Pendidikan adalah segala usaha yang ditujukan agar manusia dapat mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakan. Proses tersebut merupakan kegiatan yang mulia dan selalu mengandung kebajikan, dan selalu berwatak netral. Pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan demikian, peranan penting pendidikan dalam membangun karakteristik manusia yang unggul dan tangguh. Pendidikan dapat digunakan sarana untuk membina jati diri bangsa dan identitas kita, memupuk karakter bangsa, dan memperkuat wawasan kebangsaan.
tujuan mulia dari pnedidikan bukannya tidak menuai permasalahan. Banyak permasalahan yang muncul. kemunculan permasalahan pendidikan tersebut bukan hanya pada tingkat makro, tetapi juga pada tingkat di bawahnya yaitu mezo dan mikro. permasalahan pendidikan seperti sebuah benang kusut yang tak pernah selesai. penyelesaian satu permasalahan pendidikan yang satu memunculkan permasalahan pendidikan yang lain. Salah satu biang kerok permasalahan pendidikan adalah terkait dengan Sumber Daya Manusia. Pada tingkat atas, kebijakan pendidikan dipolitisr untuk kepentingan tertentu bukan murni untuk kemajuan bangsa. di tingkat pelaksana daerah mezo dan mikro, terjadi mis sehingga terjadi permasalahan lain karena ditumpangi unsur X. pada tingkat sekolah, sebagai lini terdepan pendidikan, juga masih banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang "ASAL" dalam artian asal menunaikan tugas. Bekerja dengan otot dan akal bukanya dengan hati. Muncul permasalahan lain yaitu bergesernya paradikma mendidik menjadi mengajar.
Salah satu permasalahan pendidikan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada
setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah
(Dikdasmen). Permasalahan tersebut bukan hanya pada peserta didik, tetapi juga
pada tenaga kependidikan, sarana-dan prasarana, kurikulum, dan faktor pendukung
pendidikan lainnya. Berpijak pada fakta tentang rendahnya mutu pendidikan di
atas, Departemen pendidikan dan seluruh punggawa-nya melakukan semua usaha
peningkatan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah melalui langkah-langkah
yang prospektif. Peningkatan kualitas pendidikan tersebutmerupakan suatu proses
yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu
sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia,
maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya
mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang
lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan
sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi
ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hal tersebut
dilakukan untuk mencapai standar nasional pendidikan sebagaimana telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah No.
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 2 tersebut
diatur bahwa ruang lingkup standar nasinal pendidikan terdiri dari delapan
ruang lingkup, yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar
kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar
sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8)
standar penilaian.
Semua langkah tersebut ditujukan
pada upaya penciptaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu yang dapat
menuju pada aktualisiasi hakikat pendidikan. Baedhowi, mengemukakan bahwa pendidikan bermutu akan dapat dilaksanakan dengan baik
apabila didukung komitmen yang tinggi dan perencanaan yang baik, dilaksanakan
secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan upaya tersebut, dalam makalah
ini akan diulas mengenai langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah yang didasarkan pada fakta dan harapan.
Terkait dengan permasalahan pendidikan di Indonesia, hampir semua komponen
dan standar pendidikan yang ada mengandung permasalahan.
Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya harus diikapi dengan bijak dan
tepat. Slah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan studi
komparasi dengan sistem pendidikan di luar negeri. Dengan melakukan komparasi
tersebut diharapkan dapat meringankan beban analisis permasalahan dan solusi
pemecahan masalah. Berikut ini adalah permasalahan yang muncul dari pendidikan
di Indonesia
1. Standar Isi
Pendidikan
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
2. Standar
Proses Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan kurikulum, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima
model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikulum misalnya (1)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain
Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative
Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan
(5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo
(2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry). Hal
ini diharapkan dapat mencapai konndisi yang menurut Sagala, S. terjadinya
pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan
memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan
kompetensi perseorangan.
Pendekatan Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning
/CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu
siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan
strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah
tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas
(siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata
guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif,
yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning),
menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community),
pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
Pendekatan di atas menunjang pelaksanaan KTSP. Melalui semangat otonomi dan
desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum
sendiri sehingga sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan
standar kompetensi yang dikembangkan. Meskipun demikian, sebagian besar guru
belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka
diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang
dibuat dari pusat. Implementasi KTSP membutuhkan penciptaan iklim pendidikan
yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru,
mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya
pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi
fasilitator pembelajaran. Karena itu, Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif
serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau
model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten.
Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru.
Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran,
padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan
pemerintah. Kendala lain dalam pelaksanaan KTSP, kualitas guru yang kurang
merata di setiap daerah, begitu pula daya kreativitas dan beragamnya kapasitas
guru untuk membuat sendiri kurikulum. Selama ini pemberdayaan guru belum
dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum
melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan benar, termasuk evaluasi guru. Ini
yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat. Karena itu,
Pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan penerapan KTSP.
3. Standar
Kompetensi Lulusan
Rendahnya prestasi peserta didik berkaitan erat dengan
kelemahan sarana fisik dan kualitas guru.Sebagai gambaran umum, pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat
rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),
siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
4. Standar
Tenaga Kependidikan
Salah satu komponen penting dalam
pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep
pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan
sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang
tergolong pada pendidik. Guru sebgai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua
sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal
maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal
tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai
gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidi adalah 1) orang dewasa, 2)
orang tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin
keagamaan.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 1 butir 6, Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan istilah lainnya yang sesuai dengan
kekhususannya yang juga berperan dalam pendidikan. Mengacu pada UU sisdiknas
dapat diartikan bahwa pendidik merupakan tenaga kependidikan yang memiliki
kualifikasi tertentu sebagai seorang figur yang tentunya harus mampu menetapkan
dan menerapkan strategi-strategi demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Sujarwo (2012: 6-7) menyebutkan bahwa
pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada jenjang pendidikan tinggi. Pendidik
adalah suatu pekerjaan yang bersifat profesional, dalam arti suatu pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh individu yang secara khusus telah dipersiapkan.
Sebagai tenaga profesional seorang pendidik mempunyai tugas dan peranan yang
sangat kompleks, tidak terbatas pada saat berlangsungnya interaksi pembelajaran
di dalam kelas, namun juga bertugas sebagai administrator, fasilitator,
motivator, evaluator dan konselor. Menurut Glasser ada empat hal yang harus
dikuasai seorang pendidik, yaitu: a) menguasai bahan pelajaran, b) kemampuan
mendiagnosis tingkah laku peserta didik, c) kemampuan melaksanakan proses
pembelajaran, d) kemampuan menyimpulkan hasil belajar. A teacher is a person
who help others learn (seorang pendidik adalah seorang yang membantu
belajar orang lain) kehadiran seorang pendidik dalam proses pembelajaran
merupakan peran yang sangat penting dan tidak dapat digantikan oleh mesin,
radio atau tape recorder,media, bahkan komputer yang paling canggihpun,
karena dalam proses pembelajaran melibatkan unsur-unsur manusiawi seperti;
sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, emosi, kebiasaan dan lain-lain yang
kesemuanya merupakan sumber daya dan potensi pembelajaran. Tugas pokok seorang
pendidik dalam proses pembelajaran, meliputi: a) menyusun program pembelajaran
atau praktik, b) menyajikan program pembelajaran atau praktik, c) melaksanakan
evaluasi belajar atau praktik, d) melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar
atau praktik, e) menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan, f)
menyusun dan melaksnakan program bimbingan dan penyuluhan di kelas yang menjadi
tanggungjawabnya, g) membimbing peserta didik dalam kegiatan kurikulum, h)
membimbing pendidik dalam kegiatan proses pembelajaran atau praktik perorangan,
i) melaksanakan bimbingan karier peserta didik, j) mengikuti kegiatan ujian.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, seorang pendidik dipersyaratan memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, professional dan kompetensi
sosial.
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Beberapa penyebab lain tentang masih
rendahnya mutu pendidikan di Indoensia adalah kurangnya jumlah dan kalitas
tenaga kependidikan yang meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan
pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium,
teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan juga
belum optimal, baik jumlah maupun kualitasnya. Khusus tentang pengawas satuan
pendidikan, Dewanto mengemukakan bahwa selama ini citra pengawas pendidikan
tidak baik. Mereka lebih bersikap sebagai polisi daripada pengawas. Juga
pengawasan pendidikan menengah oleh Bawasda, yang umumnya tidak punya
pengalaman di bidang pendidikan dan sumber daya manusia mereka kurang. Dari
sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4.
Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di
Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus
guru swasta. Di Jawa Timur, jumlah guru yang pendidikan tarakhirnya belum S-1
atau D-4, sebanyak 205.147 orang, yang meliputi lulusan SLTA sebnayak 90.570
orang, D-1 sebanyak 5.688 orang, D-2 sebanyak 90.814 orang, D-3 sebanyak 18.075
orang. Guru PNS yang banyak menjajdi guru di SD dan MI berusia antara 41 sampai
dengan 50 tahun.
Selama ini sebaran guru yang
kompeten juga masih sporadis, hanya terkonsentrasi di kawasan perkotaan (Urban
School), dan di sekolah-sekolah terpencil (Rural School) masih
banyak yang belum mempunyai guru profesional. Penghargaan berupa materi maupu
non-materi kepada para pendidik yang berprestasi masih perlu ditingkatkan,
sanksi terhadap guru atau tenaga kependidikan yang nakal juga belum
tegas. Pengharagaan kepada para pendidik di daerah pinggiran juga masih
belum optimal.
5. Standar
Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan
berpengaruh terhadap pembelajaran. Dalam
mpengelolaan pendidikan, sarana dan prasarana setiap sekolah harus harus sesuai
dengan standar nasional. (1) Rendahnya sarana fisik. Data
Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga
yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari
seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik,
299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya
lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini
juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan prosentase yang
tidak sama.
6. Standar
Pengelolaan Sekolah
Menejmen atau pengelolaan pendidikan yang diterapkan di
sekolah menggunakan menejemen mutu berbasis sekolah. Sekolah atau MBS. Manajemen berbasis sekolah, sebagai model kebijakan dalam pengelolaan
pendidikan di Indonesia mengandung beberapa pokok pikiran yang dapat dicermati.
a.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),
sebagai pendekatan dalam manajemen pendidikan merupakan salah satu bentuk
desentralisasi pendidikan pada level sekolah yang intinya adalah memberikan
kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan
pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Dalam Undang – undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas, sebutanya adalah “Manajemen Berbasisi
Sekolah/Madrasah”.
b.
penerima kewenangan untuk mengambil
keputusan di dalam pengelolaan sekolah bukan Kepala Sekolah seorang diri (
sebagai otoritas/penguasa satuan pendidikan), melainkan secara kolektif,
yaitu Kepala Sekolah bersama para guru dan dibantu oleh Komite Sekolah. Di
negara lain, bahkan dalam hal tertentu melibatkan wakil siswa, terutama
pada jenjang pendidikan menengah. Penerimaan kewenangan secara kolektif ini
tidak berarti menghilangkan/mengurangi fungsi Kepala Sekolah sebagai pemimpin
sekolah yang sehari-harinya berhak untuk mengambil keputusan di dalam
pengelolaan sekolah. Di dalam proses pengambilan keputusan ( terutama yang
menyangkut masalah strategis atau yang pelaksanaan dan hasilnya menyangkut
kepentingan berbagai pihak ) harus melibatkan pihak-pihak terkait tersebut (
guru dan komite sekolah ). Pengambilan keputusan dan kepemimpinan sekolah
itu bersifat partisipatif dan demokratis.
c.
pemberian kewenangan kepada
sekolah dalam kerangka MBS, harus disertai alokasi sumber daya pendidikan (
terutama alokasi dana) sesuai kewenangan yang diberikan dan dikelola oleh
sekolah sesuai perencanaan masing-masing sekolah.
d.
ada parameter (batasan-batasan) dalam
pelaksanaan MBS oleh satuan pendidikan ( Kepala Sekolah, guru dibantu komite
sekolah ). Parameter tersebut diantaranya adalah sistem pemerintahan
(birokrasi) yang berlaku dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Sisdiknas dan aturan-aturan pelaksanaannya, serta tujuan yang diharapkan dari
pelaksanaan MBS yeng tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan
nasional.
e.
ada akuntabilitas kepada berbagai
pihak yang berkaitan dengan (1) mutu pendidikan, (2) keadilan bagi semua anak
didik, (3) efektifitas dan efisiensi pengelolaan satuan pendidikan. Elemen-elemen
MBS tersebut merupakan elemen pokok yang masih dapat ditambah untuk memperjelas
dalam pelaksanaan. Namun demikian, pengurangan dari elemen tersebut akan
mengurangi esensi MBS.
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal
ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang
tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat
dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan
kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial anthropologis,
lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan iklim geographis.
Ditinjau dari hubungan lingkungan denan manusia dapat dikelompokkan
menjadi lingkungan yang tidak dapat diubah dan lingkungan yang dapat diubah
atau dipengaruhi, dan lingkungan yang secara sadar dan sengaja diadakan untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari sudut tinjauan lain Langeveld
lingkungan pendidikan menjadi lingkunganyang bersifat pribadi atau pergaulan
dan lingkungan yang bersifat keadaan, segala sesuatu yang ada di sekeliling
anak.
Ditinjau dari lingkungan social, pendidikan terhubung dengan masyarakat
atau lingkungan social mereka. Yang termasuk pada bagian lingkungan sosial
pendidikan adalah orang-orang dewasa di
sekitar mereka, orang tua, tokoh masyarakat dan kegamaan. Terlepas dari unsur
lingkungan social yang mendukung pendidikan, ada juga lingkungan sosial
pendidikan yang akan menjadi penghambat kemajuan pendidikan. Lingkungan
tersebut adalah lingkungan pergaulan teman sejawat yang kurang baik.
Lebih janjut, peran serta masyarakat diatur dalam UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20 tahun 2003, pasal 54 yang mengatakan bahwa
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perseorangan,
kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Dari pasal ini, jelas sekali
bahwa masyarakat memiliki peranan yang cukup penting dalam jalannya roda
pendidikan di Indonesia.
Dari sisi layanan, berdasarkan Data Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama menunjukkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan
pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk
SD/MI, 37 untuk SMP/MTs, dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama, rasio
murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs, dan 13 untuk SMA/
SMK/MA. Meskipun demikian, kualitas layanan pendidikan masih terbatas karena
dukungan fasilitas yang belum memadai. Sampai dengan tahun 2004, kualitas
pendidikan juga dinilai masih rendah karena belum sepenuhnya mampu memberikan
kompetensi sesuai dengan tahap pendidikan yang dijalani peserta didik. Hal
tersebut terutama disebabkan oleh (i) ketersediaan pendidik yang belum memadai
baik secara kuantitas maupun kualitas, (ii) kesejahteraan pendidik yang masih
rendah, (iii) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (iv) biaya
operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Pengawasan dan pengendalian pendidikan
dilakukan oleh instansi terkait dengan tempat pendidikan itu diselenggarakan.
Secara interen, pengawasan dan pengendalian suatu lembaga pendidikan dilakukan
oleh kepala insatnsi tersebut. Secara ekstern pendidikan juga menjadi tugas
kepengawasan dari lembaga lain di luar lembaga pendidikan yang turut
bertanggung jawab terhadap jalannya proses pendidikan tersebut. Yang bertanggung jawab melakukan pengawasan
dalam pendidikan adalah kepala sekolah, komite sekolah, dinas pendidikan
kabupaten/Kota, dinas pendidikan provinsi, sampai pada kementrian pendidikan
nasional. Pengawasan dilaksanakan pada keseluruhan komponen pendidikan yang
akan bersinergi dalam mencapai pendidikan nasional. Salah satu bentuk pengendalian pendidikan, dilakukan penilaian atau
evaluasi. Sesuai dengan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 59disebutkan bahwa
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
(2)
Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri
untuk melakukan evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58.
7. Standar
Pembiayaan
Unsur pendanaan
tidak bias terlepas dari pendidikan. Ada tiga jenis pendanaan yang ada dalam
dunia pendidikan yaitu pendanaan operasional, pendanaan investasi, dan
pendanaan individu. Pemerintah telah menggulirkan dana operasional melalui
pengucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Untuk pendidikan SMP dana
BOS mencapai Rp750.000/tahun /siswa. Untuk dana investasi pada hakikatnya
tanggung jawab pemerintah dan dibantu oleh masyarakat serta stakeholder
terkait. Dana investasi berupa pemunuhan kebutuhan sekolah yang dapat
dipergunakan dalam waktu lama seperti ruang kelas, laboratorium, computer,
tanah, lapangan dan lainnya. Dana individu merupakan keseluruhan pendanaan yang
dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan individu siswa. Yang termasuk pendanaan
individu adalah biaya pakaian, sepatu, buku, dan keperluan individu lainnya.
Permasalahan pendanaan
pendidikan di Indonesia diatur dalam PP No.48 tahun 2008. Pada pasal 3
disebutkan bahwa
(1) Biaya
pendidikan meliputi:
a.
biaya satuan pendidikan;
b.
biaya penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan; dan
c.
biaya pribadi peserta didik.
(2) Biaya
satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.
biaya investasi, yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan;
dan biaya investasi selain lahan
pendidikan.
b.
biaya operasi, yang terdiri atas biaya personalia; dan biaya nonpersonalia.
c.
bantuan biaya pendidikan; dan
d. beasiswa.
(3) Biaya
penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a.
biaya investasi, yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan;
dan biaya investasi selain lahan
pendidikan.
b.
biaya operasi, yang terdiri atas biaya personalia; dan biaya nonpersonalia.
(4) Biaya
personalia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1 dan ayat (3) huruf b angka 1 meliputi:
a.
biaya personalia satuan pendidikan, yang
terdiri atas:
1.
gaji pokok bagi pegawai pada satuan
pendidikan;
2.
tunjangan yang melekat pada gaji bagi
pegawai pada satuan pendidikan;
3.
tunjangan struktural bagi pejabat
struktural pada satuan pendidikan;
4.
tunjangan fungsional bagi pejabat
fungsional di luar guru dan dosen;
5.
tunjangan fungsional atau subsidi
tunjangan fungsional bagi guru dan dosen;
6.
tunjangan profesi bagi guru dan dosen;
7.
tunjangan khusus bagi guru dan dosen;
8.
maslahat tambahan bagi guru dan dosen;
dan
9.
tunjangan kehormatan bagi dosen yang
memiliki jabatan profesor atau guru besar.
b.
biaya personalia penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan pendidikan, yang terdiri atas:
1.
gaji pokok;
2.
tunjangan yang melekat pada gaji;
3.
tunjangan struktural bagi pejabat
struktural; dan
4.
tunjangan fungsional bagi pejabat
fungsional.
8. Standar
penilaian Sekolah
Mutu dalam konteks "hasil
pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap
kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5
tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student
achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan
harian, ujian semester, Ujian Nasional). Dapat pula prestasi di bidang
non-akademik misalnya prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau
keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa.
Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible)
seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan.
Ada tiga faktor penyebab rendahnya
mutu pendidikan yaitu: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan educational production function atau input-input
analisis yang tidak consisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara
sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Berpijak pada pendapat tersebut maka langkah-langkah strategis yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah antara lain
sebagai berikut.
1. Penciptaan Kepastian Hukum yang Mengatur tentang
Kependidikan yang Responsif
Agar penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan
masyarakat dan pemerintah, diperlukan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kependidikan secara jelas, tegas, dan pasti. Selama ini meskipun
peraturan perundang-undangan sudah ada, namun dalam impelematsinya masih sering
adanya inkonsistensi. Tenaga kependidikan dan para pegawai di lingkungan
Depdiknas kadang masih ragu dalam mengambil langkah-langkah konkret dalam
menyelesaikan permaslaahan pendidikan. Misalnya, jika suatu bangunan sekolah
atau sarana sekolah tidak layak pakai dan dalam keadaan darurat, dewan sekolah,
kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kurang
berani melakukan upaya pembangunan gedung secara cepat,
karena harus menunggu proses pengurusan perizinan yang panjang, belum lagi
banyak pihak yang takut dengan pengawas, BPK, Polisi, Jaksa, KPK. Dalam bidang
kepangkatan, banyak pegawai yang kerepotan melakukan pengurusan kenaikan
pangkat, apalagi untuk mencapai pangkat Pembina Tingkat I (Golongan IVB).
Sistem sertifikasi guru yang saat ini juga masih dirasakan belum sepenuhnya
fair, karena yang dinilai oleh assesor adalah berkas, bukan assesi (guru).
Ketentuan tentang penyebaran tenaga kependidikan yang kompeten juga belum
transparan. Ketentuan hukum tentang kurikulum juga sering berubah sehingga para
guru sering kesulitan mengadakan penyesuaian.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 72 Ayat (1) diatur,
"Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan
dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b.
memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan
kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus Ujian
Nasional". Dalam praktik, kriteria kelulusan siswa hanya ditentukan oleh
nilai UN. Pada pasal 72 ayat (2), diatur "Kelulusan peserta didik dari
satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan
kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri". Dalam praktik, justru pememrintah yang menentukan standar
kelulusan. Jika dikaitkan dengan KTSP, sebenarnya pihak yang menentukan
kelulusan adalah Satuan Pendidikan. Di sini nampak belum konsistennya
pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab kepada pihak sekolah,
tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan kelulusan. adalah apakah
antara standar kelulusan yang ditentukan pihak pemerintah (BSNP) realistis
dengan proses pembelajaran yang berlangsung di masing-masing sekolah di seluruh
Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI) telah dipenuhi oleh seluruh
sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar kelulusan pun (melalui UN)
diberlakukan sama.
9. Standar
Kurikulum
Komponen kurikulum terkait dengan tujuan pendidikan nasional.
Urutan hirarkhis
tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai
dari 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945), 2) Tujuan
Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional), 4) Tujuan
Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah), 5) Tujuan kurikuler (Pada
tiap-tiap bidang studi/mata pelajran), dan 6) Tujuan instruksional yang dibagi
menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapai
guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang
bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Sujarwo (2012: 7)
mengemukakan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana kegiatan
pembelajaran yang berisi tujuan, materi pembelajaran, pembelajaran
(metode/strategi), dan penilaian dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kurikulum dipandang sebagai semua pengalaman belajar yang diberikan pendidik
kepada peserta didik selama mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan,
atau segala usaha lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Materi pembelajaran di dalam kurikulum diartikan sebagai
bahan yang hendak diajarkan kepada peserta didik, dengan kata lain materi
pembelajaran merupakan bahan ajar yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang harus dipelajari peserta didik sesuai dengan standard kompetensi
yang telah ditetapkan. Secara garis besar materi pembelajaran selaras dengan
pendapat Bloom melalui teori Taksonomi Bloom bahwa kemampuan yang harus
dikuasai dan dimiliki oleh peserta didik terdiri dari kemampuan kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan). Materi pembelajaran atau bahan
ajar dapat ditinjau dari 2 segi yaitu pendidik dan peserta didik. Materi
pembelajaran dari segi pendidik merupakan bahan yang harus diajarkan oleh
pendidik kepada peserta didik pada proses pembelajaran. Dari segi peserta
didik, materi pembelajaran merupakan bahan yang harus dipelajari dengan tujuan
pencapaian standard kompetensi dan kompetensi yang telah ditetapkan.
Menurut Undang-undang Sisdiknas nomor 20
tahun 2003 menyebutkan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu”.
Sujarwo (2012: 8) Memperhatikan rumusan
kurikulum di atas tersirat empat hal pokok, yakni (a) isi kurikulum, adalah
mata pelajaran yang diberikan oleh lembaga pendidikan terhadap peserta didik;
(b) tujuan kurikulum, yakni agar anak didik menguasai mata pelajaran tertentu
yang kemudian disimbolkan dengan ijazah. (c) kurikulum aktivitas, kurikulum
dipandang secara pentahapan pengalaman belajar yang dilakukan oleh pendidik,
dan (4) kurikulum dipandang sebagai bentuk penilaian, kurikulum mengatur model,
bentuk, dan jenis penilaian yang dilakukan.
Para pendidik bertanggung jawab sepenuhnya
dalam pelaksanaan kurikulum, baik secara keseluruhan kurikulum, maupun tugas
sebagai penyampai bidang studi atau mata pelajaran yang telah dirancang dalam
kurikulum. Pendidik harus berusaha agar penyampaian materi pembelajaran dapat
berhasil secara maksimal. Sebagai pengelola kurikulum pendidik bertanggung
jawab membuat perencanaan mengajar baik dalam bentuk perencanaan secara urut
maupun dalam pembuatan model satuan pelajaran.
Tugas dan tanggung jawab pendidik dalam
hubungannya dengan kurikulum adalah menjabarkan dan mewujudkan kurikulum
potensial menjadi kegiatan nyata di dalam kelas melalui proses pembelajaran.
Implementasi kurikulum dalam pembelajaran merupakan proses penerapan ide,
konsep, kebijakan sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan
pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap. Implementasi kurikulum adalah
proses penerapan ide, konsep dan kurikulum potensial dalam pembelajaran
sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi sebagai hasil interaksi
dengan lingkungan.
Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded
dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak".
Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam
untuk seluruh negara. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah selama ini masih
seringberubah-ubah sehingga dalam pelaksanaan seringkali terjadi keraguan,
kegundahan, dan kegalauan baik bagi siswa, orang tua siswa, dan guru serta
pengelola satuan pendidikan. Perubahan kurikulum yang terlali cepat dapat
menimbulkan kegoncangan pada pelaksanaan pendidikan. Struktur dan muatan
kurikulum yang ada juga belum sepenuhnya mencerminkan asas keterpaduan dan
keterpadanan, begitu pula peninjauan dan pengembangan kurikulum masih terkesan
dipaksakan dan tidak didasarkan pada paradigma yang jelas.
Di beberapa negara maju, untuk
mengatasi kesenjangan muatan kurikulum sekolah dengan lapangan pekerjaan, maka
dilakukan kerjasama dengan pihak industri memungkinkan pihak perusahaan
mengirim para staf yang berkualitas untuk membantu dalam proses pembelajaran di
sekolah kejuruan atas dasar kerja paruh-waktu. Langkah seperti ini sudah
dilakukan di tingkat pendidikan tinggi, misalnya mendatangkan Dosen Tamu untuk
melakukan Kuliah Tamu (sekitar 6 bulan), atau bahkan jika sudah memenuhi
persyaratan akan menjadikan staf dari perusahaan (praktisi) sebagai dosen tidak
luar biasa. Seyogyanya SMK juga melakukan langkah yang sama, yaitu menjadikan
praktisi tersebut sebagai guru tidak tetap (instruktur).
10. Standar
Ujian
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 Pasal 72 Ayat (1) diatur, "Peserta didik dinyatakan lulus dari
satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan
seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian
akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran
estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c.
lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan d. lulus Ujian Nasional". Dalam praktik, kriteria kelulusan
siswa hanya ditentukan oleh nilai UN. Pada pasal 72 ayat (2), diatur
"Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP
dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri". Dalam praktik, justru
pememrintah yang menentukan standar kelulusan. Jika dikaitkan dengan KTSP,
sebenarnya pihak yang menentukan kelulusan adalah Satuan Pendidikan. Di sini
nampak belum konsistennya pemerintah, pada satu sisi menyerahkan tanggungjawab
kepada pihak sekolah, tetapi pada pihak yang lain pemerintah ikut menentukan
kelulusan. adalah apakah antara standar kelulusan yang ditentukan pihak
pemerintah (BSNP) realistis dengan proses pembelajaran yang berlangsung di
masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Apakah dari segi standar isi (SI)
telah dipenuhi oleh seluruh sekolah di Indonesia sehingga dalam hal standar
kelulusan pun (melalui UN) diberlakukan sama.
11. Standar
Perencanaan Pendidikan
Secara kelembagaan, Kantor Dinas
Pendidikan di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga belum mampu berperan
sebagaimana diharapkan. Fekrynur mengemukakan bahwa Kantor Dinas Pendidikan
kabupaten/kota dan provinsi, dianggap relatif mubazir, apabila keberadaannya
tidak mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan di lingkup daerahnya
masing-masing. Dana habis milliaran rupiah untuk membiayai kegiatan kantor
[sebagai ilustrasi, pada tahun 2006, hampir satu trilliun rupiah dianggarkan
untuk dikelola Kantor Disdik Sumatera Barat) namun mutu pendidikan terus saja
semakin terpuruk (tertinggal). Gejala penurunan efektifitas pembinaan ini
sejalan dengan dimulainya otonomi daerah di awal tahun 2001.
Tantangan dalam kaitannya dengan
perluasan dan pemerataan pendidikan, adalah bagaimana meningkatkan angka
partisipasi terutama di tingkat kabupaten/kota yang secara kuantitatif cukup
signifikan dalam mengembangkan dan mengolah potensi wilayah, sehingga struktur
tenaga kerja menurut jenjang pendidikan bergeser ke arah bentuk belah ketupat
(mengecil di tingkat SD/SLTP dan membesar di tingkat menengah).
Tantangan dalam kaitannya dengan
kualitas dan relevansi adalah: (1) bagaimana mengubah kurikulum pendidikan dari
berbasis sekolah ke berbasis ganda, hal ini akan memberikan pengetahuan,
keterampilan dan proses transfer sistem nilai yang ada di dunia kerja lebih
cepat antara lain melalui pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan
pasar, kepedulian kepada pelanggan dan pembentukan etos kerja; (2) bagaimana
mengubah pola penyelenggaraan pendidikan yang selama ini cenderung berorientasi
kepada dirinya sendiri ke arah yang lebih berorientasi ke dunia luar yaitu
antisipatif pada perkembangan kebutuhan pasar kerja atau mengubah pola kerja
dari supply driven menuju demand driven; (3) bagaimana mengubah
sistem pengajaran dari berbasis mata pelajaran menuju model pengajaran berbasis
kompetensi; model pengajaran berbasis mata pelajaran mengakibatkan terjadinya
kesulitan untuk mensinergikan materi bahan ajar menjadi suatu kemampuan/kompetensi
utuh. Model pengajaran berbasis kompetensi secara langsung berorientasi pada
kompetensi atau satuan-satuan kemampuan; (4) bagaimana mengubah dari sistem
pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multy
entry, multy exit (peserta didik dapat keluar masuk sistem pendidikan
sesuai kebutuhan dan kemampuan} ;untuk ini diperlukan kurikulum yang luwes
yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja Industri disesuaikan dengan jadwal
ketersediaan tempat magang di Industri, di samping memungkinkan bagi peserta
didik untuk meninggalkan sekolah untuk bekerja, kemudian masuk kembali sesuai
kebutuhan yang bersangkutan; (5) bagaimana memberikan pengakuan terhadap
kemampuan awal yang dimiliki peserta didik, (priorlearning recognition);
sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan
penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki seseorang sebagai bekal awal
untuk menempuh pendidikan selanjutnya; (6) bagaimana mengemas bentuk
paket-paket kompetensi kejuruan sehingga lebih memudahkan pengakuan dan
penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi (competency
based training) antara program pelatihan dan program pendidikan.
Suasana pembelajaran mempunyai
peranan penting dalam menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran.
Karena itu setiap stake holder perlu mendorong terciptanya lingkungan yang
mendidik dan mendukung pembelajaran (learning habits) dan masyarakat
yang gemar belajar (learning community), bukan kumpulan para pembelajar
(communities of learners).
Berkaitan dengan hal ini, Soedjiarto
berpendapat bahwa saat ini pada semua jenjang pendidikan perlu dirancang suatu
sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang
menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan
kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan
dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana
untuk memilih dan memilah. Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis,
seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih
dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik
dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang
profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2)
menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar
dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang
memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya,
yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui
membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta
kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik
belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus,
komprehensif dan obyektif.
Melalui penciptaan situasi
pembelajaran yang kondusif (academic atmostphire), maka peserta didik
dapat lebih enjoy dalam mengikuti pembelajaran. Masyarakat yang
mendukung pendidikan tentu akan selalu memberikan sokongan pada proses
pembelajaran di masyarakat, misalnya orang tua sangat peduli dengan prposes
pembelajaran siswa di luar sekolah, dan ikut mengidentifikasi kesulitan belajar
siswa.
12. Standar
Pendidikan Nonformal
Hasil kajian Tim reformasi
pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001)
dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal)
ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani
meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya
dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus
dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu
menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani
oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
Salah satu solusi yang bisa diupayakan adalah pendidikan formal berbasis
masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan
mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan
paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi
yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan
manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola
secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi
masyarakat.
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut:
- Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
- Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
- Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
- Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
- Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
- Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
- Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
- Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
- Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis
13. Standar
Pendidikan Vokasional
Pendidikan vokasional
merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan
orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan
vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship
of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan
vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan
keahliannya disesuaikan dengan
kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan
kecakapan hidup merupakan isu sentral dalam pelayanan pendidikan. Hal tersebut
merupakan jembatan
penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan
dengan masyarakat dan dunia kerja. Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum
dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional.
Disamping pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan
tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya.
Pendidikan kecakapan hidup
dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan
potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam
prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada.
Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan
kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan
kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata
pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri.
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis
utama, yaitu: Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan Kecakapan
hidup spesifik (specific life skill/SLS). Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi
menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal
skill), dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam
memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill).
Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara,
serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus
sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi
lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan
informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif.
Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication
skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi
pekerjaan atau keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic
skill) atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill).
Kecakapan akademik terkait
dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja
intelektual.Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih
memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan
vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus
(occupational skill).
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan
keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi
kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan
problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga
masyarakat, maupun sebagai
warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan
terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka
pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat
secara bertahap.
.
14. Standar
Pendidikan Karakter.
Pendidikan memegang peranan yang signifikan pada masa pertumbuhan dan
perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan sedari dini,
yang ditanamkan kepada siswa Jepang di sekolah dasar lebih ditekankan kepada
pendidikan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, dalam
penyampaian mata pelajaran moral, tentang berbohong, pendekatan yang dilakukan
oleh guru Jepang adalah tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk
berlaku jujur, namun dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat
berbohong. Tidak ada yang malu bertanya dan mentertawakan teman yang sedang
bertanya, bahkan dalam menjawab pertanyaan guru pun, semuanya beradu cepat
serentak mengacungkan tangan seraya meneriakkan “haik” dengan lantang. Diskusi
interaktif itu menggiring siswa untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan
nilai-nilai moral yang akan diajarkan. Tidak ada proses menghafal, juga tidak
ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini. Untuk mengecek pemahaman siswa
tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan,
atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu. Kadang
mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan,
kemudian mendiskusikan makna dari film tersebut.
Hal yang bertolak belakang dengan apa yang kita lihat di Indonesia,
penyampaian pelajaran moral di sekolah lebih banyak hanya berupa doktrin,
sebatas ritual dan hafalan belaka tanpa diikuti penjelasan makna mengapa semua
itu harus dilakukan. Padahal, yang lebih penting adalah menanamkan pemahaman
dan kesadaran pada anak mengapa suatu hal harus dan tidak boleh dilakukan.
Bercermin dari keberhasilan masyarakat Jepang dalam mendidik generasi
penerus bangsanya melalui pendidikan karakter dari usia dini, hendaknya
pendidikan moral dan karakter di Indonesia perlu dikembangkan dengan pola
berpendapat melalui diskusi interaktif, dan sistem evaluasinya tidak dilakukan
dalam bentuk multiple choice, melainkan dalam bentuk uraian dimana siswa dapat
menjelaskan argumennya, sehingga dapat menunjukkan sejauh mana pemahaman siswa
terhadap pendidikan moral itu sendiri, disamping itu peran keluarga dirumah,
terutama ibu hendaknya juga dilibatkan dalam pendidikan moral ini demi
menunjang keselarasan antara ilmu yang didapatkan di bangku sekolah dengan
contoh pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh menarik yang mengajarkan tentang teamwork dan
kepemimpinan, terlihat dari sistem keberangkatan siswa SD Jepang ke sekolah
mereka. Siswa SD Jepang diharuskan berjalan kaki ke sekolah, mereka berkumpul
di pos masing-masing tiap-tiap wilayah secara berkelompok, tidak ada yang
berjalan sendiri, saling menunggu dan akan berangkat apabila anggota kelompok
sudah lengkap, mereka berjalan berbaris di pimpin anggota kelas 6 yang berjalan
di urutan paling depan. Jadwal masuk pintu gerbang sekolah hanya 10 menit, dari
pukul 7:50-8:00. Menariknya, kelompok pertama yang mencapai gedung sekolah
tidak akan memasuki gerbang sekolah terlebih dahulu, mereka berbaris rapi di depan
gerbang, menunggu kedatangan kelompok yang lainnya. Begitu kelompok berikutnya
tiba, mereka saling mengucapkan salam, “ohayougozaimasu! (selamat pagi),
disambut langsung dengan jawaban “ohayougozaimasu!” kembali. Lalu mereka
menyambung barisan menanti teman-teman lainnya datang, membuat barisan menjadi
semakin panjang. Begitu kelompok terakhir datang, kelompok-kelompok tersebut
memasuki pintu gerbang dengan barisan yang rapi, tidak berpencar, tanpa ada
keributan, dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Meskipun dalam cuaca
dingin bersalju, semua siswa tetap melakukannya dengan penuh semangat, rasa
sabar yang tinggi dan tanpa berkeluh kesah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar