Sabtu, 02 April 2011

Antologi Puisi

SETEBAL DUKA

Entah dengan cara apa
Aku harus menyapa
Menikmati semua yang telah tercurah
Meski dera coba
Terasa enggan sirna

Kucoba berkaca
Menatap diri yang kuyu
layu

Jauh sudah langkah
Beratus jangkah tak terarah
Kembara pada padang gersang
Mentari tak lagi benderang
gelap
Semakin pekat
Padat merapat
Menusuk hati
Hari demi hari

Aku tetap berdiri
Betapa angkuh
Seakan tak terengkuh

Tiba-tiba luka menerpa
Dera itu begitu dalam menimpa
Menyeruak pada kedalaman makna di balik kata-kata
namun
Hati terlanjur kelam
Kesadaran jadi terasa tak menghunjam

Aku berdiri
Sendiri saja di sini
Kesendirian kian tanpa arti


CARA-MU MENGASIHIKU

Kita begitu renta
Goyah dalam coba
Meratap nasib diri yang kian terulur

Kenapa bukan aku yang diberi?
Meski aku takkan mampu terima ini

Letihku menjerembab
Dalam kubangan keingkaran
Jangan
Jangan biarkan kutenggelam
Kumau berdiri lagi
Tapi tolong
Hentikan itu

Aku tahu
Kasih-Mu teramat luas
Lebih luas dari apa yang bisa kutatap
Aku tahu
Sayang-Mu teramat dalam
Lebih dalam dari apa yang bisa kuselam
Aku juga tahu
Murka-Mu teramat panas
Lebih panas dari seribu matahari yang melintas

Tuhan
Biarkan kuberteduh
Dalam naung kasih-Mu




SAJAK RINDU UNTUK BUNDA

Sejak tak ada lagi kata dari mulutmu,Bunda
Tak kan ada lagi kata dari mulutmu
Aku jadi tahu,
Kata-kata menjadi sangat bermakna

Senyummu dulu
kurasakan embun mengguyur
Sejuta padang gersang
Dalam savanna di dada

Bunda,
Kalau kutahu jumpa kita itu jumpa untuk tak bertemu
Pasti kan kugayut dirimu
Dalam rengkuh kasihku yang membiru
Kan kuiring dirimu
Dengan iringan denting-denting ruhani
Dari kata-kata suci sang khalik

Maaf , Bunda
Kalau kala itu aku begitu acuh padamu
Karena aku tahu kita masih kan bertemu
Meski ternyata menjadi palsu

Pilu itu begitu ungu
Menyelimut sekujur kalbu
Air mata pun kini tak berarti lagi
Karena yang terjadi tetaplah akan terjadi
Kini atau nanti



AKHIR SEBUAH PERJALANAN

Terangkanlah
Perjalanan ini penuh duri
Menusuk di sela-sela jari
Langkah penuh dosa
Dada penuh luka
Kepala tak jua mau melata

Terangkanlah
Jiwa penuh berkabut
Terpuruk dalam selimut nafsu
Hati yang selalu mengeluh saat hilang arah
bimbing kami dalam langkah yang terarah

Sadarkanlah
Keangkuhan diri yang menguasai
Mengajak terus berlari
Jauh dari nurani suci

Ajarkanlah
Ajarkan aku membaca waktu
Detik waktu yang terus memburu
Detik yang tak pernah kembali padaku
Detik yang Cuma sekali itu
Maafkanlah
Segala noda dan dosa sebelum di akhir masa

Bila masa tlah tiada
Dan kereta kencana datang tiba-tiba
Menjemput diri yang tak pernah bersedia
Dapatkah kuberkata tidak?
Kesadaran dalam air mata dan duka
Tak kan lagi mengubah apa-apa

Hanya hening yang hampa dalam resah dan pasrah



MENUJU BATAS PENANTIAN



Roda pedati telah berputar
Berlahan
Menapaki jengkal-jengkal kehidupan
Sampai nanti
Pada tapal batas tujuan yang ditentukan

Tegar kau
Dalam terpaan angin dan topan
Lalu lalang kendara tak jua jadi penghalang

“Hai, sais
Arahkan kuda pedatimu pada marka yang benar

Teruslah melangkah
Tak perlu kau ragu
Ikuti biduk atau waluku yang siap memandu
Dia takkan pernah berbohong
Karena dia adalah sang penolong

Sais
Kalau kudamu resah
Janganlah berkeluh kesah
Karena keluh kesah hanya menambah susah
Kalau kudamu terhenti
Segera persiapkanlah diri
Batas penantian yang dijanjikan kian mendekati
Lekatkan semua bekal
Untuk hidup yang kekal

Hanya itu sais
Esok bukan lagi milikmu

2 komentar:

  1. Wah pak Guru canggih juga ya buat puisi. Siiiiiiip jalan terus siapa tahu ada yang mau nerbitkan. Atau gimana kalau saya kupas di Buat Cerita boleh ndak ?

    BalasHapus
  2. terima kasih atas apresiasinya. kalau memang itu bermanfaat, silahkan saja. Insya Alloh nanti aku kunjungan ke buat cerita.

    BalasHapus