IQ dikenal
pertama kali sebagai kemampuan mengingat, menghafal dan menghitung (numerical).
Awalnya konsep ini diperkenalkan oleh Alfred Binnet tahun 1905, kemudian dibawa
ke Stanford AS tahun 1910 sebagai standar perekrutan tentara AS dalam Perang
Dunia I. Perkembangan selanjutnya,
IQ menjadi parameter kecerdasan. Menjadi manusia cerdas ala IQ, minimum harus
punya skor 100. Di atas 100? Maka potensi ‘sukses’ dianggap sangat besar.
Sebaliknya, di bawah 100 kerap ditengarai gagal.
Berbicara tentang IQ,
EQ, dan SQ kita tidak bisa terlepas dengan istilah ESQ. ESQ (Emotional spiritual quostient ) adalah sebuah metode
pebangunan jiwa yang menggabungkan antara dua unsur kecerdasan, yaitu
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan memanfaatkan
kekuatan kekuatan pikiran bawah sadar atau yang dikenal dengan suara hati. Menurut
Ari Ginanjar, ESQ sebenaranya merupakan aplikasi dari prinsip ruku islam dan
rukun iman. Dari sinilaah muncul sebuah fitrah atau kesucian hati yang selalu
menuju bentuk keyakinan dan kepasrahan akan ke-Illahian. Secara ilmiah konsep
ESQ ini ditunjukkan dengan adanya proses saraf dalam otak manusia yang
terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan member makna dalam pengalaman
hidup , yaitu suatu jaringan saraf yang literal “mengikat” pengalaman manusia
secara bersama untuk hidup lebih bermakna. (Wolf Singer)
Didalam hidup sosial
kita perlu SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual. Ada yang
beranggapan bahwa kecerdasan spiritual ini perkembangannya menjadi penting bagi
setiap manusia selain EQ. Lalu apa sebenarnya SQ itu? Ada beberapa
pendapat terkait dengan SQ. Ari Ginanjar agustian ( 2007 : 57 )
mengatakan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk member makna ibadah
pada setiap prilaku kegiatan melalui langka-langkah dan pemkiran yang bersifat
fitrah menuju manusia seutuhnya( hanif ). Sedangkan menurut Toto Tasmara (
20001 : 49) mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kemampuanseorang
untuk mendengarkan suara hati nuraninya, baik, buruk dan rasa moral dalam cara
menempatkan diri dari pergaulan.
Danah johar
dan Lan Marshal berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value ( nilai ), yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk
mempungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahakan SQ adalah merupakan
kecerdasan kita.
Sementara
itu Mimi Doe dan Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah
dan dan memberi arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya
kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan dari diri kita.
Dari
definisi tersebut tersebut dapat dapat kita tarik suatu simpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan
potensial yang dimiliki setiap manusia yaitu hati nurani yang menjadikan ia
dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap
kekuatan yang lebih besar dari sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai
bagian dari keseluruhan.
Lebih lanjut
berbicara tentang SQ, kita perlu mengetahui tentang tanda atau ciri tinggi
rendahnya SQ seseorang. Menurut Danar Zohar dan Ian Marshal,
pakar psikolog didalam bukunya “SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate
Intelligence” memberikan pandangan mengenai tanda-tanda orang yang memiliki
SQ tinggi, yaitu
- Berkemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaannya.
- Cenderung untuk memandang segala hal itu berkaitan (holistik).
- Mampu untuk bersikap fleksibel (secara aktif dan spontan).
- Cenderung untuk bertanya “bagaimana jika?” atau “mengapa?” ketika mencari jawaban yang paling mendasar.
- Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.
- Memiliki kualitas hidup yang didasari dari visi dan nilai-nilai.
- Merupakan pemimpin yang bertanggungjawab serta berpengabdian.
- Mampu untuk menghadapi dan melewati rasa takut.
- Menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian yang tidak perlu (tadzbir)
Zohar dan Marshall (2007:35-83) mengungkapkan ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu
a.
Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara
kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks,
luwes,
adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut
penelitian yang dilakukan
pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto –
Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf
otak pada rentang 40 Hz
merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b.
Titik Tuhan (God
spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian
dalam
otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika
pengalaman religius atau
spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau
God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang
menentukan dalam
pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan
merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu
adanya
25 integrasi
antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh
segi kehidupan.
Dalam
kaitannya dengan keberhasilan seseorang meniti karier di masa depan ternyata
tidak dapat dipastikan hanya dari kecerdasan intelegensi yang menekankan pada
pola pikir dan penalaran tertentu. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak
dapat hidup menyendiri. Dia juga makhluk tuhan yang tergantung keberhasilannya
dari usahanya sebagai manusia dan takdir Illahiahnya. Manusia yang akan
berhasil meniti kesuksesan hidupnya adalah manusia yang seimbang antara
intelegensi dan spiritualnya. Keberhasilan manusia didasarkan pada tiga aspek
yaitu usaha dirinya, doa pada sang Khalik, dan kepasrahan sepenuhnya akan apa
yang terjadi bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kudrat dan iradat dari
Illahi. Aspek yang ketiga ini disebut dengan tawakal.
Antara IQ dan EQ :
Setelah muncul IQ, kecerdasan kedua atau
EQ kemudian lahir. Daniel Goleman, penemu Emotional Quotient berpendapat bahwa
kecerdasan emosi adalah bentuk kemampuan seseorang memahami diri sendiri, orang
lain, lingkungan, serta kemampuan mengambil keputusan tepat dengan cara tepat,
dan dalam waktu yang juga tepat. Dan EQ inilah yang menjadi kunci keberhasilan
para bintang-bintang kinerja.
Pada awal penemuan IQ, dikatakan bahwa
keberhasilan seseorang ditentukan oleh tingkat kecerdasan IQ yang dimilikinya.
Semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kemungkinan orang tersebut
berhasil. Semua orang mendewakan IQ. Orang dengan IQ rendah seakan menjadi
manusia nomor dua yang sudah dipastikan hidupnya tidak akan sukses. Banyak
orang tua berusaha menyekolahkan anak di sekolah yang mensyaratkan IQ tertentu
sebagai muridnya agar tampak lebih bergengsi.
Survei yang dilakukan oleh EQ-I
(Emotion Quotient Inventory) menginventarisir data orang sukses kelas dunia dan
menyimpulkan bahwa pengaruh IQ bagi kesuksesan seseorang, sesungguhnya hanya
10%-20% saja. Data ini
mementahkan pendapat yang mengatakan bahwa IQ sebagai parameter keberhasilan
atau kesuksesan seseorang. Keberhasilan seseorang tidak dapat ditentukan oleh
IQ saja tetapi ada faktor lain. Salah satunya adalah EQ.
Emotional Quotient (EQ)
dapat dikembangkan sepanjang hidup manusia dengan cara belajar. Kecerdasan
Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga
meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan
contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan
Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan
pada manusia modern, yaitu:
- empati (memahami orang lain secara mendalam)
- mengungkapkan dan memahami perasaan
- mengendalikan amarah
- kemandirian
- kemampuan menyesuaikan diri
- disukai
- kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
- kesetiakawanan
- keramahan
- sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama
kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan
teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi,
orang tua harus mengajar anaknya untuk :
- membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
- bekerja dalam kelompok secara harmonis
- berbicara dan mendengarkan secara efektif
- mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
- mengatasi masalah dengan teman yang nakal
- berempati pada sesama
- memecahkan masalah
- mengatasi konflik
- membangkitkan rasa humor
- memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
- menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
- menjalin keakraban
Apabila seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah
dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan,
dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru. Mempunyai IQ yang baik penting untuk berpikir cepat, tepat.
Sedangkan EQ penyeimbang, mengontrol emosi
kejiwaan ketika menghadapi masalah. Keterbatasan IQ seseorang dapat ditutupi
dengan kelebihan yang dia miliki seperti memiliki bakat olahraga, keterampilan,
seni, dll. Sehingga dapat menutupi kekurangan IQnya.
Dari analisis di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.
IQ bukanlah satu-satunya penentu
keberhasilan seseorang di masa yang akan datang. Masih ada unsur EQ yang banyak
mempengaruhi keberhasilan tersebut.
2.
EQ terus berkembang sejalan dengan
perkembangan cara berpikir manusia. EQ dapat dikembangkan dengan belajar
menguasai emosi yang dimiliki.
3.
Kenyataannya kemudian,
IQ dan EQ saja belum cukup. Bagaimana jika seorang memiliki IQ dan EQ tinggi
tapi memiliki ambisi pribadi yang bisa merugikan orang lain? Ia tentu saja
mampu mempengaruhi lingkungan; memikat hati dengan ucapan; peka mencari
peluang; serta otak encer, tapi semua kecakapan tersebut digunakan untuk mencapai
ego pribadi/golongan. Di samping itu, ternyata orang-orang sukses tersebut
merasa kekeringan di tengah kesuksesannya. Ia merasa dikejar-kejar waktu;
stres; dan merasa kurang dihargai, yang intinya ‘kehilangan makna’ atau
menderita Spiritual Pathologis (jiwa yang terbelah).
4.
Akhirnya, syarat utama
agar manusia mampu mengelola kehidupannya, ia butuh 3 kecerdasan sekaligus
yaitu IQ, EQ dan SQ. Fungsi IQ adalah “What I think” (apa yang saya pikirkan)
untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (Physical Capital); fungsi EQ adalah
“What I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola Kekayaan Sosial (Social
Capital); dan fungsi SQ adalah “Who am I” (siapa saya) untuk mengelola Kekayaan
Spiritual (Spiritual Capital).
5.
Namun selama ini ketiga
kecerdasan tersebut berjalan terpisah. Contoh: ber-IQ tinggi namun kering
nilai-nilai spiritual; atau sebaliknya, memiliki spiritual (SQ) tinggi, namun
rendah dalam nilai-nilai intelektual sehingga akhirnya kalah dalam percaturan
ekonomi, sosial dan iptek. Maka kemudian disimpulkan bahwa pencapaian kualitas
manusia ideal yang proporsional adalah manusia unggul yang cerdas secara
intelektual, emosi serta spiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar