Senin, 18 Maret 2013

IQ, EQ, DAN SQ


IQ dikenal pertama kali sebagai kemampuan mengingat, menghafal dan menghitung (numerical). Awalnya konsep ini diperkenalkan oleh Alfred Binnet tahun 1905, kemudian dibawa ke Stanford AS tahun 1910 sebagai standar perekrutan tentara AS dalam Perang Dunia I. Perkembangan selanjutnya, IQ menjadi parameter kecerdasan. Menjadi manusia cerdas ala IQ, minimum harus punya skor 100. Di atas 100? Maka potensi ‘sukses’ dianggap sangat besar. Sebaliknya, di bawah 100 kerap ditengarai gagal.
             Berbicara tentang IQ, EQ, dan SQ kita tidak bisa terlepas dengan istilah ESQ. ESQ (Emotional spiritual quostient ) adalah sebuah metode pebangunan jiwa yang menggabungkan antara dua unsur kecerdasan, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan pikiran bawah sadar atau yang dikenal dengan suara hati. Menurut Ari Ginanjar, ESQ sebenaranya merupakan aplikasi dari prinsip ruku islam dan rukun iman. Dari sinilaah muncul sebuah fitrah atau kesucian hati yang selalu menuju bentuk keyakinan dan kepasrahan akan ke-Illahian. Secara ilmiah konsep ESQ ini ditunjukkan dengan adanya proses saraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan member makna dalam pengalaman hidup , yaitu suatu jaringan saraf yang literal “mengikat” pengalaman manusia secara bersama untuk hidup lebih bermakna. (Wolf Singer)
Didalam hidup sosial kita perlu SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual. Ada yang beranggapan bahwa kecerdasan spiritual ini perkembangannya menjadi penting bagi setiap manusia selain EQ. Lalu apa sebenarnya SQ itu? Ada beberapa pendapat terkait dengan SQ. Ari Ginanjar agustian ( 2007 : 57 ) mengatakan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk member makna ibadah pada setiap prilaku kegiatan melalui langka-langkah dan pemkiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya( hanif ). Sedangkan menurut Toto Tasmara ( 20001 : 49) mendefinisikan kecerdasan spiritual  adalah kemampuanseorang untuk mendengarkan suara hati nuraninya, baik, buruk dan rasa moral dalam cara menempatkan diri dari pergaulan.
              Danah johar dan Lan Marshal berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value ( nilai ), yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mempungsikan IQ  dan EQ secara efektif. Bahakan SQ adalah merupakan kecerdasan kita.
Sementara itu Mimi Doe dan Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan dan memberi arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik  yang lebih besar dari pada kekuatan dari diri kita.
Dari definisi tersebut tersebut dapat dapat kita tarik suatu simpulan bahwa  kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial yang dimiliki setiap manusia yaitu hati nurani yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dari sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan.
              Lebih lanjut berbicara tentang SQ, kita perlu mengetahui tentang tanda atau ciri tinggi rendahnya SQ seseorang. Menurut Danar Zohar dan Ian Marshal, pakar psikolog didalam bukunya “SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence” memberikan pandangan mengenai tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu
  1.  Berkemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaannya.
  2. Cenderung untuk memandang segala hal itu berkaitan (holistik).
  3.  Mampu untuk bersikap fleksibel (secara aktif dan spontan).
  4. Cenderung untuk bertanya “bagaimana jika?” atau “mengapa?” ketika mencari jawaban yang paling mendasar.
  5. Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.
  6. Memiliki kualitas hidup yang didasari dari visi dan nilai-nilai.
  7. Merupakan pemimpin yang bertanggungjawab serta berpengabdian.
  8. Mampu untuk menghadapi dan melewati rasa takut.
  9. Menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian yang tidak perlu (tadzbir)
Zohar dan Marshall (2007:35-83) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu
a.       Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b.      Titik Tuhan (God spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya 25 integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.

                   Dalam kaitannya dengan keberhasilan seseorang meniti karier di masa depan ternyata tidak dapat dipastikan hanya dari kecerdasan intelegensi yang menekankan pada pola pikir dan penalaran tertentu. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup menyendiri. Dia juga makhluk tuhan yang tergantung keberhasilannya dari usahanya sebagai manusia dan takdir Illahiahnya. Manusia yang akan berhasil meniti kesuksesan hidupnya adalah manusia yang seimbang antara intelegensi dan spiritualnya. Keberhasilan manusia didasarkan pada tiga aspek yaitu usaha dirinya, doa pada sang Khalik, dan kepasrahan sepenuhnya akan apa yang terjadi bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kudrat dan iradat dari Illahi. Aspek yang ketiga ini disebut dengan tawakal.

Antara IQ dan EQ :
Setelah muncul IQ, kecerdasan kedua atau EQ kemudian lahir. Daniel Goleman, penemu Emotional Quotient berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah bentuk kemampuan seseorang memahami diri sendiri, orang lain, lingkungan, serta kemampuan mengambil keputusan tepat dengan cara tepat, dan dalam waktu yang juga tepat. Dan EQ inilah yang menjadi kunci keberhasilan para bintang-bintang kinerja.
Pada awal penemuan IQ, dikatakan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh tingkat kecerdasan IQ yang dimilikinya. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kemungkinan orang tersebut berhasil. Semua orang mendewakan IQ. Orang dengan IQ rendah seakan menjadi manusia nomor dua yang sudah dipastikan hidupnya tidak akan sukses. Banyak orang tua berusaha menyekolahkan anak di sekolah yang mensyaratkan IQ tertentu sebagai muridnya agar tampak lebih bergengsi.
Survei yang dilakukan oleh EQ-I (Emotion Quotient Inventory) menginventarisir data orang sukses kelas dunia dan menyimpulkan bahwa pengaruh IQ bagi kesuksesan seseorang, sesungguhnya hanya 10%-20% saja. Data ini mementahkan pendapat yang mengatakan bahwa IQ sebagai parameter keberhasilan atau kesuksesan seseorang. Keberhasilan seseorang tidak dapat ditentukan oleh IQ saja tetapi ada faktor lain. Salah satunya adalah EQ.
Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan sepanjang hidup manusia dengan cara belajar. Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
  1. empati (memahami orang lain secara mendalam)
  1. mengungkapkan dan memahami perasaan
  2. mengendalikan amarah
  3. kemandirian
  4. kemampuan menyesuaikan diri
  5. disukai
  6. kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
  7. kesetiakawanan
  8. keramahan
  9. sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
  1. membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
  1. bekerja dalam kelompok secara harmonis
  2. berbicara dan mendengarkan secara efektif
  3. mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
  4. mengatasi masalah dengan teman yang nakal
  5. berempati pada sesama
  6. memecahkan masalah
  7. mengatasi konflik
  8. membangkitkan rasa humor
  9. memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
  10. menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
  11. menjalin keakraban
             Apabila  seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.  Mempunyai IQ yang baik penting untuk berpikir cepat, tepat. Sedangkan EQ penyeimbang, mengontrol emosi kejiwaan ketika menghadapi masalah. Keterbatasan IQ seseorang dapat ditutupi dengan kelebihan yang dia miliki seperti memiliki bakat olahraga, keterampilan, seni, dll. Sehingga dapat menutupi kekurangan IQnya.

Dari analisis di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.      IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang di masa yang akan datang. Masih ada unsur EQ yang banyak mempengaruhi keberhasilan tersebut.
2.      EQ terus berkembang sejalan dengan perkembangan cara berpikir manusia. EQ dapat dikembangkan dengan belajar menguasai emosi yang dimiliki.
3.      Kenyataannya kemudian, IQ dan EQ saja belum cukup. Bagaimana jika seorang memiliki IQ dan EQ tinggi tapi memiliki ambisi pribadi yang bisa merugikan orang lain? Ia tentu saja mampu mempengaruhi lingkungan; memikat hati dengan ucapan; peka mencari peluang; serta otak encer, tapi semua kecakapan tersebut digunakan untuk mencapai ego pribadi/golongan. Di samping itu, ternyata orang-orang sukses tersebut merasa kekeringan di tengah kesuksesannya. Ia merasa dikejar-kejar waktu; stres; dan merasa kurang dihargai, yang intinya ‘kehilangan makna’ atau menderita Spiritual Pathologis (jiwa yang terbelah).
4.      Akhirnya, syarat utama agar manusia mampu mengelola kehidupannya, ia butuh 3 kecerdasan sekaligus yaitu IQ, EQ dan SQ. Fungsi IQ adalah “What I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (Physical Capital); fungsi EQ adalah “What I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola Kekayaan Sosial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “Who am I” (siapa saya) untuk mengelola Kekayaan Spiritual (Spiritual Capital).
5.      Namun selama ini ketiga kecerdasan tersebut berjalan terpisah. Contoh: ber-IQ tinggi namun kering nilai-nilai spiritual; atau sebaliknya, memiliki spiritual (SQ) tinggi, namun rendah dalam nilai-nilai intelektual sehingga akhirnya kalah dalam percaturan ekonomi, sosial dan iptek. Maka kemudian disimpulkan bahwa pencapaian kualitas manusia ideal yang proporsional adalah manusia unggul yang cerdas secara intelektual, emosi serta spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar