Oleh : FARICHIN
Remaja muda belia itu bernama Ikun. Seorang remaja yange menjadi potret kesedihan dan pendeiritaan orang-orang kampong yang mendapatkan untung dalam hidup ini. Anak sekecil itu, Ikun sudah harus memperjuangkan hak hidupnya pada alam. Sendiri, untuk berjuang untuk memperjuangkan hidupnya yang masih-samar-samar.
Tubuh kecil dibalut oleh kulit hitam legam dia golekkan di bawah pohon jengkol di sebuah kebun di desanya. Tubuhnya mengalir deras keringat yang keluar dari pori-pori tubuhnya yang besar karena terbiasanya mengeluarkan keringat setiap saat. Di sisinya dia letakkan dua gulung rumput besar yang dari tadi nangkring dibahunya sepanjang perjalanan sampai kini ia kelelahan.. angin semilir siang yang terik terasa kan sebagai angin surge yang begitu bersahabat. Dipejamkannya matanya menikmati angin yang menyapa kulitnya yang terbakar. Napasnya masih tersengal-sengal oleh rasa lelah yang mendera.
Di ranting pohon jengkol tempat ia berdiri, singgah sepasang burung pipit yang menebarkan keriangan. Terbayang kembali memori saat ia masih memakai seragam SMP yang dengan sangat terpaksa ia lepaskan. Ya, keadaan tidak lagi bersahabat dengan dia. Keadaan memaksa dia melukarkan seragam SMP sebelum masanya.
Tanpa terasa ada sesuatu yang menyesakkan dada. Kesedihan dan kegalauan yang begitu betah mendera kehidupannya. Matanya mulai hanya menampung butiran air yang berkumpul di dalamnya. Tiba-tiba sebutir air mata luruh, bergulir melewati sudut matanya yang cekung kemudian merampat kulit pipinya yang kian legam terbakar sinar matahari.
Ditariknya napas dalam dan segera ia bangkit dari lamunannya akan kenangan masa lalu. Dia tak mau terbelenggu dengan masa lalu. Yang dia mau adalah bagaimana ia bias hidup untuk hari ini. Salah satunya adalah kerja keras, sekeras mungkin. Meski harus mencari rumput ddari tempat yang berjarak cukup jauh demi mendapatkan dua lembar uang ribuan. Kalu dia lagi beruntung, dia juga akan mendapatkan tawaran sepiring nasi dengan sayur temped an ikan asin dari orang yang telah menyuruhnya mencari rumput untuk kambing mereka.
***
Siang itu suasana sangat cerah. Di ruang kelas VIII d, Ikun masih asyik mengikuti penjelasan dari Bu Anin, guru bahasa Indonesia. Guru cantik yang selalu mampu membuat anak-anak bersemangat untuk mengikuti kata-demi kata yang diucapkannya. Tak terasa waktu berputar cepat kala bu Anin masuk ke ruang kelas.
Tiba-tiba dari luar terdengar pintu ruang kelas diketuk kemudian diringi seraut wajah yang begitu dikenalnya. Pak Farich,wali kelasnya, muncul dari balik pintu kemudian menghampiri bu Anin. Tampak pak Farich berbisik pada bu Anin dengan muka yang serius. Selenag beberapa saat kemudian, pak Farich berdiri dan mengatakan sesuatu yang menjadi kata terakhir untuk Ikun di kelas itu.
“Ikun, silakan ambil tasmu dan ikut bapak!” perintah pak Farich waktu itu. Ada tanda Tanya besar di kepala Ikun tentang panggilan tersebut. Anak-anak satu kelas menatap Ikun dengan penuh Tanya dan kecurigaan. Ikun segera mengambil tas dan segera menghampiri panggilan pak Farich dengan penuh rasa penasaran. Beribu perkiraan bermain di kepalanya mengenai pemanggilan itu. Apakah aku dipanggil karena aku belum membayar iuran sarana dan prasaranan pendidikan yang seharusnya ia lunasi sejak semester pertama di kelas VII. Atu artinya aku sudah terlambat satu tahun lebih dari batas toleransi. Begitu bisik hatinya. Namun segera ditepis oleh pemikiran yang lain.”ah, mungkin karena aku belum tidak mau mengikuti acara karya wisata yang diselenggarakan sekolah bulan lalu. Bukankah itu berarti tindakan indipliner melawan kebijakan sekolah” Ikun tak berani bertanya apa yang terjadi pada pak Farich. Baginya apapun yang akan terjadi, dia siap menghadapinya, asalkan di masih bisa bersekolah di SMP Tunas harapan Bangsa.
Pak Farich berjalan tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara di belakangnya Ikun terus mengikutinya dengan penuh tanda Tanya. Perasaan yang berkecemamuk antara takut, was-was, khawatir bergumul dalam dadanya. Sesampai di lobi sekolah, pak farich berhenti kemudian menatap Ikun dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Ikun menunduk dalam seperti seorang copet yang tertangkap basah telah mencuri dompet di tengah kerumunan orang. Hatinya semakin galau melihat tatapan pak Farich. Kini sosok pak Farich seolah sosok lain bukan seperti yang telah ia kenal selama ini. Dari sudut matanya, Ikun mencoba menatap wajah pak Farich. Namun, seolah ada kekuatan maha dahsyat yang memaksanya kembali untuk menunduk setelah sesaat bersitatap dengan wali kelasnya.
“Kamu ikut saya pulang” lirih suara pak Farich membuyarkan keheningan itu. Jelas sudah saya dikeluarkan dari sekolah ini karena orang tuanya tidak mampu untuk membayar tunggakan yang seharusnya dia bayarkan setahun yang lalu.
“jadi, saya dikel……..” isak suara Ikun tersendat.
“Nanti saja kita bicarakan di rumah” ucap pak Farich datar.
Ikun hanya menurut saja terhadap perintah pak Farich. Hatinya kosong seolah tak ada lagi harapan dan semangat yang selama ini ia pupuk dengan susah payah. Semangat untuk menjadi kebanggan ibunya yang bekeraja sebagai pemulung di Jakarta. kebanggan bahwa dari rahim seorang pemulung pun mampu mempunyai anak yang lulus SMP.Kebanggan semu memang, tapi itu yang menjadi penyemangat dia untuk menepis rasa malu saat teman-temannya memandangnya dengan hanya sebelah mata lantaran dia hanya anak seorang pemulung yang sudah tak berbapa lagi.
Sepeda motor karisma milik pak Farich distater dan segera meraung memabngunkan ketakberdayaan Ikun.
“ayo naik!” perintah pak Farich dengan tatapan mata yang menyiratkan ketidakmenentuan. Ikun sadar, pak Farich sangat terpukul dengan kejadian itu. Ikun tahu betul, pak Farich tidak mungkin setega itu memulangkannya sebelum waktu selesai kalau bukan karena birokrasi. Dia tahu betul sifat pak Farich yang selalu rela membela orang-orang kecil seperti dia meski beliau kadangkala harus bersitegang dengan kepala sekolah. Namun, kegigihan seorang Pak Farich terpaksa harus kalah oleh kekuatan birakrasi yang terkadang menyudutkan orang-orang lemah. Begitu fikir Ikun. “tak perlu sedih, Pak. Saya rela meski harus menanggalkan seragam ini sebelum waktu yang telah ditentukan. Terima kasih atas semua pembelaan yang selama ini telah Bapak lakukan untukku” bisik Ikun dalam sanubarinya yang terdalam.
Suara motor pak Farich terus menderu menembus udara siang yang cerah. Kecerahan yang tak berpihak pada diri Ikun.laju motor yang kencang sekan tak mampu menembus hari sehingga jarak sejauh empat kilometer yang biasa Ikun tempuh dengan kekuatan kakinya dengan cepat terasa jauh dengan putaran roda-roda sepeda motor yang kini mereka naiki.
Perjalanan yang terasa panjang it akhirnya mencapai batas ujunbgnya. Mereka sampai di depan sebuah gubuk reot temapt Ikun dan adiknya yang masih duduk di bangku sekoalh dasar tinggal.gubuk yang tak pantas disebut sebagai tempat tinggal. Gubuk dengan ukuran tiga kali tiga meter dengan dinding terbuat dari anyaman bamboo yang sudah bolong di sana sini membatasi penghuni rumah dengan dunia luar. Dinding yang sudah tak mampu lagi menghangatkan penghuni rumah kala malam menyelimuti karena hamper sudah tak ada bedanya lagi anatara di dalam dengan di luar rumah. Atap yang terbuat dari seng yang sudah berkarat melengkapi gambaran kesengsaraan penghuni rumah. Atap yang tak mampu lagi menahan semua air hujan kala hujan mengguyur bumi. Di depannya sebuah pohon pisang tanpak gagak menghadang siapa saja yang akan menuju ke rumah itu. Sementara di belakang gubuk, berdiri kandang kambing yang sudah tidak lagi berpenghuni. Orang-orang sudah tidak lagi mau menitipkan kambingnya untuk dirawat oleh keluarga Ikun sejak bapaknya meninggal dunia karena TBC dua tahun yang lalu.
Ikun turun dari sepeda motor dengan mata nanar tak percaya. Di gubuknya yang biasa ia tinggali dengan adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu ada sesuatu yang mencurigakan. Gubuk yang selama ini sepi tak pernah ada orang berkunjung kecuali dirinya dan adiknya itu, hari ini tampak lain dari biasanya. Di depan rumah tampak bangku panjang milik Pak Romli tetangganya. Pak RT dengan beberapa bapak-bapak lainnya yang menjadi tetangganya tampak duduk sambil mengepulkan asap rokok. Tampak pak RT berdiri menyambut Ikun. Sambutan yang tidak pernah ia rasakan. Hati ikun semakin gundah. “Apakah dia juga harus meninggalkan gubuk itu? Apakah dia harus juga terusir dari gubuknya sedniri hanya karena dia tak mampu membayar iuran warga selama bertahun-tahun?” sebuah Tanya yang semakin menyesakkan dada. Pak RT mengandeng Ikun dengan setengah memeluk. Tangannya diletakkan di pundak Ikun dan dibimbingnya menuju ke dalam rumah. Orang-orang menatap Ikun dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.
Pintu gubuk telah terbuka, di dalam tampak beberapa ibu-ibu tetangganya tengah duduk bersimpuh beralaskan tikar. Entah itu tikar siapa Ikun tak pernah tahu. Tiba-tiba matanya menubruk sesosok tubuh terbujur di di dipan tempat yang bias ia dan adiknya melepaskan malam. Sesosok tubuh yang dia sendiri tak tahu siapa dia adanya. Tenggorokannya tercekat, jantung berdegup dengan kerasnya, nafas seolah memburu berhimpitan dengan degup jantung yang tak menentu. Ditatapnya wajah pak RT yang masih setengah memeluk pundaknya dengan penuh tanda Tanya.namun pak RT hanya diam membisu. Ditatapnya wajah pak Fachri, wali kelas yang begitu setia membela dia. namun tak jua dia temukan jawaban terhadap ini semua. Hanya anggukan kecil dari pak Fachri seolah-olah menyuruhnya untuk membuka penutu wajah pada sosok yang kini tengah terbaring tersebut.
Dibukanya penutup wajah pada sosok tersebut dengan hati-hati. Jantung Ikun berdegup semakin keras.tangan hitam Ikun menyingkap penutup itu dengan getaran yang tak dapat dia sembunyikan. Tampaklah wajah keibuan yang selama ini selalu menaburkan doa-doa dari mulutnya yang suci. Wajah yang tak pernah meneteskan air mata meski didera penderitaan hidup. Wajah yang biasa dihiasi dengan senyum menyejukkan hati meski hidup sering tak berpihak kepadanya. Kini wajah itu diam, sepi tak bergerak. Senyumnya yang menyejukkan tak lagi tersungging di bibirnya. Kulit pucat dan dingin dengan bibir yang telah membiru.
Halilintar seakan bergemuruh dalam kepala Ikun. Langit runtuh smentara dia tak mampu lagi untuk berlindung. Hatinya tiba-tiba kosong melompong. Dia tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Dia sadar betul, sosok itu adalah ibunya dan kini beliau telah meninggalkan dia untuk selamanya. Namun, Ikun tak tahu lagi apa yang dirasakannya kini. Dunia sekan tak ada rasa. Yang ada hanya baying dan bayang semu yang ia sendiri tak yakin itu nyata. Ikun hanya berdiri kaku, termangu. Tak ada air mata melelh di situ. Mata itu seakan telah kering dengan air mata karena penderitaan dan kesedihan telah begitu akrab menemani sepanjang usianya itu. Mulut terkunci rapat menyimpan kegalauan hati yang kian tak berujung.
Ikun duduk bersimpuh di depan mayat ibunya. Tiba-tiba sebuah tepukan halus menyentuh pundaknya yang ringkih. Pak Fachri duduk di sampinya sambil setengah memeluk seakan ingin menguatkan Ikun menghadapi semua ini.
“Sabar Ikun, semua sudah jadi suratan” bisik pak Fachri.
Ya, kesabaran memang yang bias dia kerjakan. Kalau dia marah pun tak akan mengubah apapun. Kesabaran menyadarkan dia akan kondisi yang sebenarnya. Sabar orang tunayany menjadi orang miskin sehingga tak mampu membiayai sekolahnya. Sabar orang tuanya tak mampu sehingga bapaknya terenggut nyawa karena tak mempunyai biayaa untuk berobat TBC gratis di kota kecamatan. Sabar untuk bias ikhlas merelakan ibunya juga meninggalkan mereka karena ditabrak sebuah mobil mewah yang supirnya sekarang entah kemana. Sabar adalah sahabatnya, penderitaan adalah kerabatnya.
***
Ditatapnya seragam biru putih kebanggan Ikun dengan penuh haru. Baju itu terpaksa harus ia gantung karena keadaan yang tidak mendukung dia. gantungan yang terbuat dari ranting bambu yang ia buat dengan sepenuh hati sebagai penghargaan tertinggi yang mampu Ikun berikan pada baju kebanggannya itu.
Ditatapnya dalam-dalam baju putih yang sudah mulai lusuh itu dengan kesedihan yang teramat dalam. Di situ masih tertempel nama sekolah sebagai almamaternya di SMP Harapan Bangsa. SMP yang dengan sngat terpaksa ia putuskan untuk memupus harapan anak bangsa seperti Ikun tersebut. “Selamat tinggal seragamku. Maaf aku terpaksa harus melepasmu lebih dini. Aku gak mungkin memakaimu sampai aku mendapatkan selembar ijazah yang menjadi impianku. Aku sadar sekali, masa depanku bukan karenamu tapi karena perjuanganku. Meski aku tak memakai kamu lagi, aku akan tetap semangat untuk terus maju. Biarlah cita-citaku aku serahkan ke pundak adikku. Dia masih sangat muda. Masih bisa berkembang dan berkembang sampai dunia menghentikannya. Aku akan jadi pendorong perkembangan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar