahuan yang disyaratkan. Sebagai gambaran nyata,guru-guru dengan kualifikasi pendidikan sejarah harus mengajar pengetahuan dalam satu ranah pengetahuan sosial seperti geografi, ekonomi, ataupun sosiologi. Kondisi semacam itu tentunya akan membuat kegagalan hasil akhir yang diharapkan.
Beban belajar SMP idealnya memiliki perbedaan dengan SD kelas IV-VI. Perbedaan itu tentunya berdasarkan pertumbuhan psikologi dan sosial siswa. Tugas terstruktur baik untuk pencapaian standar kompetensi namun dalam pelaksanaannya perlu koordinasi dengan guru mapel lain sehingga tidak membebani siswa. Jumlah maksimum 50% dari jam pelajaran waktu untuk tugas terstruktur dan mandiri sudah rasional namun dalam pelaksanaannya sering kali tidak diperhitungkan sehingga bisa saja lebih dari 50% itu. Kelebihan dari proporsi tersebut perlu dipantau dengan mekanisme internal guru maupun sekolah.
b. Perencanaan Pendidikan SMP di tingkat Makro di masa yang akan datang
Pengkajian Standar Isi yang tertuang dalam Permen No. 22 tahun 2006 ini difokuskan pada aspek konseptual, fundamental, esensial, kebermaknaan, akurasi, konsistensi dan dan kepraktisan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dicarikan solusi terhadap temuan yang pendidikan yang kurang sesuai dengan kebutuhan. Pembahasan perencanaan pendidikan pada pembahasan ini meliputi kondisi kurikulum yang terkesan menjiplak; penerapan mata pelajaran IPA dan IPS terpadu,; dan beban belajar SMP yang perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
Kurikulum di Indonesia terkesan masih belum menemukan jatidiri yang sesuai dengan karakter bangsa. Pada kurikulum 1975 dan sebelumnya, masih mengadopsi kurikulum dari Belanda. Selanjutnya kurikulum 1984 pandangan kurikulum berkiblat ke Australia sehingga terjadi perubahan-perubahan. Pada kurikulum 1994, 2004, dan direvisi pada kurikulum 2006 atau KTSP mengadopsi kurikulum dari Amerika. Ternyata belum pernah muncul kurikulum asli Indonesia.
Pengadopsian kurikulum yang ada di Indonesia bukanlah suatu kesalahan yang mutlak, Indonesia mengadopsi kurikulum-kurikulum tersebut tentunya sudah dipilih dan ditentukan yang sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Namun, pengadopsian tersebut masih menimbulkan kepincangan. Kepincangan tersebut terjadi karena pengadopsian kurikulum tidak diiringi dengan pengadopsian unsur-unsur lain yang mendukung terlaksananya kurikulum dengan baik.
Timbul berbagai permasalahan dari kondisi tersebut. Kurikulum yang sedemikian baik tidak diiringi dengan pembiayan yang cukup, sarana dan prasarana yang memadai, dan kualitas SDM guru yang berkualitas.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan, pemerintah Indonesia baru sanggup memenuhi pembiayaan yang terkait dengan operasional. Itupun baru pada taraf minimal. Sementara kebutuhan pembiyaan pendidikan bukan hanya pada operasional, tetapi juga ada biaya investasi, dan individu. Dengan biaya yang kurang tersebut, efektiviatas belajar di kelas kurang. Apalagi kondisi siswa dalam satu kelas antara 36 – 40 siswa sementara di Amerika, tempat pemerintah Indonesia mengadopsi kurikulum, hanya merekomendasikan jumlah siswa ideal antara 20 – 24 siswa setipa kelas.
Dari sarana yang ada, masih terdapat juga kekurangan-kekurangan yang akan mendukung keberhasilan dalam belajar. Masih cukup banyak sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan karena ruang kelas yang tidak layak dan belum mendapatkan aliran listrik. Dari sarana pendukung pembelajaran, juga masih banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan, laboratorium, komputer, dan media pembelajaran lainnya.
Pada tataran beban mengajar siswa, kurikulum di Indonesia memang masih belum menampung kebutuhan dan perkembangan siswa. Siswa masih disamakan beban belajarnya tanpa mempedulikan kecepatan belajar mereka. Dalam satu semester, siswa dilakukan penilaian akhir semester baik pada siswa yang sudah tuntas belajar maupun belum. Dengan demikian ketuntasan belajar menjadi sesuatu yang terkesan dipaksakan.
c. Fenomena Pendidikan SMP di tingkat Mezo
Pada tingkat mezo, pendidikan di Jawa Tengah juga mengalami permasalahan. Permasalahan tersebut terutama terkait dengan kurikulum dan prasarat terkait dengan pelaksanaan kurikulum yang ideal. Salah satu permasalahan yang terkait dengan kurikulum adalah pelaksanaan muatan lokal yang akan menjadi wadah pelaksanaan kearifan lokal.
Pemerintah daerah dan satuan Pendidikan sulit untuk menentukan mana yang akan menjadi mulok, dan bagaimana menyusun kurikulum mulok. Oleh sebab itu, penggalian potensi mulok dapat diserahkan ke Pemerintah Daerah. Namun, permasalahan yang muncul adalah kemudian tidak ditindaklanjuti secara maksimal. Guru diserahkan membuat peragkat kurikulum muatan lokal sendiri sehingga terjadi variasi yang cukup banyak.
d. Perencanaan Pendidikan SMP di tingkat Mezo di masa yang akan datang
Secara konseptual bahwa muatan lokal Bahasa Jawa dapat dikategorikan sebagai mata pelajaran karena dapat dipelajari dan dilatihkan. Namun untuk menghindari kekeliruan dalam menentukan kurikulum Bahasa Jawa, makaperlu dilakukan pembakuan kurikulum mata pelajaran tersebut. Definisi muatan lokal yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran sebaiknya diganti dengan mata pelajaran yang bersifat tambahan. Hal itu karena bahasa Jawa juga sudah memiliki dasar keilmuan yang sudah mapan dan diakui oleh kalangan ilmuwan serta mencirikan kekayaan keilmuan daerah.
e. Fenomena Pendidikan SMP di tingkat Mikro
Pada tingkat mikro, pendidikan di Kabupaten Tegal juga mengalami permasalahan. Permasalahan tersebut terutama berkaitan dengan muatan lokal. Di Kabupaten Tegal muncul adanya mata pelajaran mulok Pertiwi (Pertanian Industri dan Wisata). Namun dalam pelaksanaannya mulok Pertiwi ini kurang sesuai dengan harapan. Pihak daerah tidak secara tegas menentukan jenis kongkrit mulok tersebut. Selain itu di sekolah sering terjadi penyimpangan tujuan mulok ini karena kurangnya sumber daya manusia yang kompeten.
Pemerintah daerah Kabupaten Tegal (Dinas DIKPORA) dan satuan Pendidikan sulit untuk menentukan mana yang akan menjadi mulok dan bagaimana menyusun kurikulum mulok Pertiwi tersebut. Namun, permasalahan yang muncul adalah kemudian tidak ditindaklanjuti secara maksimal. Guru diserahkan membuat peragkat kurikulum muatan lokal sendiri sehingga terjadi variasi yang cukup banyak. Secara kenyataan setiap sekolah menterjemahkan mulok Pertiwi ini sangat variatif.
f. Perencanaan Pendidikan SMP di tingkat Mikro di masa yang akan datang
Secara konseptual bahwa muatan lokal Pertiwi dapat dikategorikan sebagai mata pelajaran karena keduanya dapat dipelajari dan dilatihkan. Namun perlu dibuatkan stndarisasi yang baku untuk kurikulum Pertiwi sehingga di setiap sekolah dilakukan pembelajaran yang sama pada tingkat yang sama pula. Untuk itu pemberdayaan MGMP dengan kualifikasi keilmuan yang sejenis perlu diberdayakan lebih maksimal lagi bukan sekadar ada. Yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan kurikulum muatan lokal tingkat mikro adalah kearifan lokal yang mampu meningkatkan keterampilan dan budaya setempat.
KOMPONEN TERPENTING DALAM PENDIDIKAN
Sistem pendidikan nasional memeliki beberapa komponen dasar. Komponen-komponen tersebut adalah (1) peserta didik, (2) Pendidik, (3) kurikulum, (4) Pendanaan, (5)Sarana dan prasarana pendidikan, (6) Menejemen, (7) Partisipasi masyarakat, dan (8)Pengendalian dan Pengawasan. Kedelapan komponen dalam sistem pendidikan nasional tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Mereka saling terkait dan mendukung demi terwujudnya fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namundemikian, dari delapan komponen pendidikan tersebut, yang terpenting adalah yang terkait dengan sumber daya manusia baik dari komponen peserta didik maupun pendidik. Pendidikan tidak akan mungkin terjadi apabila tidak ada dua komponen tersebut. Syarat utama terjadinya proses pendidikan adalah adanya peserta didik yang menjadi subjek pembelajaran dan pendidik yang menjadi pelaksana kegiatan pembelajaran tersebut.
Keterlibatan komponen lain di lauar peserta didik dan pendidik hanya berlaku pada pendidikan yang bersifat khusus. Pada pendidikan yang bersifat umum, ketiadaan komponen di luar peserta didik dan pendidik tidak akan mengganggu proses pendidikan. Sebagai contoh, orang tua menasihati anak-anaknya agar bersikap dan berperilaku sopan merupan suatu proses pendidikan. Saat terjadinya proses tersebut, tidak diperlukan kurikulum, dana, sarana dan prasarana, menejemen, partisipasi masyarakat, dan pengawasan pengendalian.
Dalam lingkup pendidikan secara khusus, komponen SDM juga memegang peranan penting. Dalam pendidikan formal maupun nonformal, suatu lembaga pendidikan akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran manakala di situ terdapat unsur peserta didik dan pendidik. Meskipun demikian, dalam kategori lingkup khusus, keberadaan komponen lain di luar komponen manusia masih sangat mempengaruhi keterlaksanaannya proses pembelajaran.
Di samping hal-hal di atas, terdapat keunggulan lain dari komponen manusia dalam sistem pendidikan nasional terutama pada komponen pendidik. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah:
1. Pendidik merupakan perancang suatu proses kegiatan pembelajaran. Pendidik yang baik akan dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
2. Pendidik akan dapat dengan cepat mengubahsesuaikan keadaan yang disesuaikan dengan situasi tertentu. Konsep bersifat fleksibel sehingga apabila terjadi kejanggalan atau kelemahan proses pembelajaran, akan dapat dengan cepat diubah agar lebih sesuai dengan kondisi saat itu. Perubahan seluruh komponen pendidikan akan dapat dengan mudah disesuai oleh pendidik.
3. Pendidik bersifat progresif dalam artian mereka dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Perubahan kebutuhan dan tuntutan keilmuan terkait dengan perubahan kebijakan pemerintah akan dengan cepat disesuaikan oleh komponen pendidik.
Dari hal-hal di atas tampak jelas, bahwa komponen utama dari suatu sistem pendidikan adalah yang terkait dengan komponen sumber daya manusia. Dari sumber daya manusia yang ada dalam sistem pendidikan, peserta didik dan pendidik, pendidik memiliki peranan yang penting dan strategis untuk melaksanakan pendidikan ke arah yang lebih baik sesuai dengan harapan dan cita-cita nasional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar